Oleh | Chairunnisa Aznu
OPINI, NOLESA.COM – Di era digital seperti sekarang, penggunaan uang tunai semakin tergeser oleh transaksi non-tunai atau cashless. Berbagai aplikasi dompet digital dan kartu pembayaran elektronik semakin memudahkan masyarakat dalam bertransaksibertransak baik untuk belanja online maupun kebutuhan sehari-hari.
Kemajuan teknologi ini membawa perubahan besar dalam cara masyarakat mengelola keuangan mereka, menciptakan pengalaman bertransaksi yang lebih cepat, efisien, dan aman. Di sisi lain, muncul pertanyaan: apakah gaya hidup cashless benar-benar membawa manfaat, atau justru menciptakan ketergantungan yang berisiko? Sejauh mana masyarakat dapat mengontrol penggunaannya agar tetap sehat secara finansial dan tidak mengalami permasalahan akibat terlalu bergantung pada sistem digital?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tren dan Pertumbuhan Transaksi Digital
Kemudahan yang ditawarkan oleh sistem cashless membuat banyak orang beralih ke transaksi digital dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai keuntungan seperti keamanan, efisiensi, dan kemudahan pencatatan transaksi menjadi daya tarik utama sistem ini. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa transaksi digital banking mencapai Rp5.163,76 triliun pada November 2023, tumbuh 13,21% secara tahunan. Transaksi uang elektronik juga meningkat 16,95% menjadi Rp41,30 triliun. Selain itu, transaksi QRIS melonjak 157,43% mencapai Rp24,90 triliun, dengan 45,03 juta pengguna dan 30,12 juta merchant, mayoritas UMKM.
Peningkatan ini mencerminkan peralihan masyarakat ke transaksi digital karena keamanan, efisiensi, dan kemudahan pencatatan yang ditawarkan sistem cashless. Pandemi COVID-19 pun menjadi titik balik pergeseran tren transaksi ekonomi yang semula tunai menjadi non-tunai. Lonjakan pengguna dompet digital mencapai lebih dari 70%, lebih tinggi dibandingkan transaksi tunai (49%) dan transfer bank (24%). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin mengandalkan metode pembayaran digital karena praktis, efisien, dan dinilai lebih aman.
Peningkatan penggunaan e-wallet di Indonesia semakin terlihat dengan semakin banyaknya lembaga keuangan yang menawarkan layanan tersebut. Berdasarkan data Bank Indonesia, saat ini terdapat 42 penerbit e-wallet yang telah terdaftar secara resmi.
Fakta ini mencerminkan tingginya permintaan masyarakat terhadap sistem pembayaran digital yang lebih praktis dan efisien. Kehadiran berbagai penerbit e-wallet juga menunjukkan bahwa industri keuangan digital terus berkembang, memberikan lebih banyak pilihan bagi pengguna dalam melakukan transaksi non-tunai secara aman dan cepat.
Dampak Positif dan Risiko Gaya Hidup Cashless
Keuntungan Gaya Hidup Cashless
Kemudahan dan efisiensi merupakan keuntungan utama dari sistem cashless. Menurut riset Neurosensum Indonesia, penggunaan dompet digital meningkat sekitar 44% pengguna baru pada tahun 2020 yaitu setelah pandemi Covid-19. Peningkatan ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin mengandalkan transaksi digital arena lebih praktis dan efisien dibandingkan dengan pembayaran tunai.
Dengan hanya menggunakan ponsel atau kartu, seseorang dapat melakukan pembayaran tanpa harus repot membawa uang tunai. Menurut Laporan Kebijakan Moneter Triwulan IV 2023 oleh Bank Indonesia, nilai transaksi Uang Elektronik (UE) meningkat 43,45% (year-on-year) sehingga mencapai Rp835,84 triliun pada tahun 2023. Fakta ini mencerminkan semakin luasnya adopsi transaksi digital di berbagai lapisan masyarakat. Berbagai aplikasi dompet digital menawarkan fitur-fitur tambahan seperti pencatatan pengeluaran otomatis, integrasi dengan layanan lain, serta kemudahan dalam melakukan pembayaran tagihan dan transfer dana.
Dengan adanya fitur-fitur ini, pengguna dapat lebih mudah mengontrol pengeluaran dan mengelola keuangan mereka secara lebih terstruktur. Selain itu, dibandingkan dengan membawa uang tunai dalam jumlah besar, sistem pembayaran digital dapat mengurangi risiko kehilangan atau pencurian uang. Dengan fitur keamanan seperti PIN, sidik jari, dan verifikasi wajah, transaksi menjadi lebih aman bagi pengguna. Meningkatnya penggunaan transaksi digital juga mendukung perkembangan ekonomi digital di Indonesia. Hal ini mendorong pertumbuhan usaha berbasis online, UMKM digital, dan inovasi di sektor keuangan.
Risiko dan Tantangan Gaya Hidup Cashless
Ketergantungan terhadap transaksi digital dapat menimbulkan masalah keuangan. Berdasarkan survei InsightAsia, 71% masyarakat Indonesia aktif menggunakan dompet digital untuk berbagai transaksi.
Metode pembayaran lainnya yang digunakan meliputi uang tunai (49%), transfer bank (24%), QRIS (21%), paylater (18%), kartu debit (17%), dan transfer virtual account (16%). Dalam bukunya The Psychology of Money, Morgan Housel menjelaskan bahwa kesuksesan dalam mengelola uang tidak hanya bergantung pada pengetahuan finansial, tetapi juga pada perilaku. Transaksi yang mudah bisa membuat seseorang kehilangan kontrol atas pengeluaran mereka, sehingga menyebabkan pengeluaran impulsif tanpa perencanaan yang matang.
Ancaman kejahatan siber juga menjadi tantangan serius dalam gaya hidup cashless. Laporan “Boardroom Cybersecurity Report 2023” oleh Cybersecurity Ventures memproyeksikan bahwa kejahatan siber akan menyebabkan kerugian global sebesar $9,5 triliun pada tahun 2024. Jika diukur sebagai sebuah negara, kejahatan siber akan menjadi ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan China (cybersecurityventures.com).
Serangan peretasan, pencurian data, dan penipuan digital semakin marak terjadi, mengancam keamanan pengguna yang bergantung sepenuhnya pada pembayaran digital. Selain itu, tidak jarang layanan perbankan digital mengalami gangguan teknis atau pemeliharaan jaringan, yang dapat menghambat transaksi pengguna. Dalam kondisi seperti ini, mereka yang tidak memiliki cadangan uang tunai bisa mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan mendesak. Belum semua wilayah di Indonesia memiliki infrastruktur digital yang memadai, sehingga masih ada kendala dalam aksesibilitas sistem cashless.
Dampak Gaya Hidup Cashless terhadap Ekonomi
Pola konsumsi masyarakat mengalami perubahan signifikan akibat kemudahan transaksi digital. Kemudahan pembayaran digital menjadikan masyarakat cenderung berbelanja lebih impulsif tanpa perencanaan matang atau kerap disebut impulsive buying, yang dalam jangka panjang bisa menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Penelitian menunjukkan bahwa kemudahan transaksi digital dapat mendorong perilaku belanja impulsif. Misalnya, sebuah studi menemukan bahwa penggunaan metode pembayaran paylater memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan pembelian impulsif.
Selain itu, penelitian lain menunjukkan bahwa penggunaan metode pembayaran kode QR dalam fitur e-wallet mempengaruhi perilaku impulsif berbelanja pada generasi Z. Namun, hubungan langsung antara peningkatan perilaku belanja impulsif akibat transaksi digital dan ketidakstabilan ekonomi secara makro belum didokumentasikan secara spesifik dalam sumber-sumber yang tersedia.
Gaya hidup cashless memang menawarkan banyak keuntungan, mulai dari kemudahan, efisiensi, hingga keamanan. Namun, ketergantungan yang berlebihan terhadap transaksi digital bisa berisiko jika tidak diimbangi dengan kesadaran finansial yang baik. Data menunjukkan bahwa transaksi non-tunai meningkatkan pola konsumsi impulsif dan ketidakstabilan finansial individu. Selain itu, ancaman kejahatan siber juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan dalam penggunaan sistem pembayaran digital.
Oleh karena itu, masyarakat perlu menerapkan keseimbangan dalam penggunaan sistem cashless. Memiliki sedikit uang tunai sebagai cadangan bisa menjadi solusi dalam situasi darurat. Selain itu, edukasi literasi keuangan digital menjadi sangat penting agar masyarakat tidak terjebak dalam konsumsi berlebihan akibat kemudahan transaksi digital.
Pemerintah dan lembaga keuangan juga memiliki peran dalam menciptakan ekosistem cashless yang aman, inklusif, dan mendukung kesejahteraan finansial semua kalangan. Dengan pendekatan yang bijak, gaya hidup cashless dapat menjadi alat yang benar-benar meningkatkan kualitas hidup tanpa menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan.(*)
*Chairunnisa Aznu lahir di Yogyakarta pada tanggal 27 Juli 2003. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya, Universitas Negeri Yogyakarta. Dengan semangat yang tinggi dalam mendalami bidang bahasa dan sastra, Chairunnisa berkomitmen untuk terus belajar dan mengembangkan kemampuannya di dunia akademik. Keinginannya untuk berkontribusi dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa Indonesia menjadi salah satu motivasi utamanya dalam menempuh studi ini. Pernah menulis esai berjudul “Menelusuri Realitas Sosial dalam Kumpulan Cerpen Tak Ada Asu di Antara Kita Karya Joko Pinurbo” dan “Di dalam Kaleng: Sindiran Tajam Joko Pinurbo dalam Perjamuan Khong Guan” yang dipublikasi oleh redaksi nolesa.com pada Juni 2024.