Oleh Taufiqullah Hasbul*
Sejak diberlakukannya otonomi daerah melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, Indonesia telah mengalami berbagai dinamika dalam proses desentralisasi.
Putar Balik
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Awalnya, desentralisasi ini diharapkan dapat mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan mempercepat pembangunan daerah.
Namun, setelah hampir tiga dekade berjalan, terdapat berbagai indikasi bahwa arah desentralisasi ini justru mengalami kemunduran, terutama menjelang Pilkada 2024.
Desentralisasi di Indonesia ditujukan untuk memberikan kemandirian kepada pemerintah daerah dalam mengelola urusan rumah tangganya sendiri. Harapannya, kebijakan ini akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta mendorong inovasi daerah dalam pembangunan.
Namun, perjalanan desentralisasi tidaklah mulus. Sejak awal penerapannya, berbagai tantangan muncul, mulai dari kapasitas sumber daya manusia yang terbatas, korupsi yang merajalela, hingga tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah.
Pilkada 2024: Momentum Meluruskan Arah Desentralisasi
Pilkada 2024 menjadi momen krusial untuk meninjau kembali arah desentralisasi, apakah benar-benar telah membawa kemajuan atau malah menciptakan masalah baru.
Salah satu masalah utama dalam desentralisasi adalah isu korupsi. Otonomi daerah, meskipun memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengatur urusannya, juga membuka peluang bagi praktik-praktik korupsi yang lebih terdesentralisasi.
Banyak kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, baik itu suap, penggelapan anggaran, maupun penyalahgunaan wewenang. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas pengawasan dan akuntabilitas di tingkat daerah.
Pilkada 2024 diharapkan bisa menjadi ajang evaluasi bagi partai politik dan masyarakat untuk memilih pemimpin daerah yang bersih dan berintegritas, sekaligus memperbaiki sistem pengawasan yang ada.
Selain korupsi, isu kapasitas dan kualitas sumber daya manusia di tingkat daerah juga menjadi tantangan besar. Banyak daerah yang belum mampu memanfaatkan otonomi dengan optimal karena keterbatasan sumber daya manusia yang kompeten.
Padahal, desentralisasi menuntut adanya pejabat daerah yang mampu membuat dan melaksanakan kebijakan yang tepat sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan lokal. Pilkada 2024 akan menjadi ujian bagi daerah dalam memilih pemimpin yang memiliki visi pembangunan yang jelas dan mampu mengimplementasikannya dengan baik.
Tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah juga menjadi salah satu penghambat utama dalam pelaksanaan desentralisasi. Meskipun undang-undang otonomi daerah sudah beberapa kali direvisi, masih banyak ketidakjelasan dalam pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini seringkali menyebabkan kebingungan dan konflik kewenangan yang menghambat proses pembangunan.
Menjelang Pilkada 2024, diharapkan ada upaya dari pemerintah pusat untuk melakukan sinkronisasi regulasi dan memberikan panduan yang lebih jelas mengenai pembagian tugas dan wewenang antara pusat dan daerah.
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa desentralisasi juga membawa beberapa keberhasilan. Beberapa daerah mampu menunjukkan kinerja yang baik dalam mengelola otonomi, dengan berbagai inovasi dan kebijakan yang berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Daerah-daerah ini biasanya memiliki pemimpin yang visioner dan didukung oleh birokrasi yang kompeten.
Pilkada 2024 menjadi kesempatan bagi daerah lain untuk belajar dari keberhasilan ini dan mencoba menerapkannya di daerah masing-masing.
Namun, ada kekhawatiran bahwa Pilkada 2024 akan kembali didominasi oleh politik uang dan dinasti politik, yang justru bisa memperburuk kualitas pemerintahan daerah.
Politik uang seringkali mengorbankan kualitas dan integritas calon pemimpin daerah, sementara dinasti politik cenderung melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu tanpa memperhatikan kompetensi dan kapabilitas. Hal ini tentunya akan menghambat upaya untuk meningkatkan kualitas pemerintahan daerah dan mengoptimalkan manfaat desentralisasi.
Selain itu, tantangan besar lainnya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara desentralisasi dan integrasi nasional. Desentralisasi yang berlebihan tanpa kontrol yang baik bisa mengarah pada fragmentasi dan melemahnya ikatan nasional.
Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa meskipun daerah diberikan otonomi, tetap ada keselarasan dalam visi pembangunan nasional.
Pilkada 2024 harus menjadi ajang untuk memastikan bahwa calon-calon pemimpin daerah memiliki komitmen yang kuat untuk bekerja sama dengan pemerintah pusat dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Di sisi lain, Pilkada 2024 juga harus menjadi momentum untuk mendorong partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam proses politik di tingkat daerah. Selama ini, partisipasi masyarakat masih terbatas, baik karena kurangnya informasi, rendahnya pendidikan politik, maupun apatisme terhadap proses politik.
Dengan meningkatkan partisipasi masyarakat, diharapkan akan lahir pemimpin-pemimpin daerah yang benar-benar merepresentasikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Partisipasi yang tinggi juga bisa menjadi mekanisme kontrol sosial yang efektif untuk mencegah praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Menjelang Pilkada 2024, perlu ada upaya serius dari berbagai pihak untuk memperbaiki sistem dan mekanisme desentralisasi. Pemerintah pusat harus terus memperbaiki regulasi dan memberikan dukungan yang diperlukan bagi daerah untuk meningkatkan kapasitasnya.
Partai politik perlu lebih selektif dan bertanggung jawab dalam mencalonkan kandidat kepala daerah. Masyarakat juga harus lebih aktif dan kritis dalam mengawal proses Pilkada, dari tahapan pencalonan hingga pemilihan.
Setelah hampir tiga dekade berjalan, kini saatnya melakukan evaluasi menyeluruh dan mengambil langkah-langkah perbaikan yang konkret.
Desentralisasi yang efektif dan efisien masih merupakan tujuan yang harus dicapai, namun untuk itu diperlukan komitmen dan kerjasama dari semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, partai politik, maupun masyarakat.
Hanya dengan demikian, desentralisasi dapat benar-benar memberikan manfaat yang maksimal bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
*) Mahasiswa Ilmu Hukum UIN SUKA Yogyakarta