Oleh: Erna Wiyono*
Puisi ini dimuat Koran Harian SIB (Sinar Indonesia Baru) 1 Desember 2024
“Dalam mimpiku Gus Dur berkata”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Satu dari lima puisi yang dibacakan pada peringatan Haul Gus Dur ke 15, Kamis 12 Desember 2024, Pukul 19.00 WIB – selesai, bertempat di Auditorium STKIP Widya Yuwana, Madiun – Jawa Timur.
Di negeri ini, mimpi-mimpi terkunci.
Kita tidur dengan mata terbuka,
Takut pada bayang-bayang
Yang kita ciptakan sendiri.
Malam demi malam kita dikejar mimpi
Berebut label: “Ini milik kita, bukan milik mereka.”
Dalam mimpiku Gus Dur berkata,
“Negeri yang berhenti bermimpi,
Adalah negeri yang berhenti hidup.”
Ia membuka pintu mimpi kita,
Mengizinkan bayangan untuk masuk,
Gus Dur mengajak kita belajar
Bahwa gelap adalah bagian dari cahaya.
Tanyakan, apakah kita masih tidur
Di bawah langit yang sama?
Atau kita telah menciptakan
Langit kecil di atas kepala kita,
Yang tak cukup besar untuk semua bintang
Madiun, 2024
Walidha Tanjung Files
Penyair, Praktisi Pendidik, Penulis, Pendiri Negeri Kertas dan Teater Pilar Merah.
Puisi “Negeri yang Bermimpi” karya Walidha Tanjung Fileski, yang dimuat di Koran Harian SIB (Sinar Indonesia Baru) pada 1 Desember 2024, merupakan karya puitis yang sarat makna dan relevansi, terutama dalam konteks peringatan Haul Gus Dur ke-15. Puisi ini bukan sekadar ungkapan kesedihan atas kepergian seorang tokoh karismatik, melainkan juga refleksi mendalam mengenai kondisi bangsa yang seolah terbelenggu oleh ketakutan dan kehilangan mimpi bersama. Dengan bahasa yang puitis dan metafora yang kuat, Walidha mengajak pembaca untuk merenungkan kembali esensi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Puisi diawali dengan gambaran negeri yang terkurung dalam mimpi-mimpi yang terkunci. Ungkapan “Kita tidur dengan mata terbuka” merupakan esensi yang sangat kuat, menggambarkan kondisi masyarakat yang seakan-akan sadar, namun terbius oleh realitas yang membatasi. Ketakutan akan bayang-bayang yang diciptakan sendiri mencerminkan sikap defensif dan kurangnya keberanian untuk menghadapi tantangan serta perbedaan. Masyarakat terjebak dalam perebutan simbolis atas kepemilikan mimpi, “berebut label: ‘Ini milik kita, bukan milik mereka’,” menunjukkan egoisme dan sempitnya wawasan kebangsaan.
Namun, di tengah kegelapan ini, sosok Gus Dur hadir sebagai simbol harapan dan pembebasan. Dalam mimpi penyair, Gus Dur memberikan pesan yang mendalam: “Negeri yang berhenti bermimpi, adalah negeri yang berhenti hidup.” Pesan ini menjadi inti dari seluruh puisi, sebuah ajakan untuk kembali berani bermimpi, untuk menghidupkan kembali semangat perubahan dan kemajuan. Gus Dur, dalam konteks puisi, bukan hanya tokoh politik, melainkan representasi dari jiwa kritis, toleran, dan inklusif yang dibutuhkan bangsa.
Walidha kemudian menggambarkan bagaimana Gus Dur, dalam mimpi tersebut, membuka pintu mimpi, mengizinkan bayang-bayang untuk masuk. Ini merupakan metafora yang menarik, menunjukkan bahwa kegelapan dan bayang-bayang bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan bagian integral dari kehidupan. Gus Dur mengajak kita untuk belajar menerima perbedaan, untuk memahami bahwa gelap adalah bagian dari cahaya, bahwa kontradiksi dan tantangan adalah bagian tak terpisahkan dari proses menuju kemajuan.
Bait terakhir puisi, “Atau kita telah menciptakan langit kecil di atas kepala kita, yang tak cukup besar untuk semua bintang,” merupakan kritik tajam terhadap sikap sempit dan eksklusif yang seringkali mewarnai kehidupan berbangsa. Metafora “langit kecil” menunjukkan terbatasnya pandangan dan kurangnya toleransi terhadap keberagaman. Puisi ini menyiratkan bahwa untuk mencapai kemajuan yang hakiki, bangsa ini membutuhkan wawasan yang lebih luas, yang mampu menampung dan menghargai semua perbedaan, seperti langit yang luas dan mampu menampung semua bintang.
Secara keseluruhan, “Negeri yang Bermimpi” sebuah karya yang relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali pentingnya mimpi, keberanian, dan toleransi dalam membangun bangsa yang lebih baik. Dengan bahasa yang puitis dan penuh diksi makna, Walidha Tanjung Fileski berhasil menyampaikan pesan yang mendalam dan inspiratif, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga semangat perubahan dan menghidupkan kembali mimpi-mimpi bersama untuk masa depan Indonesia yang lebih baik lagi.
Puisi “Negeri yang Bermimpi” adalah sebuah penghormatan yang mendalam dan kaya makna terhadap warisan pemikiran dan perjuangan Gus Dur. Puisi ini sarat dengan simbolisme dan multi-interpretasi, menunjukkan bahwa nilai-nilai pluralisme, toleransi, dan demokrasi yang dipegang teguh oleh Gus Dur masih sangat relevan hingga saat ini. Semoga pesan Gus Dur yang tertuang dalam puisi yang begitu inspiratif ini terus menginspirasi generasi muda Indonesia untuk membangun bangsa yang lebih baik.
Jakarta, 24 Februari 2025
*Erna Wiyono, lahir di Bogor pada 16 Oktober, adalah seorang jurnalis, perupa, penulis, creative design program, manajer Teddy Arte Lukisan Daun & Kopi, dan penari Indonesia. Melalui artikel, karya puisi dan prosa, karya-karyanya pernah dimuat di theAsianparent community, potretmaluku.id, sinar indonesia baru, radar jember, halo jember, radar utara, jawa pos, radar kediri, sastramedia.com, korea.net, hallo.id, negerikertas.com, sastranews, elipsis, fokusmetrosulbar, fimela.com, dll
Erna aktif berpameran lukisan diantaranya ; Pameran Postcards From Indonesia Series 1 “Kartu Pos dari Indonesia untuk Swiss” 10-16 Maret @Siggenthal Pastoralraum, Baden-Switzerland. Bogor Beauty N’Bizarre Art Exhibition 4 – 11 Juni 2023 @Botani Square Mall Bogor, Pameran Seni Rupa dan NFT Re Identify #1 & #2 Bentara Budaya Jakarta & Galeri Astra lt.5, Jakarta, “Kunst in der Kapelle”, BadenART exhibition, 18-27 Agustus 2023, Baden, Switzerland, dll.