Oleh Karisma Nur Fitria
(Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta)
Tidakkah kamu pernah berhenti sejenak dan berpikir bagaimana dunia ini berjalan? Bagaimana bisa populasi manusia terus bertambah setiap harinya? Bagaimana bisa segala aspek baik perekonomian, pendidikan, industri, dan lainnya terus berkembang? Menjawabnya cukup mudah dengan satu kata “perempuan”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sederhana saja untuk menjawab apabila ada pertanyaan lebih lanjut kenapa “perempuan”? Pertama, dunia dapat terus berjalan karena ada dua jenis manusia yaitu laki-laki dan perempuan. Keduanya perlu untuk saling bekerjasama agar tercipta keseimbangan dalam berbagai hal. Bila kedua makhluk ini punah maka tidak akan ada yang namanya kehidupan di dunia ini.
Kedua, perempuan diciptakan Tuhan dengan rahim dan kekuatan luar biasa untuk melahirkan manusia lain. Manusia yang lahir dari setiap rahim perempuan menambah populasi di dunia ini. Hal ini tidak selalu baik dan tidak selalu buruk. Baik apabila poin pertama terpenuhi. Sudah semestinya ketika dua manusia berkomitmen untuk menikah dan membawa manusia baru ke dunia ini artinya harus merawatnya “berdua”. Namun, sayangnya tidak selalu begitu masih banyak dijumpai kasus KDRT bahkan kekerasan terhadap anak dalam lingkungan keluarga.
Sisi buruk lainnya adalah perempuan terlanjur dianggap sebagai “alat” penghasil keturunan semata. KDRT tidak hanya dalam bentuk fisik maupun psikis saja, kekerasan seksual yang orang anggap tidak akan terjadi setelah menikah sangat mungkin terjadi. Paksaan laki-laki terhadap istrinya untuk memenuhi hasrat tanpa persetujuan itu juga termaasuk bentuk kekerasan. Perempuan menjadi tidak memiliki banyak hak bicara atas tubuh dan keingannya. Bahkan jika seorang perempuan menolak untuk memiliki anak, maka ia akan dihakimi habis-habisan.
Ketiga, ilmu perekonomian, pendidikan, dan industri, sudah menjadi tuntutan wajib untuk dikuasai oleh perempuan. Seorang perempuan akan dituntut sejak dini agar mampu menjadi pelaku ekonomi yang baik. Baik itu soal tawar-menawar, jual-beli, pengatur keuangan yang hebat, semua sudah memandang ini sebagai keahlian dari setiap perempuan. Pernahkah kamu melihat seorang laki-laki menawar sayuran di pasar? Mungkin saja, tapi sepertinya tidak sebanding jumlah perempuan di sana.
Tidak hanya dituntut pintar mengatur ekonomi, perempuan juga dituntut untuk cerdas. Tetapi, ironinya tuntutan ini tidak sejalan dengan ungkapan “buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi”. Memang benar jenjang pendidikan belum bisa menjadi standar berpendidikannya seseorang. Akan tetapi, pendidikan menjadi hal dasar bagi kehidupan setiap manusia dan asupan pertamanya adalah dari seorang perempuan. Ibu yang mengajarkan nilai moral kepada anaknya dan anaknya melihat segala hal yang ibunya lakukan menjadi pelajaran untuk ditiru dikemudian hari. Dari mana sang ibu mendapatkan pelajaran yang akan diberikan kepada anaknya jika bukan melalui pendidikan?
Perempuan kehadirannya kerap kali tidak dianggap dan diremehkan. Padahal sebenarnya ialah kunci dari eksistensi dunia hingga saat ini. Begitu banyak peran perempuan dalam menopang berbagai aspek kehidupan. Perempuan yang dikata “lemah” itu nyatanya tidak kalah kuat dari baja. Jika semua perempuan di dunia sadar betapa hebatnya dunia ini dalam genggaman mereka, bagaimana laki-laki bisa mengatasinya? Jika semua perempuan mogok menjadi perempuan, lantas siapakah yang akan melahirkan? Siapakah yang akan melanjutkan roda perekonomian, pendidikan, industri, dan kegiatan rumah tangga? Laki-laki? Pikirkan pertanyaan ini.
Tuhan menciptakan manusia dengan penuh akal, tetapi Tuhan menciptakan manusia bernama perempuan beserta perasaan. Seperti yang diungkapkan oleh Gilligan (dalam Ester Lianawati, 173: 2021, Ada Serigala dalam Diri Setiap Perempuan) bahwa perempuan mengambil keputusan berdasarkan etika kepedulian sebagai pengambil keputusan moral. Hal ini kemudian berhubungan erat dengan rasa empati. Secara sadar atau tidak, perempuan dengan rasa empatinya terhadap sebuah situasi akan berdampak pada keputusan moral yang diambil.
Adanya etika kepedulian inilah semua pertanyaan “jika” itu tidak terjadi. Perempuan dengan hebatnya masih memiliki kepedulian, rasa empati, meski harus mengorbankan dirinya. Perempuan rela disebut sebagai “alat” penghasil keturunan karena kepeduliannya terhadap keberlangsungan keluarganya meski harus melawan keinginan dan tubuhnya. Perempuan acuh pada stigma yang mengucilkannya karena ahli dalam tawar-menawar padahal ini sebuah keahlian seorang pelaku ekonomi. Perempuan sudah terbiasa mendapat diskriminasi soal “pendidikan” tetapi dituntut berpendidikan atas dasar kebutuhan anaknya. Perempuan dengan etika kepeduliannya dengan suka rela membantu membiayai dirinya bahkan keluarga. Apabila seorang perempuan tidak lagi peduli dan empati, lantas tidakkah kamu menjadi khawatir akan keberlangsungan dunia ini?