Bagi kalangan seniman, baik kalangan praktisi maupun akademisi, nama Yasraf Amir Piliang dikenal sebagai Bapak Semiotika dari Indonesia. Sebutan ini perlu digaungkan mengingat Profesor Institut Teknologi Bandung tersebut telah banyak berkontribusi untuk kebudayaan di Indonesia.
Pada saat para dosen di Indonesia mendapat kebijakan baru terkait prasyarat kenaikan pangkat dari Lektor Kepala dan Guru Besar, akademisi Seni Rupa adalah kalangan yang paling tersudutkan. Kebijakan ini dibuat oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (KEMENRISTEK-DIKTI) dan Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB).
Pasalnya, kenaikan pangkat dosen tidak mensyaratkan publikasi jurnal nasional atau internasional. Ketika rumusan kebijakan tersebut turun, para dosen Seni Rupa yang sehari-harinya berkarya di bidang karya kreatif kerepotan mendapatkan aturan baru terkait dengan syarat menulis artikel jurnal. Dosen Seni Rupa rata-rata selama ini berkarya kreatif seperti desain, kriya, lukis, dan karya rupa lainnya.
Ada banyak karya dosen Seni Rupa seperti desain poster karya Irwan Harnoko sudah dipamerkan di kancah internasional. Pameran desain poster bukan tanpa kurasi, seperti halnya seleksi artikel jurnal, para perupa harus berhadapan dengan para kurator yang menentukan layak tidaknya karya tersebut dipamerkan.
Diskusi terkait dengan pentingnya artikel jurnal atau karya diselenggarakan oleh Worldwide Graphic Designers WGD yang ditayangkan di YouTube-nya pada 04 September 2021. Pada saat itu pembicaranya adalah Prof. Yasraf Amir Piliang bersama para dosen seni dari 23 perguruan tinggi di Indonesia.
Pada 2017 yang lalu, Panitia Adhoc Pedoman Kesetaraan Karya Ilmiah di Lingkungan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB membuat Usulan Kesetaraan Karya Seni dengan Karya Tulis Ilmiah sebagai Prasyarat Utama Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen yang dibentuk berdasarkan SK Senat ITB Nomor 18/SK/I1-SA/OT/2017.
Yasraf Amir Piliang berada di balik pengusulan kesetaraan tersebut karena posisinya selaku tim PAK di Dikti yang kala itu di sana sudah ada Prof. Setiawan Sabana.
“Dulu, di samping jurnal di bidang seni yang menakutkan adalah linieritas. Jadi kalau kuliahnya DKV dan S2-nya DKV tapi doktoralnya di jurusan Komunikasi Unpad, misalnya. Selesai sudah itu. Sudah nggak bisa jadi profesor,” tutur pendiri Yasraf Amir Piliang Institute tersebut di diskusi Worldwide Graphic Designers WGD.
Biografi Singkat Yasraf Amir Piliang
Yasraf Amir Piliang lahir di Maninjau, Sumatra Barat, pada 30 September 1956 dari pasangan Lathifah Luthan dan Amir St. Sati. Sejak kecil dia sesungguhnya bercita-cita menjadi dokter. Akan tetapi, ketika tamat SMA pada 1975 dan merantau ke Bandung, dia justru terpesona oleh semangat kreativitas dan artistik Seni Rupa Bandung. Dia kemudian menjadi mahasiswa Departemen Seni Rupa ITB dengan bidang khusus Desain Produk, dan lulus pada 1984.
Sebelum menyelesaikan kuliahnya, darah Minang memanggilnya untuk terjun ke dunia bisnis. Pada 1981 dia, bersama rekan-rekan seni rupa, mendirikan Studio Desain Idessa di Bandung yang bergerak di bidang jasa konsultan desain produk, desain interior, desain grafis, dan desain tekstil.
Akan tetapi, jiwa bisnisnya ternyata tidak setangguh kebanyakan orang Minang. Dia meninggalkan Studio Desain tersebut pada 1984. Dalam waktu yang bersamaan, dia justru ditawari menjadi dosen di Jurusan Desain ITB, dan hingga kini dia tetap menjalani tugas tersebut.
Pada 1990, sebagai dosen dia berkesempatan untuk memperdalam ilmu di Inggris atas biaya The British Council. Sesuai dengan Rencana Induk di Jurusan Desain, dia ditugaskan untuk mendalami bidang industrial design dan metodologi desain yang sangat diperlukan pada waktu itu. Dia diterima di Central Saint Martins College of Art & Design, London, dan lulus pada 1993. Gelar doktoral ia dapatkan dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB, pada 2007.
Dosen Seni Karya yang Produktif
Yasraf Amir Piliang hanya dua kali mengirim opini ke harian Kompas dan langsung dimuat. Ia termasuk penulis yang beruntung di tengah banyaknya penulis muda saat itu yang sampai puluhan kali untuk dimuat di sana.
Untuk menuang gagasannya yang membutuhkan ruang lebih panjang di masa itu, Yasraf Amir Piliang menulis artikel mengenai fenomena sosial dan kebudayaan kontemporer yang dimuat dalam beberapa jurnal antara lain, Prisma, Ulum’ul Qur’an, Kalam, Jurnal Seni, dan Jurnal Seni Rupa.
Pada 2001 terbit bukunya berjudul Sebuah Dunia yang Menakutkan: Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagat Raya Chaos. Lalu pada 2003 terbit berturut-turut tiga buku, yaitu Hipermoralitas: Mengadili Bayang-bayang, Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial, dan Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna (Edisi 4 plus DVD diterbitkan oleh Matahari dengan judul Semiotika dan Hipersemiotika: Gaya, Kode dan Matinya Makna).
Pada 2004 terbit dua buku, yaitu Post-Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Post-Metafisika dan Dunia yang Berlari: Mencari “Tuhan-tuhan” Digital. Sedangkan pada 2005 terbit buku Transpolitika: Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas, dan pada 2008 terbit buku Multiplisitas dan Diferensi: Redefinisi Desain, Teknologi dan Humanitas.
Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 2011 terbit buku Bayang-bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, dan Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme (Edisi 3 plus DVD diterbitkan oleh Matahari dengan judul Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan pada 2011).
Hingga saat ini, tulisan-tulisan Yasraf Amir Piliang, baik yang ditulis sendiri maupun yang ditulis bersama koleganya tersebar secara parsial di beberapa jurnal antara lain, Jurnal Sosioteknologi, International Journal of Social Science and Humanity, The International Journal of Social Sciences, Jurnal Komunikasi Visual Wimba, Mudra Jurnal Seni Budaya, Melintas: An International Journal of Philosophy and Religion, Tawarikh: International Journal for Historical Studies, Ritme: Jurnal seni, desain, dan pembelajarannya, Sosiohumanika: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan, Panggung: Jurnal Seni Budaya, Linguistika Kultura: Atrat: Jurnal Seni Rupa, Journal of Art and Design Studies, Review of International Geographical Education Online, Andharupa: Jurnal Desain Komunikasi Visual & Multimedia, Ultimart: Jurnal Komunikasi Visual, Mudra Jurnal Seni Budaya, Visualita: Jurnal Online Desain Komunikasi Visual, Jurnal Rekarupa, Harmonia: Journal of Arts Research and Education, dan Product Design.
Setelah sekian lama tidak menerbitkan buku, penerbit Cantrik Pustaka di Yogyakarta kembali menerbitan naskah bukunya. Di antaranya yaitu buku baru dan buku lamanya.
- Kecerdasan Semiotik: Melampaui Dialektika dan Fenomena (2017) bersama penulis kedua Audifax
- Teori Budaya Kontemporer: Penjelajahan Tanda & Makna (2017) bersama penulis kedua Jejen Jaelani
- Dunia yang Berlari: Dromologi, Implosi, Fantasmagoria (2017)
- Medan Kreativitas: Memahami Dunia Gagasan (2018)
- Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya dan Matinya Makna (2019)
- Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan (2020)
- Setelah Dunia Dilipat: Animalitas, Parasitisme, Plastisitas (2020)
Kabarnya, Cantrik Pustaka sudah memegang semua lisensi buku-buku Yasraf Amir Piliang, termasuk di antaranya buku yang akan terbit dalam waktu dekat ini. Informasi ini didapatkan dari Live Instagram “Peluncuran dan Prapesan Transestetika”.
- Transestetika: Seni dan Simulasi Realitas (Jilid 1)
- Transestetika: Sastra, Realitas, dan Hiperrealitas (Jilid 2)
- Transestetika: Realitas dan Virtualitas Budaya (Jilid 3)
- Setelah Dunia Dikarantina (Trilogi dari Seri Dunia Dilipat)
- Transpolitika: Dinamika Politik di Era Virtual
Yasraf Amir Piliang dalam salah satu bukunya menulis bahwa, “Buku yang ada di tangan para pembaca budiman ini adalah buku yang lahir dari rahim kesunyian pagi, anak dari keheningan subuh, dalam kesendirian, di ujung hari. Sungguh, pagi adalah suatu jejaring waktu dengan jutaan gerbang, yang membawa kita ke sebuah samudra inspirasi tanpa batas. Pagi adalah rahim inspirasi, mata air gagasan”.
Pada 2020 yang lalu, lelaki yang menginjak usia 65 tahun itu mendapatkan anugerah Habibie Prize di bidang ilmu kebudayaan.