Bagaimana Rasanya Jauh dari Allah
I.
Bagaimana rasanya jauh dari Allah
Bagai kerakap di atas batu
Terbakar oleh syamsu
Tanpa redup gelagar panas
yang membuat hati kian cemas
II.
Bagaimana rasanya jauh dari Allah
Bagai dahaga musafir
Di hamparan gurun tandus Aljazair
Tiada sumur atau kebun
Sedang lutut tak sanggup menopang badan
III.
Inilah jiwa yang terpuruk buruk
Jasadnya membusuk selagi ringkuk
Malamnya mengais debu
Siangnya menepuk abu
IV.
Inilah ruh yang terlampau remuk
Dadanya kering tanpa iman seteguk
Lisannya karat termakan aus
Hatinya gersang tersedak haus
Bagaimana rasanya jauh dari Allah
Jakarta, 2021
Lelaki Bermata An-Naar
Lelaki itu hilang dari pagi
Ditemukan tergeletak petang hari
Bertubuh penuh dengan debu
Jibaku menimba air wudu
Satu persatu ia menyeka kotoran
Tebal bau sampah diryah¹ kehidupan
Sepanjang tempuh perjalanan
Disekap lucifer dalam kegelapan
Lalu duduk simpuh di musala tua
Memangku lembar-lembar doa
Panjatkan syair pertaubatan
Dalam bait-bait kerinduan
Pada pecah tangisan ia meminta
Perlihatkan lukisan neraka
Pada kedua kelopak netra²
Agar jiwa senantiasa terjaga
Tuhan ada dalam peluknya
Surau Al-Falah, 2021
Memoar Patriark Stad Batavia
/1/
Jakarta: hidup adalah perjalanan dan mimpi
Di ibu kota,
aku menghanyutkan kenangan tentang bapak
Juang bapak saat merajut rantauan di tempo dulu
dan kini aku yang bertanda si anak bungsu
yang melanjutkan sepanjang perantauannya kala itu
Dibuai kisah tentang kota Batavia¹ di masa lampau
Bapakku bercerita, tentang sejarah yang diukirnya selama di ibu kota
Ia toleh jejak selama perantauannya,
menjurangi penghalang kehidupan merantau di stad batavia
Lalu bapakku bilang, “Mengko kuwe bakal ngrasakake, Nak”²
/2/
Aku bertanya pada bapak
Tentang bahtera hidup dan pergelutannya semasa di ibu kota
yang menggantungkan sepenuhnya kuncup asa pada remah-remah tenaga
Bertahan meski realitanya rambut tak lagi betah mengisi kepala, lelah yang kian mendera
Melihatnya juang gigih mencari lauk-pauk melipur lambung keluarga
Jua untuk mendapat sekantong rupiah dan sesuap nasi tuk keempat anak dan istri
/3/
Bapak, kuakui sungguh
Kau berpegang pada kewajiban junjungan, di saat tungkai asa lemah, hampir jatuh
Yakinlah, sebentar lagi juang dalam prosesmu menuai khatam kan berakhir indah
Karena Tuhan melihat kebaktianmu dengan sungguh
yang ketegaranmu tak bisa berubah
oleh kerasnya isra hidup tak akan menyerah
/4/
“Nak! Kau harus kuat seperti bapak, seperti bapak yang memilih kuat,
meski terkapar dililit selang. Terjerembab raga tak kuasa menopang.
Menyerah dan kalah bukanlah tujuan, selalu ikhtiar pada Tuhan.
Tapi bapak menolak menyerah, memilih bertahan sampai
denyut usia berakhir. Lalu, lanjutkan hidup, dalam dambaan dan pengabdian.
Jangan pernah terpikir menyerah, cobalah bertahan, Nak”
Katamu dalam tiap amin doa dan tiap air mata
/5/
Duh, Bapak
Petuahmu membuat atmaku kembali membara
Nasihatmu melahirkan sejarah
Memandang wajah bapak nan teduh, guruh di dadaku kian gaduh
“Biarkan aku bertualang, Pak. Merasakan pahitnya hidup yang kau rasa.
Kurasa sakit, lekang dan patah, walau badai memporak-poranda”
/6/
Handai taulanku pergi dan berlabuh jauh
Kutinggalkan tanah Deli Serdang—Medan Utara
Menerobos perbatasan Sumatra dan Jawa
lalu memasuki pintu arrival setelah sampai di ibu kota
“Selamat datang di kota Jakarta!
Selamat menempuh perantauan di kota metropolitan terbesar di Nusantara!”
Sambutan dari seorang personel Bandara Soetta⁴
/7/
Lalu di bawah gedung pencakar langit,
serumpun kata memasuki pikiranku, berkata:
“Agar perantauan ini senantiasa dalam keridaan Tuhan. Patuhlah dan bijaklah,
arungilah arus kehidupan, laksanakan perintah Tuhan, jangan durhaka.
Hidup itu berbekal iman, doa, dan takwa. Baktilah, kepada orang tua,
agar restu menyertai sepanjang tualang langkah”
/8/
Jakarta: hidup dan mimpi
Melanjutkan perantauan dalam hidup
usai bapak melampaui hidup seorang perantau di masa lalu.
Jakarta, 2019
Catatan:
- Adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda pada koloni dagang yang sekarang tumbuh menjadi Jakarta, ibu kota Indonesia
- Nanti kamu akan merasakannya, Nak
- Singkatan dari ‘Soekarno Hatta’ sebuah nama bandara di Cengkareng, Tangerang Selatan
Sajak Lelaki Mama
Ma, lelakimu ini nanti jadi dewasa
Kakinya tak diam
dan menjajah ke mana-mana
Kini hampir dua tahun anak lelakimu menginjak di Ibu Kota
Menyapu kerikil sepanjang jalan
Menampung air netra karena dihadang kerinduan
Tapi, Ma…
Sejauh mana kakinya melangkah
kakinya akan coba pulang
karena ia sepenuhnya kepunyaanmu
dan baginya engkau adalah sebaik-baik rumah
Jakarta, 2021