Sering penulis menemukan kata “barakah” disandingkan dengan ilmu pengetahuan yang dihasilkan tanpa proses belajar. Ya, tentu karena kesadaran seorang murid untuk berbakti kepada seorang guru, terutama di pesantren. Menjadi murid dalam terminologi pesantren berarti; “menghamba”, menjadi budak bagi seorang guru. Ada banyak cerita klasik (baca: kitab para salafus shaleh), tentang cerita seorang santri yang menjadi “abdi dhalem kiai.” Sepanjang hari (selama santri itu mondok) tidak pernah belajar. Namun, ketika pulang ke kampung halaman, santri tersebut memperoleh banyak ilmu, banyak bermanfaat kepada orang lain. Itulah yang dimaksud dengan terminologi barakah selama penulis ketahui.
Jika hari ini penulis kemukakan, adakah konsep epistsmologi barakah? Jika dihubungkan dengan sebuah rumus-rumus yang dipaparkan oleh seorang mistikus yang kompeten di bidang ilmu-ilmu hudhuri (iluminasi); katakanlah barakah, sebut Syuhrawardi, tentu bisa saja jawabannya selalu ada. Tidak sembarang orang bisa memecahkan, definisi barakah dengan ilmu-ilmu yang bersifat hushuli. Itu sebabnya ‘barakah/hudhuri’ dijawab dengan ilmu hudhuri pula.
Kalau didefinisikan secara sederhana ilm hudhuri adalah sejenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa implikasi apapun terhadap acuan obyektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior.
Seorang peneliti Syuhrawardi sekaligus dosen pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Nusyirwan dan Benny Baskara1 menjelaskan bahwa Ilmu hudhuri sering juga disebut dengan istilah ilmu laduni, sedang ladunni sama artinya dengan ‘mendapat barakah’ atau menurut Mehdi Hairi Yazdi “knowledge by presence”, yaitu ilmu yang diperoleh dengan “menghadirkan diri”, bukan dengan mempelajarinya. Dalam kamus bahasa Arab-Inggris, Hans Wehr mendefinisikan; “knowledge imported directly by God through mystic intuition/sufism.” (Pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui intuisi mistis atau sufisme).2
Dikatakan pengetahuan langsung, ilmu hudhuri berkait kelindan dengan intuisi manusia. Ketika kesadaran akan sesuatu yang terjadi, tak ada intervensi antara kesadaran dengan yang disadari, maka di situlah intuisi terjadi. Maka, intuisi adalah istilah yang diberikan untuk suatu cara bagi kesadaran dalam mengetahui yang disadari secara langsung, tanpa perantaraan apa pun.3
Mari lihat karakteristik dari “pengetahuan kehadiran” (ilmu hudhuri) yang terbebas dari difrensiasi antara “pengetahuan konsepsi” (tashawwur) dan “pengetahuan konfirmasi” (tashdiq), disitu “pengetahuan kehadiran” tidak tunduk kepada pembedaan dari kedua hal tersebut.
Pembedaan tersebut mula-mula dibuat oleh Ibnu Sina dalam karyanya Al-Mantiq untuk menguraikan definisi konsepsi dan konfirmasi. Ia menulis, “setiap pengetahuan dan kesadaran diperoleh melalui konsepsi (tashawwur) atau konfirmasi (tashdiq). Pengetahuan dengan ‘konsepsi’ adalah pengetahuan primer yang bisa diperoleh melalui definisi atau apa saja yang berfungsi sebagai definisi. Seolah-olah dengan definisi, kita mengetahui esensi manusia.”
Sebab itu, bentuk ilmu hudhuri yang paling sederhana adalah kesadaran diri (selfconsciousness), dan yang paling tinggi adalah pengetahuan mistis berdasarkan pengalaman spiritual langsung. Bentuk kesadaran diri terdiri dari dua bagian, meliputi kesadaran diri tentang identitasnya sebagai seseorang, dan kesadaran akan dirinya sebagai sebuah “ada” (wujud). Kesadaran diri ini adalah kesadaran yang paling mendasar, bukan kesadaran yang timbul tenggelam karena perenungan kita terhadap diri kita sendiri, karena itu sudah bersifat olah pemikiran.4
Setelah mengetahui definisi-definisi singkat ilmu hudhuri, sekarang penulis ajak untuk memperolah metode ilmu hudhuri. Ada tiga mode ilmu hudhuri, yaitu pengetahuan-diri (self-knowledge), pengetahuan Tuhan tentang Diri-Nya dan ciptaan-Nya (atau emanasi-Nya), dan pengetahuan manusia tentang Tuhan.
Pada mode ilmu hudhuri yang kedua, yaitu pengetahuan Tuhan akan Diri-Nya dan ciptaan-Nya, adalah gambaran dari proses penciptaan melalui emanasi dan iluminasi, yang merupakan garis besar pemikiran Plotinus, kemudian Al-Farabi. Pada awalnya, Tuhan memikirkan diri-Nya sendiri, dan dari pikiran tersebut memancarlah cahaya-cahaya yang mewujud menjadi makhluk-makluk-Nya.5
Selangkah dari uraian di atas, diketahui bahwa sesungguhnya secara ontologis terjadi kesatuan wujud antara Tuhan dengan makhluk-Nya, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pantheisme. Melalui proses emanasi, Tuhan mengejawantah kepada makhluk-makhluk-Nya, seperti kesatuan antara matahari dengan sinarnya. Kesatuan mistis pada hakikatnya adalah kesatuan wujud antara Tuhan dengan makhluk-Nya, dan kesadaran mistis akan kesatuan ini adalah suatu bentuk ilmu hudhuri, karena kita memperoleh dan mengalaminya secara langsung. Akal dan pemikiran hanyalah sarana awal saja untuk membangkitkan kesadaran ini.
Oleh karena itu, tulisan ini menjadi alasan dikemukakannya epistemologi mendasar tentang ilmu hudhuri sebagai suatu bentuk konsepsi pengetahuan yang berbasis pada intuisi, dan bukan akal atau rasio dalam pandangan Syuhrawardi, yang banyak sekali dimaktub dalam cerita-cerita para falasuf shaleh di pesantren. Walhasil, pertanyaan yang harus penulis kemukakan; adakah ilmu hudhuri saat ini bisa didapatkan oleh seorang murid/mahasiswa, jika tiap kali kita selalu menjadi murid yang membangkang terhadap perintah gurunya(?). Wallahua’lam..
- Keduanya adalah Dosen pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Tulisannya kami ambil dalam Jurnal SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009, tentang Epifani Sebagai Ilmu Hudhuri : Suatu Tinjauan Epistemologis, ia banyak menjelaskan beberapa pandatangan tokoh terkait dengan ilm hudhuri.
- Lihat Jurnal SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009, hlm. 640.
- Ibid, hlm. 640.
- Ibid, hlm. 644-645.
- Ibid, hlm. 649.