Rendahnya Kepercayaan Diri Perempuan Terhadap Pendidikan

Minggu, 21 Januari 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Suara Perempuan, NOLESA.com – Di era modern ini, terlihat adanya tren di mana sebagian perempuan cenderung kurang percaya diri dan juga kurang yakin akan nilai dan manfaat dari pendidikan tinggi. Beberapa di antaranya lebih memilih untuk langsung memasuki dunia kerja atau bahkan memilih profesi seperti menjadi ART. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kurangnya semangat belajar dan pengembangan diri.

Faktor ketidakpercayaan diri ini seringkali muncul akibat berbagai aspek, seperti kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar, stereotip masyarakat terhadap perempuan di bidang pendidikan, serta kurangnya role model yang menginspirasi. Hal ini menciptakan siklus di mana perempuan merasa kurang dihargai atau tidak mampu meraih kesuksesan melalui pendidikan tinggi.

Pilihan antara melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah atau memasuki dunia kerja seringkali menjadi keputusan sulit bagi banyak orang, seperti yang dialami oleh teman saya, BN. Meskipun mendapatkan dukungan dari keluarga terutama dari kakaknya untuk meneruskan pendidikan, BN tetap memilih untuk bekerja. Ia tidak ingin lagi terbebani dengan urusan akademis. Ia merasa “ribet” jika harus meneruskan pendidikan. Ia juga pesimis, kalau nantinya ia mampu menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah. To banyak dari perempuan disekitar lingkungan tempat tinggalnya yang langsung bekerja ketika sudah selesai mengenyam pendidikan menengah. Menurutnya meneruskan pendidikan di bangku kuliah akan menjadi sebuah beban mental baginya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Keputusan BN menggarisbawahi dilema umum yang dihadapi banyak individu muda. Di lingkungan sekitarnya, pola ini terlihat umum di mana jarang terdapat perempuan yang memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Hal ini mencerminkan tantangan sosial yang mungkin dihadapi oleh individu yang ingin mengejar pendidikan lebih tinggi, terutama di lingkungan di mana keputusan untuk bekerja setelah lulus sekolah menengah menjadi norma.

Seorang teman yang lain, UA, memiliki impian besar untuk menjadi seorang perawat. Namun, ketika saya menanyakan alasannya memilih bekerja daripada meneruskan pendidikan, dia menjelaskan bahwa faktor ekonomi keluarga menjadi hal utama yang memengaruhinya. UA adalah anak bungsu dari empat bersaudara ditambah satu saudara tiri. Keluarganya hidup dalam kondisi ekonomi yang sederhana, dimana kakak-kakaknya hanya lulusan SMP. Menyekolahkan UA hingga ke jenjang perguruan tinggi dirasakan sebagai beban yang terlalu berat.

Baca Juga :  Jika Kepedulian itu Tak Ada

Keterbatasan finansial ini membuat UA menjadi pesimis akan kemampuannya untuk mengejar cita-cita. Meskipun memiliki hasrat yang besar untuk terjun ke dunia perawatan medis, dia sadar bahwa realitas ekonomi keluarganya mungkin tidak akan mampu mendukung perjalanannya menuju pendidikan tinggi. Kondisi ini membawanya pada keputusan sulit baginya, mengikhlaskan mimpinya dan memilih untuk bekerja demi membantu keluarga.

Kisah BN dan UA memberikan gambaran yang kuat tentang bagaimana lingkungan dan kondisi keluarga dapat mempengaruhi kepercayaan diri seorang perempuan terhadap pendidikan. Dalam kasus BN, bekerja setelah lulus sekolah menengah adalah sebuah norma. Dalam kasus UA, kondisi ekonomi keluarganya yang sederhana dan status sebagai anak bungsu dari beberapa bersaudara, ditambah dengan keterbatasan pendidikan kakak-kakaknya, keduanya memberikan dampak besar terhadap pandangan mereka terhadap pendidikan.

Faktor-faktor tersebut bisa membuat para perempuan merasa terbatas dalam mengejar impian pendidikannya. Keterbatasan ekonomi dan kurangnya akses terhadap pendidikan yang sesuai bisa menimbulkan keraguan, membuatnya mempertimbangkan pilihan yang berbeda, termasuk memilih bekerja untuk membantu keluarga daripada mengejar pendidikan yang diinginkannya.

Berdasarkan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) BPS tahun 2022, mayoritas perempuan di pedesaan memiliki ijazah tertinggi lulusan SD (31,28%), sementara di perkotaan mayoritas adalah lulusan SMA/SMK (33,36%). Persentase perempuan yang berhasil menyelesaikan perguruan tinggi di perkotaan adalah 13,97%, lebih dari dua kali lipat dari yang ada di pedesaan yang hanya sekitar 6,00%. Di pedesaan, jumlah perempuan yang tidak memiliki ijazah atau tidak pernah mengenyam pendidikan formal mencapai 19,77%, yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan yang hanya sekitar 10,26%.

Selain itu, terdapat 7,35% perempuan usia 15 tahun ke atas di pedesaan yang buta huruf, sementara di perkotaan hanya sekitar sepertiganya, yaitu 2,83%.

Data persentase yang disebutkan sebelumnya mencerminkan bahwa lingkungan merupakan salah satu faktor krusial yang berpengaruh besar terhadap kemauan perempuan dalam mengejar pendidikan. Perbedaan signifikan antara tingkat pendidikan perempuan di pedesaan dan perkotaan menunjukkan bahwa lingkungan tempat tinggal dapat memainkan peran penting dalam akses, kesempatan, dan motivasi untuk mengejar pendidikan lebih tinggi.

Namun, perlu ditekankan bahwa memilih langsung bekerja atau menjalani profesi tertentu bukanlah hal yang salah. Namun, rendahnya tingkat kepercayaan diri perempuan terhadap pendidikan bisa menjadi hambatan bagi peningkatan kualitas SDM.

Baca Juga :  Fenomena “Teman tapi Menikah”: Beneran Jodoh, FOMO, atau Last Option?

Dampak dari rendahnya tingkat kepercayaan diri terhadap pendidikan pada perempuan bisa menghambat pertumbuhan karier dan pengembangan individu. Kurangnya akses terhadap kesempatan belajar yang lebih tinggi dapat mempersempit jangkauan peran perempuan dalam bidang-bidang yang membutuhkan kualifikasi pendidikan tinggi.

Di balik kekayaan potensi pendidikan yang sebenarnya dimiliki oleh banyak perempuan di Indonesia, terhampar pula realitas kurangnya sorotan terhadap mereka sebagai panutan dalam hal pendidikan tinggi. Seakan kedap terhadap informasi, para perempuan hebat ini tersisih dari sorotan masyarakat luas seperti di lingkungan BN.

Baru-baru ini, Prilly Latuconsina meraih penghargaan sebagai perempuan berpengaruh. Hal ini bukan kali pertama baginya, sebelumnya ia telah mendapatkan sejumlah penghargaan karena keahlian aktingnya yang luar biasa. Saat ini, selain menjadi penulis buku dan penyanyi dari lagu ‘Sahabat Kecil’, Prilly juga aktif sebagai produser film, native speaker, serta terlibat dalam industri olahraga sebagai pemilik Persikota Tangerang.

Di samping prestasinya dalam industri hiburan, Prilly menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan tinggi. Dia telah berperan sebagai Dosen praktisi di Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Udayana (Unud). Keberadaannya memberikan inspirasi kepada perempuan untuk tidak merasa ragu dalam mengejar pendidikan tinggi dan sekaligus mencapai kesuksesan dalam karier.

Maudy Ayunda adalah contoh lain perempuan yang mengukir kesuksesan melalui pendidikan tinggi, menunjukkan bahwa perempuan bisa berperan dalam dunia hiburan sekaligus memprioritaskan pendidikan. Dia meraih gelar sarjana dari Oxford University, salah satu universitas terkemuka di dunia. Dia menyelesaikan studi di jurusan Ilmu Politik, Filsafat, dan Ekonomi (PPE) di Oxford University, yang merupakan pencapaian besar dalam dunia pendidikan.

Dia juga sering berbagi pemikiran dan pengalaman tentang pentingnya pendidikan dan mengembangkan potensi diri melalui media sosialnya serta berbagai forum pendidikan. Dengan public speaking yang memukau, ia berhasil menginspirasi banyak orang melalui konten-konten ulasan buku yang ia bagikan di akun YouTube-nya.

Najwa Shihab, dia meraih gelar Sarjana Hukum (S.H) dari Universitas Indonesia dan gelar Lex Legibus Magister (LL.M) dari Fakultas Hukum Melbourne University. Dia sangat dikenal dalam bidang jurnalisme, khususnya dalam menghadirkan informasi yang mendalam dan kritis melalui program acara berita yang dipandunya, seperti Mata Najwa. Dalam perannya sebagai jurnalis, Najwa Shihab telah membawa masukan penting dan pencerahan atas isu-isu yang kompleks dalam masyarakat Indonesia.

Baca Juga :  Tak Lagi Berdiam Diri

Pengaruh dan keberhasilannya sebagai jurnalis telah memberikan kontribusi besar dalam membangun kesadaran publik dan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap isu-isu penting dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan dan hukum. Dia menunjukkan bahwa dengan kepercayaan diri dan kegigihan, perempuan bisa sukses dalam bidang yang menuntut pendidikan tinggi.

Mengangkat contoh tokoh inspiratif seperti Prilly Latuconsina, Maudy Ayunda, dan Najwa Shihab, kita bisa melihat bagaimana mereka menantang stereotip dan mengukir kesuksesan melalui pendidikan tinggi. Ini menunjukkan bahwa dengan kepercayaan diri yang kuat dan dukungan lingkungan yang positif, perempuan dapat meraih prestasi di berbagai bidang.

Ketiganya menunjukkan dedikasi tinggi terhadap pendidikan meskipun mereka sukses dalam karier di dunia hiburan atau jurnalistik. Mereka menjadi contoh bagaimana seseorang dapat mengimbangi antara kesuksesan di bidang karier dan tetap menjadikan pendidikan sebagai prioritas.

Kehadiran mereka sebagai tokoh publik menginspirasi perempuan untuk tidak takut mengejar impian mereka melalui pendidikan tinggi. Mereka mengajarkan bahwa perempuan bisa sukses di bidang apapun dengan komitmen pada pendidikan dan ketekunan dalam meraih cita-cita.

Dua kisah teman saya mencerminkan betapa pentingnya bagi masyarakat, terutama para perempuan, untuk memahami bahwa pendidikan bukanlah batasan tetapi justru merupakan alat untuk mencapai impian. Kita perlu membangun lingkungan yang mendukung dan inklusif. Hal ini termasuk menawarkan peran model yang beragam, mendukung keluarga dalam memahami pentingnya pendidikan bagi perempuan, serta menyediakan program bimbingan yang memperkuat keyakinan diri mereka. Menampilkan peran model perempuan yang sukses dalam pendidikan juga penting untuk menginspirasi perempuan muda.

Perlu juga mengatasi stereotip gender yang membatasi pandangan terhadap kemampuan perempuan. Penting untuk memberikan dukungan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan kepada perempuan dari berbagai latar belakang.

 

Ini menegaskan perlunya upaya untuk mengurangi kesenjangan pendidikan dan ekonomi agar perempuan dapat meraih potensi mereka tanpa terbatas oleh faktor lingkungan atau latar belakang keluarga. Dengan langkah-langkah ini, kita bisa memastikan akses yang setara terhadap pendidikan, membuka pintu bagi perempuan untuk tumbuh dan percaya diri dalam mengejar pendidikan mereka.

*Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo

Editor : Ahmad Farisi

Berita Terkait

Inner Beauty: Kecantikan yang Abadi
Fenomena “Teman tapi Menikah”: Beneran Jodoh, FOMO, atau Last Option?
Jika Kepedulian itu Tak Ada
Tak Lagi Berdiam Diri
Sejuta Kegigihan, Menjemput Mimpi Perempuan
Cantik Memang Bukan Segalanya, Tapi Beauty Previlage itu Nyata
Menjadi Mahasiswa Cerdas dan Tangguh
Kehadiran Puan Maharani Mampu Menginspirasi Ibu PKK di Sumenep, Terutama Soal Melewati Tantangan Hidup

Berita Terkait

Jumat, 13 Desember 2024 - 10:20 WIB

Inner Beauty: Kecantikan yang Abadi

Senin, 11 November 2024 - 21:00 WIB

Fenomena “Teman tapi Menikah”: Beneran Jodoh, FOMO, atau Last Option?

Selasa, 25 Juni 2024 - 00:22 WIB

Jika Kepedulian itu Tak Ada

Jumat, 21 Juni 2024 - 09:07 WIB

Tak Lagi Berdiam Diri

Kamis, 13 Juni 2024 - 09:00 WIB

Sejuta Kegigihan, Menjemput Mimpi Perempuan

Berita Terbaru

Ilustrasi (pixabay/nolesa.com)

Puisi

Puisi-puisi Tundra Alif Juliant

Rabu, 25 Des 2024 - 08:36 WIB