Oleh Farisi Aris*
Saya mendengar Pancasila dari mimbar-mimbar akademik. Namun, saya menemukan Pancasila di desa, di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk orang-orang yang sudah tamat membaca risalah Pancasila secara berulang-ulang.
Suatu waktu, saat menjalankan tugas akademik selama beberapa minggu, di aras pedesaan Gunungkidul, saya menemukan Pancasila sangat hidup di sana.
Mayoritas masyarakatnya, (mungkin) tidak hafal teks Pancasila. Namun, mereka tahu bagaimana menjadi masyarakat yang pancasilais.
Mungkin Anda bertanya: bagaimana bisa mereka begitu pancasilais sedangkan mereka tidak tahu apa itu Pancasila? Jawabannya tentu sangat bisa.
Pertama, kita perlu ingat bahwa, Pancasila adalah nilai-nilai universal. Atau, bisa juga dikatakan sebagai kebenaran universal. Karena itu, kita yang cinta kebenaran, sudah pasti pancasilais.
Kedua, sebagai nilai-nilai atau kebenaran universal, Pancasila adalah produk lokal. Pancasila tidak diimpor dari daratan Eropa. Juga tidak didatangkan dari daratan China. Pancasila digali budaya bangsa kita sendiri.
Itu bukan kata saya. Itu kata Bung Karno; si kuli kemerdekaan. Beberapa puluh tahun lalu. Saat hendak mendirikan negara kesatuan ini.
Jadi, sederhananya, Pancasila itu tak lain adalah hasil dari tekstualisasi nilai-nilai masyarakat kita sendiri. Karena itu, bagi masyarakat kita, adalah sangat bisa menjadi pancasilais tanpa harus hafal teks Pancasila.
Ibaratnya, cukup menjadi diri sendiri, masyarakat kita sudah bisa menjadi masyarakat yang pancasilais. Sebab, Pancasila–sebagai nilai–adalah bagian tak terpisahkan dari dalam diri masyarakat kita.
Karena itu, dengan ini saya ingin mengatakan bahwa, untuk menjadi orang yang beradab, berperikemanusiaan, berkeadilan, sebenarnya tidak butuh menghafal teks Pancasila. Yang dibutuhkan hanyalah cukup mengamalkan nilai-nilai atau kebenaran universal itu.
Sefasih apa pun kita, menghafal teks, sejarah, dan diskursus Pancasila, maka kita tidak akan pernah menjadi pancasilais sepanjang kita tidak punya komitmen terhadap nilai-nilai atau kebenaran universal itu.
Anda perlu contoh? Anda boleh tanya. Kepada koruptor, misalnya. Silakan tanyakan: apakah mereka hafal teks Pancasila atau tidak?
Mereka mestilah hafal. Bahkan, sampai ke ujung-ujung sejarahnya. Bahkan beberapa di antaranya juga sempat menulis buku tematik (tentang) Pancasila.
Lalu, mengapa mereka korupsi? Bukankah korupsi bertentangan dengan Pancasila? Inilah problem pendidikan kewarganegaraan (PKN) kita.
Yang PKN cetak, adalah generasi penghafal, bukan pengamal. Teks Pancasila dihafalkan, namun tidak diinternalisasikan. Pun hafal, Pancasila tetap menjadi barang asing dalam diri generasi penghafal.
*) Wartawan Nolesa.com