Oleh : Nur Khalis*)
Disparitas antara kepulauan dan daratan, di Kabupaten Sumenep, bukan hanya soal infrastuktur dan pendidikan. Akan tapi juga persoalan nyawa.
Sejak musim penjajahan, kata seorang kawan, setiap kali warga kepulauan Sumenep jatuh sakit dan membutuhkan darah, pasti hanya bisa diganti dengan air infus. Hanya itu satu-satunya pilihan.
Rasanya, itu ada benarnya. Terakhir, yang saya tahu, dialami oleh alm. Suwatini, warga desa Tarebung, Kecamatan Gayam pulau Sepudi Kab. Sumenep. Beliau akhirnya wafat. Sebab air infus yang menjadi satu-satunya harapan untuk hidup, tak bisa menggantikan darahnya.
Sampai saat ini, tak ada satupun warga kepulauan yang merdeka dari darah. Buktinya alm. Suwatini. Dia harus rela mati karena hidup di pulau yang juga belum merdeka dari darah, pulau Sepudi.
Saat itu, Dinkes Sumenep menyebut, seluruh puskesmas kapulauan, termasuk rumah sakit Abuya di Kecamatan Arjasa pulau Kangean, tidak ada satupun yang bisa melakukan donor darah. Satu-satunya harapan untuk mempertahankan kehidupan, dikala sakit, hanya diganti infus saja.
Ada yang bertanya, kiranya sampai kapan? Darah yang menjadi pertaruhan nyawa, terus-terusan diganti air infus semata? Jawaban saya, seperti yang sering diutarakan oleh pemerintahan: ya, sedang diusahakan.
Frasa “sedang diusahakan”, artinya cukup beragam. Pertama, alasan itu membuat pemerintah “merasa” telah ada untuk warganya. Kedua, agar pemerintah terkesan telah hadir dan tetap memberikan peran. Ketiga, upaya menjaga kesabaran warga kepulauan.
Paling tidak, jika kematian terus terjadi karena kekurangan darah, warga kepulauan tak perlu marah. Yakinlah, pemerintah akan terus berusaha dan tidak akan pernah pasrah.
Meskipun, mungkin saja, hanya itu satu-satunya cara yang bisa pemerintah lakukan: terus menerus menyatakan harapan, yang entah sampai kapan. Atau mungkin sampai warga kepulauan muak dengan seluruh harapan yang telah dijanjikan.
Tagline baru pemerintah: ”Sumenep Melayani”. Frasa ini, tentu punya beban yang berat sekali. Tagline itu, mengharuskan seluruh keinginan warga diupayakan. Meski disikapinya secara acak-acakan.
Pemerintah sempat menghembuskan harapan, warga bisa umroh langsung dari Bandara milik sendiri. Ternyata, di lain hal, dua maskapainya sudah tak kuat dan memilih pergi. Seacak itu hembusan harapan dan kenyataan berkelindan.
Tentu saja, bagi pemerintah, tak akan ada ucapan setengah hati melayani warga kepulauan. Meskipun, kenyataanya, darah tak pernah mudah didapatkan. Ini akan kita lawan, atau dibiarkan?
Sumenep, 14 Agustus 2022