Opini, NOLESA.com — Kampus memiliki tanggung jawab moral untuk ikut serta mewujudkan perdamaian di tengah keberagaman. Di satu sisi, kampus memahami betul bahwa keberagaman adalah keniscayaan. Di sisi lain, kampus juga memahami betul bahwa keberagaman (perbedaan agama, kepercayaan, keyakinan, dll) bukanlah penghalang untuk mewujudkan perdamaian dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara. Singkatnya, kampus memiliki peran strategis (yang tidak dimiliki lembaga lain) untuk mewujudkan kehidupan yang rukun dan harmonis.
Sebagai kampus berbasis Islam, UIN Sunan Kalijaga menyadari betul peran strategis yang dimilikinya itu. Itulah sebabnya mengapa pada Senin (13/2) Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta menganugerahkan gelar kehormatan honoris causa (HC) kepada Dewan Pakar Majelis Muhammadiyah Sudibyo Markus, Prefek Dikasteri Untuk Dialog Antaragama Vatikan Kardinal Miquel Angel Ayuso Guixot, dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya.
Dipilihnya tiga tokoh tersebut sebagai penerima gelar kehormatan HC bukan tanpa alasan yang jelas. Ketiga tokoh penting itu dengan sengaja dan sadar dipilih karena bagi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ketiganya telah berkontribusi besar terhadap upaya mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi keberagaman. Ketiganya, oleh UIN Sunan Kalijaga dipandang bukan hanya menginspirasi gerakan perdamaian di dalam komunitas agamanya, tetapi juga di luar komunitas mereka masing-masing, melampaui batas dan garis-garis ideologis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh karena itu, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta merasa berkepentingan untuk memberi gelar kehormatan HC kepada ketiga tokoh lintas komunitas dan agama yang telah banyak mengisnpirasi itu. Dalam sambutannya, Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Al Makin mengatakan bahwa ketiganya adalah pemimpin besar yang telah memberi contoh bagaimana mengelola kehidupan masyarakat melalui konsep pemberdayaan berbasis keberagaman (multikulturalisme) guna mencapai puncak perdamaian kehidupan. Bukan menjadikan keberagaman (perbedaan) sebagai alasan untuk saling memusuhi.
Penganugerahan gelar kehormatan HC itu mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Hasto menyebut bahwa penganugrahan gelar kehormatan kepada ketiga tokoh tersebut merupakan langkah penting dalam rangka menjembatani keberagaman dan perbedaan.
”PDI Perjuangan merasa bangga, bagaimana UIN Sunan Kalijaga menjadi pelopor perjuangan kemanusiaan dengan mengedepankan toleransi, persaudaraan sejati seluruh umat manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagaimana disampaikan dalam Alquran Surat Al-Hujarat ayat 13 yang dibacakan pada saat pembukaan,” ujar Sekjen PDIP Perjuangan yang juga berkesempatan hadir dalam acara penganugerahan gelar kehormatan tersebut.
Langkah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta memberi gelar kehormatan kepada tiga sosok penting itu memang patut untuk diapresiasi. Meski sekadar menganugerahkan gelar kehormatan, namun terobosan UIN Sunan Kalijaga itu akan menjadi titik pijak penting dalam kerja-kerja mewujudkan perdamaian. Terlebih, salah satu tokoh yang dianugerahi gelar kehormatan adalah tokoh non-mulism. Tentu hal itu adalah langkah positif yang masih jarang dilakukan oleh banyak kampus. UIN Sunan Kalijaga adalah kampus berbasis Islam. Karena itu, pemberian gelar kehormatan kepada tokoh non-mulism itu menjadi semacam penanda penting tentang komitmen UIN Sunan Kalijaga terkait toleransi dalam beragama.
Paradigma pendidikan yang diterapkan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta adalah paradigma ”integrasi-interkonektif” dengan tokoh sentralnya Prof. Amin Abdullah. Dengan paradigma itu, UIN Sunan Kalijaga hendak mengintegrasikan setiap ilmu pengetahuan guna mencapai puncak kebenaran. Karena itu, UIN Sunan Kalijaga tak sekali-kali melakukan dikotomi ilmu pengetahuan, baik yang bersumber dari kitab kuning ataupun kitab putih, semuanya sama-sama dipelajari untuk memperoleh kebenaran filosofis.
Hal yang sama juga dilakukan oleh UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam ilmu keagamaan. Meski berbasis Islam, namun agama yang dipelajari oleh mahasiswa dan para dosen bukan hanya Islam saja, tetapi juga agama-agama lain. Bahkan, sebagai penjurusan, di UIN Sunan Kalijaga juga telah disediakan program Studi Agama-Agama (SAA). Itu semua adalah komitmen UIN Sunan Kalijaga untuk mewujudkan perdamaian melalui jembatan ilmu pengetahuan yang tidak dikotomis, tetapi terintegrasi dan terkoneksi satu sama lain.
Penganugerahan gelar kehormatan kepada tiga tokoh penting itu, juga berangkat dari semangat semacam itu. UIN Sunan Kalijaga yakin, dengan adanya interaksi dan dialog lintas komunitas dan agama akan dihasilkan sebuah pemahaman mendalam yang pada akhirnya akan mampu menguatkan simpul-simpul toleransi di tengah keberagaman masyarakat.