Opini, NOLESA.com – Salah satu persoalan yang memiliki konsekuensi terputusnya melahirkan regenerasi yang matang, cerdas, produktif dan solutif serta bermental pendekar dalam mengawal masa depan bangsa dan negara yang berkemajuan adalah pernikahan dini.
Sampai hari ini, isu pernikahan dini menjadi polemik yang tak berkesudahan, tak bisa dikendalikan hingga tingkat persoalannya semakin tinggi dan mengkhawatirkan.
Tercatat pada tahun 2019-2020 pernikahan di usia dini meningkat dari 23.126 menjadi 64.211 kasus. Ironisnya, berdasarkan laporan terakhir dari UNICEF di tahun 2022, saat ini Indonesia berada di peringkat 8 di dunia dan ke-2 di ASEAN, dengan total 1,5 juta kasus.
Data di atas merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, pasalnya perkawinan anak atau di usia muda, sudah merebak dan menjadi problem bersama, baik di tingkatan kota dan daerah.
Hal tersebut terjadi di sebabkan sejumlah faktor yang mengakibatkan pernikahan dini semakin sulit dikendalikan.
Pertama, faktor ekonomi, keterbatasan ekonomi sering kali menjadi alasan kuat bagi orang tua untuk menyegerakan anaknya. Alasan ini biasanya menimpa kepada orang tua yang mempunyai anak perempuan. Dengan alasan, agar ketika sudah menikah anak perempuannya bisa mandiri sebab ada suami yang bisa menafkahinya.
Dengan begitu setiap orang tua merasa bebannya semakin berkurang. Tetapi, realitasnya berbanding terbalik dengan harapan awal bagi orang tua. Masih banyak terjadi, meskipun sudah mengarungi rumah tangga, anak tetap berpangku harap kepada orang tuanya.
Kedua, faktor pendidikan, pendidikan sangat berpengaruh bagi berlangsungnya pernikahan dini. Hal ini, dapat dikatakan semakin rendahnya pendidikan seseorang individu, akan menjadi faktor pendorong dan pendukung berlangsungnya perkawinan usia muda.
Pendidikan juga mempengaruhi pengetahuan, informasi dan komunikasi terkait konsekuensi perkawinan dini baik kepada anak dan orang tua. Pendidikan yang rendah juga mempengaruhi pengetahuan orang tua terhadap dampak dari pernikahan dini.
Ketiga, adalah adat atau budaya yang berlangsung di suatu daerah tertentu. Kekuatan budaya inilah, sering menjadi sebab terjadinya perkawinan di usia muda. Pada lingkungan ini, setiap anak dan orang tua tidak punya daya. Karena hal tersebut selalu menimbulkan stigma buruk dari orang sekitarnya jika anak tidak cepat menikah.
Ke-empat, maraknya kasus-kasus pergaulan bebas dan pelecehan seksual yang menimpa pada anak. Didukung juga oleh perkembangan teknologi yang menuntun anak mengakses informasi dan konten-konten negatif.
Kenyataan tersebut semakin memungkinkan orang tua menikahkan anaknya di usia yang belum matang baik secara fisik maupun psikis. Dengan anggapan tidak terjadi hal-hal yang di luar batas, lebih baik mereka di nikahkan dengan mengesampingkan masa depan pendidikan anak.
Langgengnya Dispensasi
Selain faktor-faktor di atas, perilaku itu (pernikahan dini) acapkali tidak mengindahkan aturan dan undang-undang yang berlaku. Pasalnya pernikahan dini adalah akad nikah yang dilangsungkan pada usia dibawa kesesuaian aturan yang berlaku.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya di izinkan jika laki dan perempuan sudah mencapai umur 19 Tahun.
Pada kenyataannya aturan itu sering tak berlaku bahkan tak di indahkan. Sebab, sering marak terjadi perbuatan yang meminta permohonan pengajuan dispensasi agar mendapat izin dari sejumlah pihak dan itu sangat mengkhawatirkan.
Berdasarkan data Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) RI, menyebutkan Pengadilan Agama sudah menerima laporan 65 ribu tahun 2021 dan 55 ribu permohonan dispensasi pernikahan usia dini.
Lain pada itu, Komnas Perempuan menjelaskan bahwa banyak pengajuan dispensasi di akibatkan karena banyak orang tua mengalami masalah ekonomi. Selain itu, orang tua beranggapan menikah dini dapat menghindarkan anak dari zina.
Di sini kita dapat mengatakan, selama pengajuan dispensasi ini tidak diputus oleh pihak yang berkewajiban maka pernikahan usia dini akan semakin berkembang pesat dan tak bisa dikendalikan. Pada akhirnya, akan menjadi menghambat untuk melahirkan generasi yang berkualitas.
Komitmen semua Elemen
Serumpun faktor di atas, menuntun semua elemen berkolaborasi untuk mengurangi perkawinan usia dini yang sudah marak terjadi. Jika, hal tersebut terus dibiarkan dan tidak diperhatikan dampaknya sangat besar bagi masa depan bangsa dan negara. Terutama masa depan pendidikan anak.
Alasannya, bangsa dan negara akan besar dan maju, jika mempunyai generasi yang berkualitas. Sebab pernikahan di usia dini, selalu menimbulkan pertentangan pada harapan dan cita-cita bangsa. Di mana pendidikan anak akan ditaruhkan.
Kewajiban menuntut ilmu akan pasti tidak lagi menjadi prioritas utama. Tetapi, lebih berpikir bagaimana memenuhi kebutuhan materi. Sehingga diperlukan komitmen dalam mempersempit laju perkawinan usia dini harus menjadi inisiatif bersama.
Komitmen itulah, kemudian mendapat angin segar ketika Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsujodo meluncurkan salah satu program yaitu Sadel Cepak, suatu program untuk pengembangan model desa untuk pencegahan dan penanganan perkawinan anak.
Inisiatif tersebut merupakan salah satu langka besar dan penuh harap Bupati Sumenep, yang punya komitmen terhadap generasi bangsa. Agar generasi penerus Kabupaten Sumenep tidak terjebak pada perkawinan usia dini.
Menurutnya, perkawinan anak ( usia dini) merupakan ancaman bagi terpenuhinya hak-hak dasar anak. Tidak hanya berdampak pada fisik dan psikis tetapi juga akan semakin memperparah jurang kemiskinan, kekerasan pada anak dan putus sekolah (Jejak.co).
Dengan komitmen demikian, penulis berkeyakinan bahwa Bupati Sumenep punya harapan besar agar generasinya dapat secara maksimal mengembangkan diri menjadi pribadi yang berpengetahuan, bertanggungjawab dan ikut andil dalam membangun Sumenep.
Harapan-harapan besar tersebut tentu kembali lagi pada sikap dari sebagian oknum yang senantiasa melakukan pengajuan dispensasi. Karena dari lenturnya pemberian dispensasi inilah, perkawinan anak semakin tak berkesudahan dan semakin sulit dicegah.
Apalagi berdasarkan ungkapan Kepala Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana mengungkapkan berdasarkan data dispensasi pada tahun 2020 mencapai 292, tahun 2021 mencapai 335 dan tahun 2022 sebanyak 315 (Jejak.co).
Dari data di atas, mengungkapkan fakta pada kita, bahwa pengajuan permohonan dispensasi sering kali menjadi problem yang dapat melanggengkan paradigma perkawinan usia dini.
Jika tidak ada komitmen bersama-sama yang kolaboratif dan solutif dari sejumlah pihak, mulai dari kepala desa, pengadilan dan pemerintah daerah yang sungguh-sungguh dari sejumlah elemen dimaksud, maka perkawinan usia muda sulit untuk dicegah.
Selebihnya, jangan sampai semua elemen itu, tergoda dengan sejumlah iming-iming untuk memuluskan pengajuan dispensasi.
Harapannya, program yang diluncurkan Bupati Sumenep (Sadel Cepak) dapat dukungan dari sejumlah pihak agar memiliki rasa tanggung jawab untuk merealisasikannya. Kendati demikian, merupakan komitmen agar Sumenep di huni oleh generasi yang produktif dan berkualitas.
Terakhir, agar komitmen dan program itu berjalan dengan baik perlu juga melakukan sosialisasi dan pemahaman dari semua tingkatan mulai dari desa hingga pemerintah daerah melakukan sosialisasi akan penting dan manfaatnya mencegah anak menikah di usia dini.
Pemahaman-pemahaman semacam ini, sedikitnya banyak juga akan berdampak pada setiap orang tua. Agar mereka punya pengetahuan dan pemahaman kalau perkawinan di usia yang belum matang berdampak buruk pada masa depan anaknya.
Sebab tampa kematangan mental dalam membina rumah tangga akibat Kurangnya pemahaman pada diri sendiri dan orang lain. Maka, hal yang sering terjadi pada pernikahan usia dini, mereka mudah tersinggung, sedikit emosional, kemudian terjadi pertengkaran (KDRT) hingga berakhir perceraian.