Pertemuan (III)
Pagi itu, Ayina.
Dengan tidak sengaja
Mata ‘kita’ saling pandang,
Betapa hati ini angin
menggemuruhkan kata ingin.
Mentari di timur dan engkau di barat
Dari tengah aku menyaksikan keduanya
Betapa pagiku dibuat kacau
Ketika dua keindahan muncul
Secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Maka ketahuilah, Ayina.
Saat mata kita saling beradu
Segala tentang rindu
Tiba-tiba bertemu dan bertamu
Istana Pers Jancukers, 26 Juni 2022 M.
Pertemuan (V)
Di simpang jalan itu, Ayina.
Tiba-tiba badai rindu riuh bergemuruh
Seketika mengghantam keras tubir hatiku,
Betapa ingatan ini runtuh
Menjelma puing-puing kenangan
Sepanjang malam menjelang subuh.
Kulum senyummu ialah sihir yang mengalir
Ke hilir nafasku serupa takdir.
Seperti biasa, malu selalu engkau piara
Sebagai riwayat temu penuh tanda
Atau bahkan percakapan tanpa canda.
kedipan matamu menyimpan isyarat
Hingga memabukkan orang-orang
Tiap kali hendak untuk memandang.
Senin, 18 Juli 2022 M.
Berjalan-Jalan di Tubuh Pagi
Berjalan-jalan di tubuh pagi
Ku susuri bias mentari ditepi
Melihat-lihat gambar panorama
Yang melukiskan riwayat tubuhmu.
Berjalan-jalan di tubuh pagi
Tatkala suara bising hanya nyaring
Kicau keluarga burung-burung kecil
Ditepi dahan yang menikmati
Suasana dari derai air mata embun .
Berjalan-jalan di tubuh pagi
Lamat-lamat tak kutemukan cahaya
Selain pada kenangan dikedalaman matamu.
Bukit Lancaran, 2022 M.
Musim Luka
Di kedalaman retina matamu yang sayu
Menyimpan denyar temaram cahaya rindu
Sekaligus menjadi tempat paling nyaman untuk berteduh.
Mencipta diam, serupa cinta Ali pada Fatimah dalam-dalam.
Saggupkah aku menahan gejolak paling galak
Dalam hati yang diam-diam mengalir dzikir namamu
Bilamana perempuan selainmu memilih pergi
Mengasingkan diri dari pandanganku setiap hari
Menjadikanmu tempat paling tunggal untuk pulang
Dan menikmati sungging senyum manis
Sebelum pada akhirnya berjatuhan rintik-rintik gerimis
Paling tragis sepanjang ingatan kelam malam-malamku.
Siapakah yang sanggup merelai musim ingatan tentang kenangan
Pada setiap menitnya memancar sungging senyuman .
Tiba-tiba aku menjadi salah satu lelaki paling gagal
Membendung segala ricik-ricik rindu pada tiap waktu.
Maka dari itu,
Aku lupa merawat lukaku sendiri
Sebab otakku lebih sibuk mencintaimu setiap hari.
Annuqayah, 2022 M.
Kepada Ibu,
Tak kuasa aku menanggung nasib dan sesal
Bilamana doamu selalu melangitkan namaku
Sepanjang sunyi di sepertiga malammu.
Hatiku berkali-kali mendadak keruh
Tetapi kerling air matamu yang suci
Mengembun dalam dadaku
Pada tiap langkah yang memendam kemarau panjang
Sepanjang perjalananku menyusuri hari-hari yang sepi.
Padamu ibu,
Sesekali aku belajar dari belaian kasihmu
Bahwa perjuangan itu butuh kobaran api
Yang selalu kau cipta di dalam tungku.
Tak lupa ku terbangkan ribuan burung terimakasih
Pada kalian yang tek henti-henti
Menjadi matahari dalam gulita hatiku
Annuqayah, 2022 M.
*Faiki Hakiki, santri aktif PP. Annuqayah Lubangsa. Merupakan Mahasiswa Ekonomi Syariah semester V Institut Ilmu Keislaman Annuqayah. Aktif berproses di Komunitas Penyisir Sastra Iksabad (PERSI).