Oleh Marita Dwi Hardiyanti
(Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta)
Novel Racun Puan karya Ni Nyoman Ayu Suciartini (Naskah yang menarik perhatian juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2021), diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada Agustus 2023. Novel ini bercerita tentang belenggu prasangka yang tak berdasar sehingga berimbas buruk pada kesehatan mental terutama bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Novel ini mengungkap tiga sudut pandang penting dari para tokoh utama dalam cerita untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi pembaca. Bab 1 menggambarkan sudut pandang Kawa sebagai sosok suami yang ditinggal sang istri. Ia mengungkap rasa kegagalannya karena banyak rahasia Aruna yang tak pernah ia ketahui. Hal ini mengingatkan pembaca pentingnya komunikasi istri dan suami. Bab 2 menyajikan sudut pandang Samudra, putri Kawa dan Aruna. Ia mulai menyadari bahwa ibunya selama ini bagaikan orang asing. Samudra pun merasakan kesepian akibat kurangnya kasih sayang ibu. Hal ini membuat pembaca turut merasakan perasaan Samudra sebagai anak yang tumbuh tanpa kasih ibu. Bab 3 (terakhir) menggali tokoh Aruna lewat sudut pandangnya sendiri. Aruna yang harus tabah menjalani peran sebagai istri dan ibu tanpa bisa mengekspresikan ambisinya. Ia juga merasakan kesulitan menjadi sosok sandaran di tengah tekanan rumah tangga. Sudut pandang ini menyajikan pemahaman mendalam mengenai sisi gelap seorang ibu. Dengan tiga perspektif ini, novel ini berhasil mengkomunikasikan berbagai makna secara utuh kepada pembaca tentang dinamika konflik internal dan eksternal yang dihadapi para tokoh. Hal ini menambah kedalaman analisis serta empati terhadap isu yang diangkat.
Tema yang diangkat Penulis Novel Racun Puan sangat tepat karena berkaitan erat dengan isu yang sedang ramai dibahas dalam masyarakat saat ini. Novel ini sebagian besar mengulas tentang perempuan dan berbagai tuntutan yang harus diemban oleh perempuan, baik itu tekanan dari sistem patriarki maupun norma-norma sosial yang berlaku. Perempuan seringkali menjadi korban dari diskriminasi kultural yang memandang perempuan hanya layak menjadi istri dan ibu rumah tangga. Stigma sosial bahwa perempuan harus selalu terlihat sempurna dan melayani kebutuhan pria juga menjadi beban tersendiri bagi perempuan. Berbagai tekanan ini kerap membuat perempuan kehilangan jati dirinya sendiri. Novel ini berani menyoroti pula kehidupan rumit perempuan di balik pintu rumah. Bagaimana dia harus selalu mengalah walaupun hatinya tersiksa. Kisah-kisah perempuan yang patah hati dan terluka akibat ikatan pernikahan juga menjadi bahan kajian utama. Melalui sudut pandang tokoh-tokohnya, novel ini berhasil memperlihatkan berbagai sisi-sisi keperempuanan yang selama ini jarang terbinar. Penulis berupaya mengangkat suara perempuan dan mengembalikan martabatnya melalui karya sastra ini. Hal ini sangat pantas diapresiasi.
Perempuan sebagai manusia yang memiliki puki, mengalami menstruasi, melahirkan anak, keguguran, dan menyusui (Eckert dan Mc Connell-Ginet, 2003)
Kabar itu terus merundungku hingga aku kehilangan gairah untuk dekat dengan perempuan. Bukankah saat bersamamu semua baik-baik saja, bahkan kau rindu kucumbu? Apakah memang Aruna-ku yang paling bisa menerima apa adanya? Ah… tidak sejak kelahiran Samudra, kau benarbenar berubah dan aku membenarkan kata teman-temanku bahwa pernikahan bisa mengubah segalanya. Aku sering bertanya-tanya apakah menikahimu adalah keputusan yang keliru? (Racun Puan, 2023: 6)
Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana Kawa merasa tertekan oleh perubahan sikap Aruna setelah melahirkan putri mereka, Samudra. Dulu, ketika masih dalam masa pacaran, semua terasa begitu indah dan harmonis saat bersama Aruna. Kawa merasa Aruna adalah sosok yang paling memahami dan menerima dirinya apa adanya. Namun semenjak Samudra lahir, sikap dan perilaku Aruna berubah 180 derajat. Aruna yang dulu sangat lembut dan penuh kasih sayang kini berubah jadi sosok yang pendiam dan sering menjaga jarak. Ia tidak lagi terlihat antusias saat Kawa menyentuhnya. Hal ini tentu membuat Kawa kecewa dan bingung. Apa penyebab perubahan sikap Aruna? Apakah karena beban menjadi ibu atau ada hal lain? Kawa pun mulai meragukan pilihannya menikahi Aruna. Ucapan teman-temannya bahwa pernikahan dapat mengubah segalanya kini dirasa benar adanya. Ia sering bergulat dengan pertanyaan apakah menikahi Aruna dulu adalah keputusan yang tepat atau malah salah. Kawa pun semakin tertekan karena kerap kebingungan menghadapi perubahan drastis sikap istrinya itu.
Saat aku terbaring di rumah sakit setelah mengalami keguguran anak pertama, kukira aku akan terbantu dengan kehadiran keluarga suamiku. Kukira aku akan dikuatkan dengan kata-kata dan semangat dari keluarga suamiku yang jumlahnya banyak itu. Kukira mereka akan datang melantunkan belasungkawa dan menyemangatiku agar tidak bersedih terlalu lama. (Racun Puan, 2023: 112)
Kutipan tersebut menggambarkan kekecewaan yang mendalam dirasakan Aruna setelah mengalami keguguran anak pertamanya. Sendirian di rumah sakit, Aruna berharap akan mendapat dukungan penuh dari keluarga besar suaminya. Ia membutuhkan kata-kata penguat dan semangat dari mereka untuk mengobati lukanya. Namun, harapan itu pupus sudah. Tak ada satupun anggota keluarga Kawa yang datang menjenguknya. Mereka bahkan tak menghubungi untuk menanyakan kabarnya. Hal itu semakin menambah duka Aruna, yang kini ia rasakan tidak hanya kehilangan janin, tetapi juga kehilangan sandaran. Aruna merenungi hubungannya dengan mertuanya. Apakah selama ini ia tidak pernah membangun ikatan yang erat? Atau mungkin keluarga Kawa tidak merestui pernikahannya? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. Ia yang butuh kasih sayang justru mendapati kehampaan. Hal itu membuat rasa sepi dan frustasi semakin memuncak. Aruna larut dalam kepiluan yang memuncak akibat keguguran serta ketidakpedulian keluarga mertuanya. Kesepian pun kian memperdalam dukanya.
Aku terperenyak mendengarnya. Meski masih berbentuk gumpalan darah, apakah anakku. tak bisa dianggap sebagai manusia? Ada yang bilang “Semua ada hikmahnya”, tetapi apa yang patut disyukuri dari sebuah kehilangan? Ini bukan sekedar kehilangan barang. Ak kehilangan darah dagingku. (Racun Puan, 2023: 113)
Tokoh Aruna sungguh terluka mendengar reaksi tidak peduli keluarga mertuanya atas keguguran yang dialaminya. Bagi Aruna, bayinya meski belum sempurna adalah bagian dari tubuhnya yang paling berharga. Ketika Keluarga Kawa menganggap bayinya hanya “gumpalan darah”, Aruna merasa kehilangan dirinya dihina dan diremehkan. Baginya, itu bukan sekadar gumpalan darah, melainkan nyawa yang baru mulai tumbuh dan berkembang di rahmanya. Darah dagingnya sendiri yang telah hilang begitu saja. Ucapan bahwa “takdir Tuhan tidakdapat ditebak” sama sekali tidak membuat hatinya tenang. Itu bukanlah barang yang bisa dibeli lagi ganti jika hilang. Melainkan janin mungil yang sudah berjuang hidup sekian bulan di kandungannya. Rasa kehilangan yang mendalam menggerogoti hati Aruna. Ia kesepian karena tak seorang pun yang mampu memahami dukanya. Keluarga besar suami seolah menganggap remeh penderitaannya. Aruna semakin dilanda kebencian lantaran merasa tak dihargai sama sekali. Kehidupannya merasa hampa tanpa belas kasihan siapa pun.
Aku merasa kegetiran yang sama saat kelahiran Sam, anak kebanggaan kami. Suamiku langsung mengabari keluarganya lewat telepon bahwa yang lahir adalah bayi perempuan. Saat itu aku masih berlumuran darah dan menunggu proses penjahitan perineum selesai. (Racun Puan, 2023: 113)
Kutipan tersebut menggambarkan adanya kontras antara kegembiraan keluarga dengan kondisi Aruna pascalahiran. Ketika bayi perempuan bernama Samudra lahir, keluarga sangat bahagia dan antusias. Suaminya langsung menghubungi keluarganya untuk memberi kabar gembira. Semua tampak senang menerima kedatangan anggota baru perempuan di keluarganya. Di sisi lain, Aruna masih berjuang untuk pulih di ruang bersalin. Ia baru selesai melahirkan dan sedang mengalami pendarahan. Kondisinya sangat lemah dengan tubuh yang berlumuran darah. Ibu tentu masih dirundung rasa sakit pasca persalinan. Namun, keluarga seolah tidak peka dan hanya fokus pada rasa bahagia menerima kabar kelahiran cucu perempuan. Mereka tak ambil pusing dengan kondisi Aruna yang baru selesai melahirkan dan masih membutuhkan perawatan medis.
Hingga akhirnya aku mengandung lagi. Saat inilah semua kekhawatiran memuncak. Aku tidak menyadari bahwa ketakutan berlebih membuatku sulit bernapas. Seiring anakku tumbuh besar, kekhawatiran yang bercokol dalam diriku membuatku lupa menikmati prosesnya. (Racun Puan, 2023: 117)
Ketika Aruna hamil anak kedua, kekhawatiran yang selama ini dipendamnya mencapai puncaknya. Ia sangat cemas dan was-was sepanjang masa kehamilan. Kekhawatiran akan keselamatan janin maupun kehidupannya sendiri setelah persalinan begitu memenuhi pikirannya. Tanpa sadar, kecemasan berlebihan itu membuat Aruna susah bernapas. Ia sulit melepaskan diri dari bayangbayang buruk yang terus terngiang. Pikirannya kacau diserang rasa takut dan cemas yang tak kunjung hilang. Sementara itu, putrinya Samudra mulai tumbuh dewasa. Namun, Aruna terlalu sibuk terombang-ambing oleh kegelisahan batin untuk bisa menikmati setiap fase kecantikan anak gadisnya itu. Pikirannya terlalu terpaku pada kemungkinan terburuk saat melahirkan nanti. Padahal masa kehamilan seharusnya menjadi waktu bahagia. Aruna tidak mampu menikmatinya karena ditenggelami rasa cemas. Ia bahkan hampir lupa anak sulungnya karena terlalu terbawa khawatir selama mengandung. Kekhawatiran tersebut seolah menguasai hidup dan pikiran Aruna.
Perempuan adalah jenis makhluk hidup dari manusia yang susunan tubuhnya agak berlainan dengan susunan laki-laki. Perempuan lebih halus kulitnya, lebih halus perasaannya, dan lebih lunak sendi tulangnya. Dijadikan oleh Allah SWT, sejak dari lahir untuk menjadi pasangan bagi laki-laki dalam proses menyempurnakan sunnah dan peraturannya (PPM, 2010:1)
Teman-teman kantorku juga sering menceritakan istri mereka. Kurang lebih sama. Percakapan dalam keseharian pernikahan, katanya, tak lebih dari sekedar basa-basi. Apa sifat perempuan memang dominan begitu? Selalu merasa dikecilkan, dikucilkan, hanya karena prasangka mereka yang nyaris tanpa pembuktian. Sekarang baru ku sadar, jahat sekali temanku yang meracuniku dengan gagasan itu. Temanku itu bilang, abaikan saja jika ada perempuan mengeluh. Semua perempuan memang begitu. “Tak pernah benar persoalan dunia di mata mereka” Begitu racun kalimatnya yang aku sesali sampai hari ini. (Racun Puan, 2023: 16)
Kutipan tersebut menggambarkan makna kesetaraan gender. Dalu, saat Kawa mendengar obrolan teman kantor tentang istrinya masing-masing. Ia mencatat bahwa percakapan rumah tangga itu biasa saja. Tak terpikir ada cacat dalam pandangan tersebut. Lalu ia berdialog dengan salah satu teman. Teman itu secara terang-terangan merendahkan sifat perempuan. Ia menyebut perempuan selalu mengeluh dan tidak pernah benar. Ucapan itu sangat meracuni pikiran Kawa. Sampai suatu hari, ia tergerak untuk memikirkan kembali. Apakah benar semua perempuan memang seperti itu? Ataukah itu hanya asumsi sepihak? Kawa mulai merenung dan menyadari bahwa temannya telah menanamkan stigma dalam benaknya. Ia kemudian berusaha membuka perspektif dengan mendengarkan sudut pandang perempuan. Kawa akhirnya menyadari bahwa selama ini sudut pandangnya terhadap seorang teman yang picik dan tidak adil. Ia pun menyesali pandangan masa lalunya.
Apakah laki-laki adalah musuh perempuan, begitu pula sebaliknya? Apakah perubahan zaman yang menyertakan semuanya akhirnya akan mencetuskan perang antara laki-laki dan perempuan? Apakah seperti ini dunia yang semakin maju itu? Tidakkah kita bisa berdiskusi? Tidakkah kita saling membutuhkan tanpa harus merasa saling menggauli? Kapan kita bisa saling memahami tugas laki-laki dan perempuan adalah berbagi peran? Aku gagal mewujudkan ini, dan malah mementingkan egoku sendiri, membenarkan bahwa istri, kaum perempuan, sudah seharusnya melayani suami. Tidak merokok, tidak selingkuh, tidak temperamental, tidak berjudi, ternyata tak cukup membuatku menjadi laki-laki yang sempurna. (Racun Puan, 2023: 39-40)
Kutipan tersebut menunjukkan perjalanan Kawa dalam memahami hubungan harmonis antara laki-laki dan perempuan. Dulu ia pernah berprasangka bahwa kemajuan zaman akan memicu konflik gender. Ia khawatir laki-laki dan perempuan akan saling bermusuhan. Namun, kini sang penulis berpikir ulang. Bukankah seharusnya keduanya dapat berdiskusi dan saling membutuhkan? Selama ini ia juga hanya mementingkan ego semata. Ia membenarkan istri harus melayani suami, padahal itu tidak adil. Kawa akhirnya menyadari bahwa laki-laki sejati tidak dilihat dari tidak berjudi atau selingkuh saja. Ia mulai paham bahwa laki-laki dan perempuan sebaiknya bekerja sama dengan pembagian tanggung jawab yang setara. Bukan saling mengancam atau berkonflik. Peran keduanya harus dimaknai secara adil dan sama-sama menghargai. Sang penulis mengakui kegagalannya yang dulu kurang memahami hal tersebut. Ia kini terbuka untuk melihat perspektif baru tentang kesetaraan gender. Semoga pemahaman barunya dapat menginspirasi orang lain untuk membangun hubungan yang lebih sehat.
Aku percaya tidak ada satu manusia yang diperkenalkan Tuhan kepadaku tanpa alasan. (Racun Puan, 2023: 100)
Samudra percaya keyakinan itu bukan hanya sekedar pemikiran kosong semata. Pengalaman hidupnya selama ini semakin memperkuat keyakinannya bahwa tak ada seorangpun yang hadir di kehidupannya tanpa makna tertentu. Ia ingat berbagai pertemuan dengan orang-orang tertentu di masa lalu yang ternyata memberinya pelajaran berharga. Misalnya, pertemuannya dengan seorang nenek yang mengajarkan arti kasih sayang. Atau percakapannya dengan teman SMA yang membuka matanya soal persahabatan. Tidak sedikit pula orang-orang yang kini sudah tiada, namun meninggalkan jejak mendalam dalam hidupnya. Misalnya sang ibu yang telah tiada tapi selalu menginspirasi dirinya untuk tegar. Kini Samudra semakin yakin bahwa tak ada kebetulan dalam kehidupan ini. Semua orang yang pernah dan kini hadir di hidupnya, baik yang masih ada maupun yang telah tiada, pasti dipertemukan untuk memberinya pelajaran agar bisa tumbuh menjadi manusia yang lebih baik. Ia yakin hal itu adalah rencana Tuhan yang bijak.
Perempuan sebagai sekolah pertama, tempat anak-anak menerima nilai-nilai dasar akhlak dan ilmu pengetahuan yang semua itu akan tercetak dalam lembaran hati, sehingga tidak akan terhapus oleh peredaran masa dan pergantian tahun (Athibi, 1998:74)
Aku tidak terlahir sebagai ahli nujum atau orang spesial yang memiliki berkat untuk menjadi orang suci. Aku tidak memiliki keistimewaan itu. Tidak segampang itu menjadi orang suci. Menjadi orang suci bukanlah perkara hafal mantra atau selesai dengan upakara. Menjadi orang suci artinya dia telah selesai dengan dirinya sendiri. Aku sama sekali belum menyentuh itu. Aku masih suka hidup berpetualang, suka warna-warni, suka huru-hara. Ibuku memiliki harapan berlebihan tentangku yang harus begini, harus begitu. Harapan itu adalah yang pada akhirnya tidak bisa kupenuhi. (Racun Puan, 2023: 46)
Kutipan tersebut menggambarkan pengakuan Samudra bahwa dirinya belum layak dianggap sebagai “orang suci”. Ia menyadari bahwa tidak semua orang dipersiapkan untuk menjalani kehidupan khusus layaknya orang suci. Dirinya pun demikian, ia lahir sebagai manusia biasa tanpa keistimewaan khusus. Menurut pengertiannya, menjadi orang suci tidak semata-mata melakukan ritual atau menghafal doa. Melainkan sudah selesai dengan nafsu duniawi dan hidup sepenuhnya untuk beribadah. Namun, Samudra mengakui dirinya belum mencapai tahap itu. Ia masih sering tergoda kesenangan duniawi dan belum menemukan jati dirinya. Hidupnya masih berwarna-warni layaknya remaja pada umumnya. Samudra sadar ia belum siap memenuhi harapan ibunya untuk menjadi “orang suci”. Ia terlalu muda dan belum cukup dewasa spiritual. Samudra menyadari perjalanannya menuju kedewasaan masih panjang. Ia berjanji akan terus berusaha mendewasakan diri seiring berjalannya waktu.
Semua ditumpahkannya hari ini. Aku seketika teringat lagi kata-kata ibu yang selalu diulang-ulang sejak aku kecil. Aku tak boleh salah. Aku tak boleh membuat malu. (Racun Puan, 2023: 53)
Kutipan tersebut menggambarkan kenangan masa kecil Samudra akan nasihat-nasihat panjang lebar sang ibu. Saat itu, Ibunya selalu mengulang-ulang untuk berhati-hati dan tidak boleh sampai melakukan kesalahan, apalagi membuat malu keluarga. Kata-kata tegas nan menasehati tersebut terukir kuat di ingatan Samudra sejak ia kecil. Semenjak itu, Samudra selalu berusaha membuktikan bahwa ia bukan anak nakal. Ia ingin membuat ibunya bangga. Walau kadang masih melakukan kecerobohan kecil, tapi Samudra selalu berupaya menjadi anak teladan. Kini dewasa, Samudra selalu teringat pesan sang ibu. Ia tahu betapa berharganya nama baik sebuah keluarga. Oleh karena itu, ia berusaha melangkah dengan hatihati agar tidak mengecewakan orang tuanya. Meski sudah lama tiada, nasihatnasihat sang ibu masih terngiang jelas di benak Samudra. Ia berjanji akan selalu menjadi anak yang membanggakan dan tidak akan pernah mengotori nama baik keluarganya. Demi mengenang jasa sang ibu yang telah mendidiknya dengan kasih sayang.
Ibu selalu memastikan aku mendapatkan semua yang terbaik. Ya… aku memang mendapatkannya. Aku bersekolah di sekolah yang bagus. Dari TK, SD, SMP, hingga SMA. Bahkan sebelum TK, aku sudah mengikuti kelaskelas musiman untuk mengasah semua yang kumiliki. Ibu juga membelikanku bermacam-macam kamus agar aku bisa cepat belajar berbagai bahasa dan tak diperolok dunia. (Racun Puan, 2023: 86)
Kutipan tersebut menggambarkan keseriusan Aruna, sebagai ibu dari Samudra dalam mengayomi pendidikan anaknya sejak dini. Ia memasukkan Samudra ke berbagai kelas musiman sebelum TK guna mengasah potensinya. Ketika memasuki pendidikan formal, Aruna memastikan Samudra belajar di sekolah terbaik di setiap tingkatannya. Tidak hanya itu, Aruna juga membelikan berbagai macam kamus bahasa asing agar Samudra dapat menguasai berbagai bahasa. Aruna ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan mampu bersaing. Keseriusan Aruna terhadap pendidikan sangat memotivasi Samudra untuk selalu belajar keras. Di luar jam sekolah, Aruna selalu mendorongnya untuk menambah ilmu melalui berbagai kegiatan edukatif. Usaha Aruna tersebut terbukti membuahkan hasil. Samudra tumbuh menjadi sosok yang tangguh dan mandiri berkat pondasi pendidikan yang kokoh. Samudra sangat bersyukur akan kasih sayang dan perhatian Aruna yang begitu besar terhadap masa depannya.
Ibu juga rutin memintaku belajar bahasa Bali kepada Nenek. Katanya, sejauh apa pun aku akan bersekolah, menikah, lalu hidup di belahan dunia manapun aku akan tetap kemBali. Belajar tradisi, tutur leluhur, selalu diingatkan ibu dan dimatangkan nenek. Tentang tradisi, ibu berpesan bahwa aku harus menjadi orang kaya budaya, kaya bahasa. (Racun Puan, 2023: 86)
Kutipan tersebut menggambarkan upaya Aruna menanamkan identitas budaya Bali pada diri Samudra sejak kecil. Rutin, Aruna menyuruh Samudra belajar bahasa Bali kepada neneknya. Aruna yakin bahasa itu akan selalu menghubungkannya dengan tanah kelahiran meskipun nanti jauh. Aruna dan nenek juga sering menceritakan tentang tradisi dan tutur leluhur serta menanamkan rasa cinta pada budaya Bali di benak sang penulis. Dengan belajar bahasa dan menghayati budaya leluhurnya, Samudra diharapkan tidak kapok dengan identitas asal usulnya. Membanggakan budaya Bali dimanapun ia berada kelak. Seiring waktu, pesan Aruna semakin menghiasi jiwa sang penulis. Ia menjaga budaya yang ditanamkan sejak kecil itu dengan tetap mengamalkan tradisi serta menggunakan bahasa Bali di tengah masyarakat. Samudra bersyukur akan dorongan Aruna untuk mempertahankan akar warisan leluhur yang kini menjadi bagian penting dalam melengkapi jati dirinya.
Perempuan adalah air mata kebahagiaan dalam kehidupan, sumber kasih sayang, kelembutan, tiang, dan rahasia kesuksesan seorang laki-laki dalam kehidupan. Perempuan dapat membangkitkan keberanian dan semangatnya, menanam rasa cinta, gairah kepada pekerjaan, mempunyai sifat sabar, tabah, melenyapkan rasa lelah, membuat tabiatnya lembut, serta perasaannya yang halus (Azb, 2007:23)
Aku hampir menyerah dengan keadaan ini. Aku butuh cintamu, Aruna. Hingga pada suatu masa aku pernah berpaling pada tubuh lain yang lebih hangat. Aku benar-benar menyesal. (Racun Puan, 2023: 21)
Kutipan tersebut menggambarkan masa lalu kelam sang penulis ketika rumah tangganya dengan Aruna sedang tidak harmonis. Ia mengakui sangat membutuhkan kasih sayang istrinya pada masa itu. Namun karena kebutuhan akan cinta tak kunjung terpenuhi, sang penulis goyah dan larut dalam godaan. Suatu hari, ia bertemu wanita lain yang dengan hangat memeluknya. Saat itu sang penulis lemah dan luluh oleh sentuhan hangat tubuh sang wanita. Ia pun melakukan kesalahan besar dengan berselingkuh. Setelah insiden itu, sang penulis baru menyadari betapa dalam penyesalannya. Ia menyadari cintanya hanya untuk Aruna seorang. Wanita lain hanya sekedar pelarian sementara untuk memenuhi nafsu. Hingga kini sang penulis tak pernah melupakan kesalahan masa lalunya. Ia berjanji tidak akan mengkhianati Aruna lagi demi menjaga keutuhan keluarganya. Meski harus menanggung dosa selama-lamanya, ia rela asalkan bisa memperbaiki diri.
Apakah aku termasuk seorang budak cinta? Apakah aku selalu menghargai dan menuruti perkataan suami adalah bukti aku perempuan terbelakang? Aku tidak mendapatkan satu pelajaran pun dengan merendahkan suami untuk menunjukkan kuasa diriku. (Racun Puan, 2023: 106)
Kutipan tersebut menggambarkan proses refleksi diri yang dilakukan Aruna terhadap sikapnya selama ini di rumah tangga. Ia berpikir, apakah selama ini dirinya terlalu taat pada suami sehingga layak dikatakan sebagai “budak cinta”? Atau bahkan tanda seorang perempuan yang terbelakang? Namun, Aruna menyadari bahwa ia tidak pernah bertindak demikian dengan niat untuk mendominasi atau merendahkan suaminya. Ia hanya ingin memberikan penghormatan yang setara. Bagi Aruna, Sang Suami (Kawa) tetap harus dihormati sebagai kepala rumah tangga. Bukan untuk menunjukkan kekuasaan diri, melainkan karena ia yakin wujud cinta dalam rumah tangga adalah saling menghargai. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa sikap taatnya bukan karena ingin terlihat sebagai “budak”, melainkan karena keyakinan akan arti penghargaan dalam keluarga. Dengan begitu, ia tak perlu gentar dengan pendapat orang lain.
Meski begitu, aku tidak bisa membuat suamiku memilih aku dan keluarganya. Karena pada akhirnya, aku tahu penyebab dari semua hal yang terjadi kepadaku adalah dendam, masalalu, dan hal migas dari alam lain. (Racun Puan, 2023: 108)
Kutipan tersebut menggambarkan pemahaman Aruna bahwa sebagai seorang istri, ia tidak bisa memaksa kehendak suaminya secara penuh. Meski selama ini Aruna berusaha menjadi sosok istri idaman, mencintai Sang Suami sepenuh hati, namun ia sadar ada hal-hal diluar kendalinya. Misalnya segala kesalahan dan dendam di masa lalu Sang Suami yang masih membayanginya. Atau kekuatan-kekuatan gaib yang kadang mengganggu keseimbangan rumah tangga. Aruna tidak berdaya mengatasi langsung faktor-faktor itu. Ia hanya bisa berdoa dan selalu mendukung Sang Suami agar terlepas dari belenggu masa lalu. Karena itu, meskipun telah berusaha sebaik mungkin, Aruna menyadari ada hal-hal yang mempengaruhi rumah tangga di luar kendalinya. Ia hanya bisa berharap dan terus mendampingi Sang Suami dengan kasih sayang. Meski sulit, Aruna tak menyerah untuk terus mempertahankan keluarganya dengan doa, cinta, dan pengertian yang diberikan semampunya.
“Perempuan memang harus menerima,” kata Ibu. (Racun Puan, 2023: 129)
Kutipan tersebut menggambarkan nasihat Ibu kepada Aruna yang terkesan mengekang. Ibu mengingatkan bahwa sebagai perempuan, Aruna hanya perlu menerima dan pasrah dengan situasi apapun tanpa banyak protes. Ini mengandung makna bahwa perempuan tidak berhak banyak menuntut atau berpendapat. Sebagai anak, dulu Aruna hanya bisa menuruti nasihat Ibu tanpa berargumen. Ia merasa harus selalu tunduk pada kehendak laki-laki di keluarga. Namun, seiring berjalannya waktu, Aruna mulai merenungi makna di balik nasihat tersebut. Apakah perempuan memang hanya layak menerima saja tanpa hak berpendapat? Ia menyadari pentingnya kesetaraan dalam membangun rumah tangga. Aruna pun belajar untuk tidak lagi dipandang lemah, melainkan menjadi mitra yang setara. Kini ia menasehati anak-anaknya untuk hidup secara adil dan komplementer. Bukan lagi semata-mata tunduk pada laki-laki seperti petuah Ibu dulu yang kerap kali mengekangnya.
Perempuan adalah makhluk yang tersekatkan dalam konteks sumur, dapur, kasur, dan tidak memiliki tempat dalam ruang publik. Dengan kata lain hanya berkelindang dalam ruang terbatas dan tempat yang dianggap rendah (Engineer, 2014:6)
Kukumpulkan semua sidik jarimu yang ada di rumah ini. Kuawali dari dapur, tempat yang paling sering kau sambangi. Hampir setengah hari lamanya kau berkukat dengan kompor, wajan, tabung gas, nampan, sabun cuci piring, juga piring, dan sendok. (Racun Puan, 2023: 10)
Kutipan tersebut menggambarkan usaha Kawa yang begitu teliti dalam mengumpulkan jejak Aruna di rumah melalui sidik jarinya. Ia memulai dari dapur, tempat yang sangat dihiasi kenangan bersama Aruna. Butuh waktu lama untuk menemukan sisa-sisa sidik jari istrinya di berbagai peralatan dapur. Setelah selesai di dapur, Kawa melanjutkan pencarian ke seluruh penjuru rumah. Ia menelusuri tiap inci rumah untuk menemukan jejak-jejak kehadiran sang istri, seperti di kamar tidur, ruang tamu, bahkan dapur kecil di halaman belakang. Usahanya itu menandakan betapa dalamnya rindu Kawa pada kehangatan Aruna. Walaupun hanya melalui sisa sidik jari sekalipun, setidaknya masih bisa mengembalikan kenangan akan hari-hari bahagia mereka yang kini harus terpisah. Kawa begitu menghayati setiap inci jejak yang berharga itu. Ia tersenyum sendu mengenang masa lalu, sembari berharap masa depan keluarga kembali cerah seperti dulu. Sampai saat itu tiba, Kawa akan selalu menjaga sisa-sisa kenangan Aruna yang terpatri di rumah mereka.
Aku pikir kau memang menyukai kegiatan di dapur setiap hari tanpa jeda. Aku tak pernah bertanya apakah kau bahagia menghidangkan semua makanan di meja ini? Ah, selalu saja aku lupa menanyakan hal-hal yang sepertinya sepele, tetapi sangat kamu butuhkan, bukan? Dengan uang belanja harian yang tak seberapa, kau berhasil menyulap bayam, tongkol, tomat, juga teman-temannya menjadi makanan ala hotel bintang lima. (Racun Puan, 2023: 10-11)
Kutipan di atas menggambarkan Kawa yang baru menyadari ketidaksadarannya selama ini terhadap perasaan Aruna. Ia selalu beranggapan Aruna menyukai rutinitas memasak setiap hari tanpa berpikir apakah itu membebani perasaannya. Kawa merasa bersalah karena terlalu jarang bertanya tentang hal-hal sepele namun berarti bagi Aruna. Padahal Aruna selalu sibuk di dapur tanpa menggerutu. Meskipun uang belanja terbatas, Aruna tak pernah mengurangi kualitas masakannya. Ia berhasil menyajikan makanan yang lezat seperti di restoran mewah. Kawa baru menyadari jasa besar istrinya itu. Bukan lagi hanya sebagai ibu rumah tangga, tapi pula mitra hidup yang setia mendukung kehidupan keluarga. Kini Kawa bertekad untuk lebih memahami perasaan Aruna. Bukan lagi sebatas mengikatnya dalam rutinitas, tapi juga memberikan apresiasi dan penghargaan yang setimpal atas usahanya.
Salah satu kelemahan yang ada dalam novel Racun Puan karya Ni Nyoman Ayu Suciartini adalah alur cerita yang terasa terlalu lambat. Cerita hampir selalu berjalan secara linear dan terkesan statis tanpa adanya banyak plot twist yang menarik. Pembaca kadang merasa jenuh mengikuti perjalanan cerita yang berjalan perlahan tanpa momen puncak yang mendebarkan. Karakterisasi tokoh-tokohnya juga belum sepenuhnya memuaskan. Watak dan latar belakang setiap tokoh kurang mendapat penjabaran mendalam sehingga terkesan satu dimensi. Hubungan dan interaksi antar tokoh pun terlihat kurang dinamis. Beberapa konflik utama yang diangkat novel ini seperti masalah rumah tangga sang protagonis, gangguan halusinasi masa lalu, hingga konflik internal tokoh terkadang hanya disentuh secara singkat tanpa penjelasan lebih mendalam mengenai penyebab dan proses terjadinya. Akibat kelemahan-kelemahan tersebut, cerita jadi kurang maksimal membangun nuansa dan atmosfer karena karakter serta konfliknya belum sepenuhnya tersampaikan. Hal ini tentunya bisa menghambat pembaca untuk lebih merasakan dan terbawa alur cerita yang dihadirkan lewat novel ini.
Selain kelemahan, novel ini juga memiliki kelebihan diantaranya, Tematika sosial mengenai berbagai problematika yang melanda masyarakat Bali diangkat secara mendalam dan komprehensif. Penulis mampu menghidupkan kembali isuisu penting seperti kekerasan dalam rumah tangga, dampak tindakan masa lalu, serta adat istiadat yang dijunjung tinggi oleh warga setempat dengan sangat apik. Bahasa yang digunakan sangat lugas namun berkesan melekatkan nilai-nilai budaya lokal Bali secara mendalam kepada para pembaca. Tradisi dan kepercayaan masyarakat dideskripsikan dengan tuntas melalui ragam kalimat yang menarik. Tokoh-tokoh utama digambarkan secara kompleks dan kredibel melalui konflik internal yang dirasakan secara dalam oleh pembaca. Para pembaca seolah terhanyut dalam gelisah hati yang dirasakan setiap karakter. Kehidupan masyarakat Bali kuno dituangkan secara otentik dan lengkap. Nuansa mistis dari kepercayaankepercayaan setempat turut memeriahkan alur cerita. Novel ini memiliki pesanpesan moral menyangkut cinta kasih, ketulusan, serta penebusan dosa yang tidak hanya menghibur melainkan pula bermanfaat secara edukatif.
Secara keseluruhan, meskipun memiliki kelemahan alur cerita yang terkesan statis dan karakterisasi tokoh yang belum sepenuhnya dielaborasi, novel Racun Puan ini masih layak untuk diacungi jempol atas upayanya dalam mengkritisi berbagai persoalan sosial yang dihadapi kaum perempuan dengan tema yang sangat aktual dan relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Novel ini berhasil mengangkat berbagai isu penting yang kerap menjadi beban bagi kaum perempuan seperti tuntutan untuk selalu terlihat sempurna sebagai istri dan ibu rumah tangga, tekanan sistem patriarki yang mereduksi peran perempuan, serta berbagai prasangka buruk yang mencabik-cabik harkat dan martabat perempuan. Melalui sudut pandang multi-tokoh yang realistis, novel ini berupaya menggali akar persoalan dan dinamika internal serta eksternal yang melanda kaum perempuan dalam kesehariannya di balik pintu rumah. Meski masih terdapat ruang untuk perbaikan dalam hal pengembangan alur maupun karakterisasi tokoh yang lebih mendalam, upaya novel dalam memberikan suara kepada kaum yang terpinggirkan ini sangat memiliki arti tersendiri. Melalui karya sastra yang apik dan penuh wawasan sosial, novel ini berupaya mengembalikan martabat kaum perempuan dan menyoroti berbagai dinamika rumit yang mereka hadapi akibat berbagai praktik diskriminatif dan sistemik di masyarakat.