Oleh: Nurul Hidayati
(Mahasiswa Jurusan Manajemen Pemasaran Universitas Negeri Yogyakarta)
Aku adalah anak perempuan yang tinggal di desa. Lingkungan pertemananku mungkin hanya sebatas anak-anak tetangga. Mayoritas teman-temanku adalah laki-laki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai anak perempuan yang tidak memiliki banyak teman perempuan, aku pun ikut bermain dengan anak laki-laki. Pengaruh lingkungan membuatku menjadi anak perempuan yang tomboy; bermain sepak bola, mancing, balapan sepeda, bahkan gaya berpakaian pun seperti anak cowok dan tidak suka menggunakan gaun seperti anak perempuan pada umumnya.
Sewaktu kecil aku terus bermain meskipun siang hari sedang panas. Sudah pasti kulitku jadi gosong karena terkena terik matahari.
Kelas 3 SD aku merasa persainganku untuk mendapatkan juara kelas sangat ketat, jika aku tidak belajar bisa saja aku tergeser dan tidak mendapatkan peringkat 3 besar. Ibuku sering bilang agar aku harus giat belajar karena ibu bangga jika aku mendapatkan prestasi. Semenjak dari itu tekatku untuk berabisi sangat kuat. Aku yang terkadang terlalu berambisius untuk mendapatkan juara kelas membuatku menjadi jarang main lagi.
Sewaktu kelas 3 SD aku merasa bahwa diriku menjadi lebih gemuk, tapi aku juga tidak begitu peduli dengan hal itu. Aku senang sekali ketika kenaikan kelas aku mendapatkan peringkat 1.
Naik ke kelas 4 dengan sistem kurikulum berubah aku merasa agak kesusahan untuk beradaptasi dengan hal itu. Hal tersebut membuatku menjadi turun peringkat. Namun selama kelas 4 SD keterampilan dan bakatku dapat aku kembangkan. Dengan mengikuti kegiatan kepramukaan, drumband, mengikuti lomba menyanyi, dan mengikuti lomba keagamaan. Pada waktu itu aku belum mengikuti lomba tonti karena aku merasa tinggiku masih kurang.
Sebenarnya aku ingin sekali mengikuti lomba tonti tersebut. Hingga aku juga ikut membeli sepatu pantofel karena keinginanku mengikuti lomba tonti tersebut. Saat itu aku merasa tidak pantas, apakah aku tidak tinggi sehingga tidak ditawari untuk ikut lomba tonti tersebut.
Mendengar dari kakak kelas, aku masih bisa mengikuti lomba tonti tahun depan saat aku kelas 5. Mulai dari itu tekadku kuat bagaimana caranya aku mulai saat ini belajar dan mengenal gerakan tonti meskipun aku merasa agak minder dengan tinggi badanku yang tidak begitu tinggi.
Aku sadar masih ada banyak potensi yang bisa aku kembangkan dalam diriku. Seperti halnya menyanyi, ya mungkin aku tidak pernah mengikuti les bernyanyi atau yang lainnya tapi suaraku juga tidak terlalu buruk.
Kelas 4 SD adalah masa di saat teman-teman seusiaku ada yang mulai merasakan cinta monyet, tapi aku pikir hal tersebut tidak penting bagiku. Prinsipku saat itu meskipun aku jelek hitam dan gemuk yang penting aku bisa berprestasi.
Ada satu momen ketika pemilihan mayoret untuk drumband ternyata aku dipilih menjadi mayoret itu bersama temanku yang sangat cantik di kelas. Aku kaget dengan hal tersebut mengapa pelatih drumband memilihku sebagai mayoret, padahal masih ada banyak temanku yang lebih cantik daripada aku.
Aku dipilih karena aku anaknya lincah. Sempat menolak dan posisiku diganti oleh temanku yang lain, namun pelatih dan teman-teman yang lain merasa bahwa aku lebih cocok yang menjadi mayoret tersebut. Aku juga saat itu merasa mungkin jika aku tidak lincah pasti aku tidak diplilih. Rasanya seperti terbanting menjadi mayoret dengan teman yang lebih cantik, tapi aku lebih lincah memainkan tongkat daripada dia.
Pernah ada pada situasi sewaktu perlombaan pawai dan kelompok drumband-ku tampil; aku yang sebagai mayoret harus berdandan. Karena aku sebelumnya tidak pernah berdandan dan tipe kulitku yang mudah berkeringat membuat makeup ku rusak. Banyak dari teman-teman yang mengomentari hal tersebut, “Ih kok jadi gitu makeupnya,” “Kok malah jadi jelek”, “Nggak cocok makeup nya”.
Ada teman yang melontarkan kata-kata yang membuat hatiku sakit ketika dia mengatakan jika aku itu hitam makanya aku jelek ketika di-makeup. Lagi-lagi aku juga cuek akan hal itu penampilanku tidak begitu penting meskipun aku banyak tersakiti dengan komentar-komentar itu.
Ketika di kelas 5 SD cukup banyak pencapaianku waktu itu, mulai dari aku yang dipilih menjadi danton tonti serta meraih juara 1, aku juara menyanyi, dan kelompok drumband-ku yang memenangkan juara 1 saat pawai kemerdekaan. Selain hal itu aku tetap berprestasi di bidang akademik meskipun aku hanya juara 2 karena memang agak susah untuk mengeser posisi temanku yang juara 1. Semangat yang tidak pernah habis untuk terus berprestasi sehingga aku pun juga tidak pernah mementingkan penampilan.
Masa-masa SD yang sangat amat kekanak-kanakan sudah lewat. Pada masa SMP aku masih tetap menjadi orang yang ambisius untuk dapat berprestasi. Makin banyak mengenal teman baru dari sekolah lain membuat pertemananku makin beragam. Awal SMP aku mulai jerawatan mukaku kasar, kusam, dan bruntusan.
Melihat teman-teman dan kakak kelas yang cantik-cantik membuatku jadi insecure. Tapi lagi-lagi aku tidak mengubah penampilanku untuk menjadi lebih baik karena prinsipku yang penting aku berprestasi urusan cantik tidaknya aku juga tidak ada dampaknya buat aku. Tapi pernah mengalami kondisi di mana aku di-bully karena terlalu ambisius, aku jelek, dan aku gemuk; pada saat itu juga bodo amat.
Sering sakit hati karena dibanding-bandingkan juga dengan sepupuku; dia lebih putih ya dia lebih bagus badannya. Merasa dibandingkan dengan sepupu sendiri membuat aku jadi tidak mau makan. Karena sakit hati ya dikatain seperti itu, bukannya membuat aku jadi kurus aku malah jadi sakit asam lambungku naik.
Kelas tiga SMP aku sedikit-sedikit mulai mengenal skincare dan aku lebih fokus untuk belajar agar dapat masuk di SMK impianku. Aku masih belum suka yang seperti dandan dan ber-outfit seperti kebanyakan temanku, aku anaknya misterius kalau di sosmed sehingga tidak banyak orang yang mengenalku di jejaring media.
Kelas tiga SMP akhir adalah dimulainya masa pandemic. Aku tidak jadi ujian nasional, tapi alhamdulilah aku mendaftar dan diterima di SMK jurusan teknik. Mayoritas siswa SMK-ku adalah laki-laki, namun hampir 1,5 tahun pembelajaran hanya dilaksanakan secara daring. Segala kegiatan sosial dan pembelajaran secara langsung dibatasi. Semasa pandemi banyak yang berubah dari diriku aku mulai agak kurus, tapi aku masih tidak begitu putih serta masih ada bekas jerawat di mukaku.
Semasa SMP juga aku yang dikenal galak tapi selama di SMK aku mulai cuek dan tidak terlalu mengurusi teman yang lain dan sudah tidak ada yang namanya bullying. Mulai SMK aku malah masih terngiang-ngiang akan ejekan yang dilontarkan teman SMP-ku dulu kalau aku jelek. Rasanya aku ingin meng-upgrade diriku menjadi lebih baik dari segi fisik dan tetap mempertahankan prestasiku. Aku menjadi lebih merawat penampilanku juga.
Aku semasa SMK juga sempat merasakan yang namanya patah hati gara-gara di-ghosting sama cowok yang deket sama aku. Sebulan itu rasanya susah banget buat move on, posisi aku belum begitu glowup, masih dekil. Tapi, dari situ aku sadar mungkin selama ini aku tidak pernah disukain sama cowok mungkin gara-gara aku nggak cantik. Niatku buat glowup jadi lebih kuat lagi supaya aku juga bisa dihargain dan dianggap. Niatku untuk glowup bukan untuk mendapatkan perhatian cowok, tapi dari sakit hati yang aku rasakan buat meng-upgrade diri jadi lebih baik dan tidak layak untuk disakiti.
Saat itu juga penampilanku mulai membaik meskipun aku tidak cantik banget tapi aura positif itu selalu ada. Tidak banyak yang aku sadari setelah aku lumayan glowup seperti banyak yang nge-notice dan aku yang sudah terbiasa cuek tidak begitu peduli akan hal itu. Sebab, yang aku pikirkan untuk terus meng-updgrade diriku menjadi lebih baik dari segi apa pun.
Perubahan setelah aku meng-upgrade diri makin banyak yang mengenali aku. Bukan hanya dari fisik tapi juga aku yang berani dan aktif waktu itu di sekolah. Bahkan, sudah jarang lagi perundungan dari teman-teman mengenai fisikku. Malahan banyak yang bilang aku makin cakep dan agak kurusan.
Dari teman yang dulunya enggan untuk berfoto bersamaku, kini aku malah sering diajak foto bersama mereka. Tetangga di sekitar rumahku juga bilang pangling dengan aku. Perubahan demi perubahan terus aku rasakan dan itu berbeda sekali dengan dulu.
Membalas orang yang telah menyakiti itu bukan dengan menyakiti balik melainkan harus mengubah diri menjadi lebih baik agar orang yang telah menyakiti merasa menyesal.
Harus ada keseimbangan antara fisik dan pencapaian sehingga tidak dikatakan kosong. Terkadang juga tidak sedikit dari mereka yang beranggapan cantik saja tapi tidak berprestasi. Hal tersebut harus diubah lagi dengan kita yang memperbaiki dari segi fisik maupun dari prestasi.
Aku tidak bisa membayangkan jika dari dulu aku tidak memiliki prestasi, jelek saja dihina apalagi ditambah tidak punya pencapaian apa-apa. Perubahanku adalah balasan untuk mereka yang telah melukai hatiku. Namun dengan adanya hal tersebut menjadi dorongan pada diriku untuk menjadi lebih baik lagi.
Ternyata sudah cukup sakit jika diingat perkataan mereka semua menganai fisikku. Mungkin ada seseorang setelah merasakan perundungan yang aku rasakan bukannya menjadi dorongan untuk menjadi lebih baik malah bisa saja membuat mental mereka down. Tidak semua orang sama jadi berhati-hati dalam berbicara, perihal mereka cantik atau biasa saja kita harus saling menghargai.
Glow up itu butuh proses. Semua orang pasti bisa. Tidak bisa dielakkan, “jika kamu cantik maka kamu aman,” itu memang benar tapi lebih benar “jika kita tidak pernah menghina fisik orang lain”. Kekurangan dan kelebihan pasti ada dalam diri setiap orang.