Oleh | Nada Apit Aulia
RESENSI BUKU, NOLESA.COM – Rasanya mengejutkan jika melihat coretan misterius dengan rona merah menyerupai darah yang mengekspresikan sebuah tulisan misterius. Untaian tanda grafis membentuk sebuah pola bermakna yang samar.
Pesan tersirat yang mengisyaratkan bahaya, karena seusai coretan itu terbaca, insiden mengerikan terjadi. Apakah ini pesan intimidasi? Siapa yang tega melenyapkan nyawa dengan muslihat biadab seperti ini? Atau justru peringatan indikasi bahaya? Bagaimana mungkin lembaga pendidikan yang selayaknya dilindungi malah menjadi malapetaka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Membayangkannya saja sudah bergidik ngeri. Itulah yang dirasakan Resty Mahadewi dan Jatmiko, dua tokoh utama dalam novel Aksara Berdarah karya Yan Tok.
Wiyata Guna, lembaga swasta yang terkenal atas prestasi dan fasilitasnya. Resty dan Miko menjadi bagian dari sekolah dasar tersebut. Resty sebagai seorang guru kelas tiga, sedangkan Miko sopir antar jemput murid-murid.
Entah keberuntungan atau kesialan, huruf berdarah seperti sebuah sinyal komunikasi yang hanya bisa ditangkap oleh mereka berdua. Kebingungan, kegelisahan, serta kecurigaan menjadi puzzle yang harus diselidiki untuk mencari kebenaran.
“Dia belum tahu apa makna tulisan itu. Dia juga masih penasaran siapa yang menuliskan huruf berdarah itu. Apakah ini sebuah teka-teki, ancaman, prank, atau kode tertentu?” (hal. 10)
Novel ini mempunyai latar yang unik. Bagaimana tidak? Yan Tok memadukan konteks pendidikan dengan misteri yang cukup mengerikan. Teringat stigma masa kecil yang mengisahkan latar belakang kelam tentang pembangunan sekolah. Entah sengketa tanah kuburan atau demolisi rumah sakit.
Aksara Berdarah menceritakan lebih dari itu, kematian dan kekuasaan dibalut dengan luka yang menyayat. Pesona novel ini terletak pada teka-teki pemantik pertanyaan. Akankah ada rahasia besar yang menyelimuti Wiyata Guna? Apakah ada dendam yang menuntut balasan nyawa? Setiap paragraf menjadi kunci yang mengantarkan pada kebenaran.
Kematian di Balik Nama Berdarah
Yan Tok menggambarkan situasi yang membingungkan, namun hal tersebut menjadi titik menggairahkan. Teror nama yang tertulis menjadi sebuah tanda tanya. Satu nama yang terekam jelas, FAREL. Kematian menjadi takdir Tuhan, manusia tidak berhak untuk mengetahuinya.
Namun, aksara berdarah itu? apakah hanya sekadar huruf-huruf tak beraturan? Yang tertulis tampak seperti sebuah peringatan dini. Urgensi ditangkap melalui merahnya yang menggertak. Yan Tok mengelaborasikan kejadian yang dihadapi Miko dan Resty dengan situasi yang berlainan.
Miko menemukan identitas FAREL pada kaca belakang mobilnya, sementara Resty menemuinya di kaca jendela. Misteri nama FAREL ditutup dengan insiden memilukan, bocah malang itu tersengat listrik dan ditemukan tak bernyawa di taman.
“Apakah ini tulisan iseng atau hanya kebetulan? Tetapi salah satu dari nama itu kini terbujur kaku menjadi mayat. Apakah lagi-lagi ini sebuah kebetulan? Atau mungkin ini sebuah kode? Tapi kode apa? Dari siapa?” ( hal. 11)
Tidak hanya satu nama, setelah kepergian Farel, kembali ditemukan nama dengan warna merah mengamang. CAROL dan AJROEL. Yan Tok menciptakan traumatis dengan hanya sekadar nama. Maut menghantui setiap jiwa yang terhimpun di dalam cerita.
Terdapat satu tulisan yang tidak memuat nama, namun acara besar, yaitu HARDIKNAS. Akankah nasib naas menimpa mereka yang terlibat di dalamnya? Apakah Resty dan Miko berhasil menolongnya? Misi penyelamatan menampilkan aksi heroik yang mengagumkan.
Cerita Manis dan Pahit Wiyata Guna
Tidak sepenuhnya cangkriman sensasional, Aksara Berdarah memuat konflik dunia pendidikan yang faktanya tidak selalu berkaitan dengan kebajikan moralitas. Yan Tok mengungkapkan problematika terkait hierarki pendidik, guru muda dianggap ancaman bagi guru tua. Tidak hanya sosok misterius, kolusi Geng Rosmala juga menjadi teror yang mengerikan.
Tindakan yang dilakukan tidak mencerminkan seorang guru yang seharusnya digugu dan ditiru. Yan Tok mendramatiskan cerita dengan eksistensi Geng Rosmala yang mengobarkan emosi pembaca, satu hal yang tidak bisa ditoleransi adalah penindasan. Yan Tok juga menyinggung mengenai krisis etika yang dilakukan salah satu tokoh, yaitu Bu Ulin, seorang guru yang menjual integritas demi kepentingan pribadi.
Di balik kontroversi tersebut, Yan Tok juga menggambarkan sisi positif yang sudah selayaknya dimiliki guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Yan Tok menggambarkan suasana hangat di lingkungan sekolah. Kasih sayang seorang guru dalam mendidik serta menebarkan kebaikan membuat suasana beralih mengharukan. Ketulusan untuk saling melindungi, menghargai, serta menyayangi terlukis dengan sangat indah. Berikut bagian yang berhasil menyentuh hati.
“Aku benar-benar sangat senang dengan tugas tersebut; tertantang dengan kesempatan untuk memberi pengetahuan yang mendasar kepada anak-anak. aku berharap ilmu yang kuberikan menjadi inspirasi buat kehidupannya kelak. Uhh, sungguh mulia diriku, pujiku menghibur diri.” (hal. 19)
Yan Tok memberikan pemanis berdasarkan kisah persahabatan Resty, Nindy, dan Boyoh. Solidaritas mengantarkan mereka pada akhir yang bahagia. Novel ini juga menyinggung sedikit tentang perjuangan guru dalam menuntut keadilan.
Desas-desus Sekolah Berhantu
Tidak mempunyai riwayat indigo membuat Resty merasa gusah setelah beberapa kali melihat sosok mistis yang menampakkan diri. Entah lambaian, tatapan, atau sekelebat aktivitas tak jelas yang tiba-tiba menghilang. Gadis kecil bergaun kumal dengan tatapan tajam menghantui dan menggemparkan satu sekolah. Tidak seperti manusia pada umumnya, dia tidak berjalan, melainkan mengesot. Resty melihatnya di ujung tangga serta satpam menemukannya di halaman belakang.
Lebih parah Sashi, salah satu siswi yang menemuinya di balik pohon dengan hewan berlumuran darah di tangannya. Bayang-bayang gadis itu menjadi isu hangat, berbagai gosip berkembang dari mulut ke mulut. Kesimpangsiuran menjadi tidak terkendali. Citra Wiyata Guna menjadi taruhan. Yan Tok mempermainkan imajinasi pembaca.
Berbagai kemungkinan muncul di kepala, dan mengejutkannya semua hal yang menimpa Wiyata Guna tidak jauh dari masa lalu sang pemilik sekolah tersebut, Pak Wiguna. Untuk membuktikan kebenaran, Rasty berkolaborasi dengan Miko, Nindy, dan Boyoh. Upaya pembuktian seperti petualangan detektif.
Sangkut-paut Mimin, Mumun, dan Jatmiko
Lara sepi tak terobati/dalam cengkeraman mata hati/menetes perih mengalir darah/membuntutimu dari segala arah (hal. 25). Yan Tok mempercantik novel dengan karya sastra. Larik demi larik terangkai, bukan sebagai petunjuk, namun rasanya malah semakin rumit. Secarik kertas bertuliskan puisi yang ditemukan kesulitan mencari maknanya.
Pengusutan di balik teror aksara berdarah dan syair terus berlanjut. Masa lalu tentang Pak Wiguna menjadi penyebab utama teror misterius. Mencengangkan, semua kisah tentang pemilik sekolah tersebut diketahui oleh Jatmiko, sopir sekolah. Keterkaitan Pak Wiguna dengan Jatmiko menjadi rahasia besar. Yan Tok memosisikan Jatmiko selayaknya karyawan biasa, namun realitasnya lebih dari sekadar sopir.
Jatmiko memegang peran krusial di tengah keluarga Pak Wiguna. Yan Tok mengemas cerita dengan sangat apik, puzzle mulai menemukan keutuhannya. Tentang sosok yang tiba-tiba menghilang, ia adalah Mimin. Tentang gadis lusuh yang bergerak mengesot, ia adalah Mumun. Riwayat kelam keluarga Wiguna menjadi puncak cerita Aksara Berdarah.
Kisah tragis yang menyayat hati. Novel ini mempunyai roh yang menegangkan serta memilukan. Tiap lembar seperti menemukan sebuah jawaban. Banyak kejadian tak terduga yang harus pembaca temukan di novel ini. Kepedihan dengan sensasi meremang seperti terjebak dalam roller coaster.
Setelah membaca seacara keseluruhan, kekurangan yang tampak terletak pada ketidaksesuaian Yan Tok dalam menggambarkan tokoh Jatmiko.
“Dia menggandeng anak lelakinya yang berumur tiga tahun, setahun lebih tua dibanding dengan putri Pak Wiguna. Anak laki-lakinya itu bernama Jatmiko.” (hal. 132)
“Badannya seperti anak berusia delapan-sembilan tahun, walau usia sesungguhnya setahun lebih tua dari Miko. Jalannya ngesot tapi cepat.” (hal. 178)
Pada halaman 132 dikatakan bahwa Jatmiko lebih tua dari putri Pak Wiguna, yaitu Mimin dan Mumun. Namun, pada halaman 178 tertulis bahwa putri Pak Wiguna setahun lebih tua dari Jatmiko.
Aksara Berdarah menjadi novel misteri yang layak dibaca. Tidak ditemukan bagian yang membosankan, rangkaian kata-katanya seperti menghipnotis pembaca untuk terus mendalaminya. Setiap bab cerpen mengandung banyak kejutan yang jarang ditemui pada novel lainnya dengan alur yang tidak mudah ditebak.
Novel ini cocok dibaca oleh remaja dengan usia minimal 14 tahun, karena menyisipkan sedikit kejadian tragis di mana ditemukan potongan kulit dan rambut manusia yang menempel di tembok.
Sebagai calon guru ataupun seorang guru juga direkomendasikan membaca cerpen ini, banyak amanat yang dapat diambil berdasarkan pengalaman tokoh. Nikmati dan rasakan sendiri sensasi Aksara Berdarah yang membuat otak bertanya-tanya! Saatnya kamu yang menjadi target teror selanjutnya!(*)
*Nada Apit Aulia, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)










