Oleh: Siti Aina Fatus Sunna
(Mahasiswa Prodi PBSI, STKIP PGRI Sumenep)
Bahasa adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari manusia. Terlepas dari fungsinya sebagai alat komunikasi sosial, bahasa disebutkan sebagai sesuatu yang manusiawi. Dikatakan manusiawi karena memang hanya manusia yang memiliki bahasa yang begitu lengkap, utuh, dan dinamis. Berbeda dengan binatang yang memiliki bahasa terbatas dan sifatnya statis. Setiap hari kita selalu berhadapan dan dihadapkan dengan bahasa. Bahasa seolah merupakan sentra yang menyatukan emosi sekelompok orang yang tinggal bersama untuk saling melindungi dan menjaga satu sama lain.
Masyarakat pasti memiliki bahasa. Entah bahasa yang umum atau bahasa khusus yang menjadi identitasnya. Yang pasti, hal itulah yang menjadi asal muasal munculnya istilah masyarakat bahasa. Selain bahasa, yang disebut sebagai masyarakat tidak akan terlepas dari budaya. Kebudayaan yang sudah menjadi pegangan dalam bertingkah dan berpikir dalam masyarakat tersebut. Lantas, yang menjadi titik poin dalam pembahasan ini adalah apakah bahasa sebatas alat komunikasi belaka, ataukah memang sebagai bagian dari identitas kebudayaan yang bisa memberikan warna tersendiri terhadap budaya di masyarakat?
Penting bagi kita selaku masyarakat bahasa terutama bagi mahasiswa bahasa untuk mengulik lebih dalam dua fenomena yang membingungkan ini. Ada sebuah hipotesis yang dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf, bahwa bahasalah yang mempengaruhi kebudayaan. Realitas ini bisa dipahami misalnya dalam konteks kedisiplinan menghargai waktu. Masyarakat Indonesia mungkin masih menoleransi waktu, karena mereka mengenal pepatah: “biar lambat lima menit asal tidak masuk rumah sakit”. Atau dalam konteks budaya membaca. Masyarakat kita mengenal istilah “lebih baik bertanya daripada sesat di jalan”. Hal inilah yang kemudian membuat sebagian masyarakat malas untuk membaca rambu-rambu atau petunjuk-petunjuk yang ada dai tempat-tempat umum seperti di terminal, atau di tempat wisata, atau tempat pelayanan publik seperti perkantoran, puskesmas, rumah sakit dsb. Mereka cenderung malas untuk membaca petunjuk-petunjuk yang terpampang di tempat-tempat itu. Meskipun sudah jelas petunjuk yang ada, masyarakat masih kurang absah kalau belum bertanya kepada petugas. Sebaliknya, karena petugas lebih sering mendapat pertanyaan, akhirnya petunjuk-petunjuk itu hanya menjadi aksesoris yang tidak pernah berarti apa-apa selain hanya sebagai pajangan. Ini mungkin bagian dari simbiosis mutualisme bahasa dan budaya di masyarakat.
Ada juga fenomena baru yang berkembang di zaman modern sekarang—yang memiliki banyak istilah gaul—justru lebih cenderung berbanding terbalik dengan fenomena di atas.. Seiring dengan adanya budaya di media sosial yang memudahkan setiap orang berinteraksi dengan siapapun yang berbeda daerah bahkan dari belahan dunia manapun, bahasa menjadi semakin berkembang dan itu tidak dapat ditahan lagi. Istilah-istilah baru mulai berdatangan yang kemudian membudaya di kalangan generasi muda-mudi. Ada istilah anjay, anjir, dan anjrit yang mungkin paling sering kita dengar. Sebenarnya bahasa itu merupakan plesetan dari nama hewan yaitu anjing dan seolah dihaluskan dengan istilah yang lain. Bahasa itu lahir dari budaya di media sosial ditambah game online yang cenderung kasar dan blak-blakan, kemudian mempengaruhi bahasa penggunanya. Istilah ini dianggap gaul oleh anak muda sekarang. Siapapun itu sudah dianggap lumrah mengatakan hal demikian. Entah itu orang awam pun berpendidikan. Atinya secara tidak langsung budaya yang melingkupi masyarakat kita telah melahirkan bahasa-bahasa yang tak tersaring dari sisi etika kebahasaannya. Bahasa yang muncul kemudian menjadi alat komunikasi yang diangap lumrah tanpa ada batasan etika yang memfilternya.
Oleh karena itu, bahasa memang menjadi salah satu bagian dari identitas kebudayaan atau kebiasaan seseoang, karena bahasa juga semi dari akar kebudayaan. Menjaga kebiasaan juga berarti menjaga bahasa kita. Terkadang kebiasaan negatif yang membudaya akan membentuk polarisasi bahasa yang tidak baik pula. Untuk itu, bahasa yang digunakan perlu ditempatkan berdasarkan konteks. Jika tidak, maka bahasa yang ada akan cenderung kasar dan blak-blakan tanpa melihat siapa mitra tutur bahasanya. Itulah yang sering terjadi di kalangan anak muda sekarang. Kebiasaan telah membentuk karakter bahasa yang buta, meskipun tidak selalu bahasa gaul dianggap negatif. Artinya, konteks berbahasa dan siapa yang menjadi lawan bicara akan mewarnai stigma bahasa itu sendiri. Jika lawan bicaranya adalah teman akrab, bahasa yang cenderung kasar dan blak-blakan akan menjadi tali pengikat keakraban antarsahabat.
Berdasarkan realitas ini, penting untuk selalu melihat konteks. Di mana kita bicara, bersama siapa kita bicara, apa yang dibicarakan, adalah fenomena yang harus dipahami sebelum bahasa itu digunakan.