Kali pertama seseorang menukik kata ‘sastra’, cerminan makna yang ditangkap adalah sebuah rangkaian kalimat roman hasil imaji penulisnya. Pun demikian, sastra secara kolektif dipahami masyarakat sebagai ungkapan perasaan yang terlukiskan dalam kata-kata indah. Hanya seperti itu, tak lebih. Demikian ini yang menyejajarkan sastra dengan benda penghibur manusia lainnya—hanya dipakai ketika dibutuhkan. Padahal, sastra tidak sekecil dan se-picik demikian.
Sungguh, definisi diatas menjadi kontras bila dilihat dengan sudut pandang yang lain. Hairus Salim HS, seperti dalam buku karangannya yang berjudul Mengintip Indonesia dari Lerok dan Oetimu, sekiranya telah berhasil melihat sastra dalam kaca mata sosial-budaya. Hal ini menarik. Lokus kesarjanaan Hairus Salim di bidang keilmuan sosial, mengantarkannya untuk melihat sastra secara ‘berbeda’.
Titik tolak yang Hairus gunakan, adalah sebuah apologi dari De Bonald, “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat.” Leksikal seperti ini, lalu diamini dalam beberapa hal, yakni sastra mencerminkan situasi sosial-budaya dalam kurun waktu tertentu. Benar saja, ekspresi yang diwujudkan bukan keseluruhan, atau sebuah ekosistem kehidupan zaman tertentu secara konkret dan menyeluruh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi, yang dilukiskan hanya fragmen, simbolisme, dan atau matra. Dibaliknya, terdapat makna tersembunyi sehingga perlu penafsiran dalam memahaminya. Kajian sastra dan masyarakat, memang seringkali apatis dengan masalah estetika dan kaidah bahasanya, lebih dari itu, sastra dihadirkan sebagai dokumentasi sosial.
Salah satu upaya yang didedahkan kajian sastra dalam masyarakat, adalah isi karya sastra, tujuan, dan hal-hal lain yang tersirat yang berkaitan dengan masalah sosial. Serta pula, terdapat kajian mengenai sosiologi pengarang, profesinya, institusi sastra, serta permasalahan dan dampak karya sastra bagi pembacanya.
Sebenarnya, jika dicermati dengan saksama, terdapat sebuah apologi yang mengesankan. Bagi seseorang atau penulis yang telah mengalami tragedi yang memilukan, sastra menjadi tempat yang ampuh dalam menceritakan duka laranya, sehingga berubah menjadi obat pelipur lara.
Bagi seorang yang mengalami penindasan, sastra menjadi senjata yang ampuh dalam melawan hegemoni yang dialaminya. Sebut saja kiprah dari Wiji Thukul. Puisi-puisinya telah menginspirasi banyak mahasiswa dan aktivis hingga ikut bergabung dengan gerakannya, yakni ‘menumbangkan’ rezim Orde Baru.
Sastra menjadi media yang tepat dalam membeberkan kisah mereka di tengah ganasnya oknum-oknum yang menindas. Walaupun nama, tokoh, serta tempat yang dilukiskan barangkali disamarkan, namun, makna yang disampaikan adalah nyata. Dengan menuliskannya dalam sastra, maka penulis tidak dikenakan tuntutan-tuntutan yang bersifat ilmiah, seperti soal akurasi, validitas data, verifikasi, metodologi, dan sebagainya. Sastra mempunyai kekuatan yang hebat dalam menyampaikan makna-makna tersirat kepada pembacanya.
Bagaimanapun juga, jika karya itu dituduh sebagai fitnah, hoaks, tak ilmiah, toh itu hanya karya sastra. Yang merupakan hasil imaji penulisnya. Hatta, jika penulisnya di meja hijaukan oleh oknum yang menentangnya, hal itu tidak masuk ranah perkara hukum. Pengadilan hanya melihat fakta yang jelas, bukan ‘imaji’.
Selain itu, dengan menampilkan sebuah peristiwa dalam karya sastra, maka ia muncul sebagai sebuah narasi yang literer, yang tak membosankan untuk dibaca. Bukan sebagai traktat ilmiah yang kaku dan baku.
Dalam masyarakat sendiri, secara umum karya sastra dipahami menyampaikan kenyataan yang imajiner, yang disamakan dengan sebuah khayalan. Sedangkan traktat ilmu sosial (karya antropologi, sejarah, atau sosiologi misalnya) dianggap menyampaikan kenyataan yang empiris, faktual.
Itu adalah pandangan lama. Dalam kenyataannya, perbedaan diantara keduanya sangatlah tipis, bahkan, mungkin dalam banyak hal telah tertukar. Karena itulah, di dalam dunia antropologi, belakangan ini diakui literer dan fiktifnya karya etnografi, bukan semata karena gaya penulisannya, melainkan makin jelas peran imaji penulis di dalamnya. Seturut hal itu, saat ini banyak karya ilmu sosial yang dipersoalkan klaim empiris dan objektifnya.
Singkatnya, apa yang disebut fiksi adalah fiksi, sedangkan apa yang disebut fakta adalah fiksi juga. Semua adalah pikiran, ciptaan, serta konstruksi yang dibangun oleh penulisnya. Campur aduk bersih tegang seperti inilah yang kali terjadi dalam beberapa karya sastra yang menyangkut sejarah.
Sebaliknya, banyak pula yang melibatkan sastra dalam penelusuran sejarah. Misalnya ketika ingin melihat peran pemuka agama Islam di realitas masyarakat tahun ’50 an, dapat melihat gambarannya dengan membaca karya sastra yang dikarang di era itu. Seperti cerpen “Umi Kulsum” karya Suherman, atau dua cerpen karya Mochtar Lubis yang berjudul “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” dan “Lotre Haji Zakaria”.
Atau ketika ingin menelusuri efek dari peristiwa kudeta PKI pada tahun ’65 di lingkaran masyarakat pinggiran. Cukup dengan membaca kumpulan cerpennya G.M. Sudarta yang berjudul “Bunga Tabur Terakhir: Cinta, Dendam, dan Karma di Balik Tragedi ’65.” Yang melihat gambaran peristiwa G30S dari kacamata korban dan wong cilik.