Anak Menjerit, Orang Tua Diam: Ketika Pesantren Jadi Trauma Awal

Redaksi Nolesa

Minggu, 25 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(foto: FB Nadirsyah Hosen)

(foto: FB Nadirsyah Hosen)

Oleh Nadirsyah Hosen

MIMBAR, NOLESA.COM – Di balik pagar pesantren dan lantunan ayat suci, kadang terdengar jeritan kecil—tangis histeris anak usia dini yang dipaksa berpisah dari ibunya.

Atas nama cinta pada agama, orang tua menitipkan anaknya ke pesantren sejak dini. Tapi apakah cinta selalu benar dalam cara mengekspresikannya?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Anak usia 5–7 tahun yang belum matang secara emosional, tiba-tiba dipisahkan dari figur paling aman dalam hidupnya—ibunya—tanpa penjelasan, tanpa persiapan, tanpa pelukan yang cukup. Dia menangis, bukan karena tak cinta agama, tapi karena belum paham rindu dan kehilangan. Ia belum bisa membedakan belajar agama dengan ditinggalkan.

Baca Juga :  Mumpung Masih ada Waktu Bisa Bertemu Matahari

Orang tua sering membanggakan diri telah “menanamkan nilai sejak kecil”, padahal yang ditanam bisa jadi bukan cinta pada agama, tapi luka karena merasa diasingkan. Anak mungkin tumbuh pandai menghafal doa, tapi dalam hatinya tertinggal tanya: kenapa aku dititipkan? Apa aku tidak cukup dicintai?

Baca Juga :  Syekh Ali Jaber, Khusus Hari Jumat Nabi Muhammad SAW Minta ini Kepada Umatnya

Banyak yang mengabaikan kesiapan mental anak. Tak semua anak siap mondok sejak kecil. Perlu pendampingan emosional, dialog yang manusiawi, dan—yang terpenting—kepekaan.

Atas nama agama, orang tua kadang merasa telah menunaikan tanggung jawab dengan “memondokkan anak”—seolah cukup sampai di situ. Padahal pola asuh tak bisa dialihkan begitu saja. Sebaliknya, pesantren juga sebaiknya tidak menerima anak yang jelas belum siap dan menolak dipisahkan dari rumah.

Baca Juga :  Menanti Kenegarawanan Presiden

Agama tidak pernah memerintahkan kita mencederai fitrah anak demi tampilan kesalehan. Bahkan Nabi mempercepat salatnya saat mendengar tangis anak. Tapi hari ini, kita justru sering bersembunyi di balik jubah agama untuk menutupi ketidakpekaan.

Jangan sampai anakmu pandai membaca Al-Qur’an, tapi setiap kali mendengar ayat pertama, yang ia ingat justru hari ketika ia merasa dibuang. Agama menjadi trauma.(*)

Tabik.

Sumber: FB Nadirsyah Hosen

Berita Terkait

Menggali Kekuatan Jiwa
Muhasabah: Belajar Menggali Kekuatan Jiwa
Abu Ustman Al-Hiri: Menjaga Getar Perasaan Wanita
Krisis Nepal: Pelajaran untuk Indonesia
Klarifikasi dan Luka Sosial
Saatnya Negara Berbenah
Protes Publik dan Pemerintah yang Gagal Paham
Seleksi Calon Hakim Konstitusi dan “Tafsir Sesat” DPR

Berita Terkait

Jumat, 24 Oktober 2025 - 12:52 WIB

Menggali Kekuatan Jiwa

Jumat, 26 September 2025 - 13:55 WIB

Muhasabah: Belajar Menggali Kekuatan Jiwa

Jumat, 19 September 2025 - 07:54 WIB

Abu Ustman Al-Hiri: Menjaga Getar Perasaan Wanita

Kamis, 11 September 2025 - 06:14 WIB

Krisis Nepal: Pelajaran untuk Indonesia

Senin, 8 September 2025 - 20:16 WIB

Klarifikasi dan Luka Sosial

Berita Terbaru