Oleh AHMAD FARISI*
Baru-baru ini, Densus 88 kembali menangkap tujuh terduga teroris di sejumlah daerah. HOK (19) dan tiga terduga teroris lainnya ditangkap di Kota Batu pada Rabu, 31 Juli 2024. Sementara M, ditangkap di Stasiun Solo Balapan pada Kamis, 1 Agustus 2024 dan untuk RJ dan AM ditangkap di Jakarta Barat pada Selasa, 6 Agustus 2024.
Menurut keterangan Densus 88, salah satu terduga teroris, yakni HOK, yang berencana melakukan aksi bom bunuh diri di sebuah tempat ibadah, diketahui terafiliasi dengan kelompok Daulah Islamiyah yang diketahui dan dikenalnya di medsos. Begitu juga dengan RJ dan AM. Sementara empat terduga lainnya belum diketahui pasti terafiliasi atau tergabung dengan jaringan teroris mana.
Terorisme Belum Berakhir
Sebelum terjadinya penangkapan terhadap lima terduga teroris itu, banyak kalangan yang beranggapan bahwa gerakan terorisme di Indonesia telah berakhir, atau setidaknya menuju bangkrut. Anggapan ini tidak berangkat dari ruang kosong melainkan dari sebuah fakta logis tentang redupnya kejahatan terorisme belakangan ini. Di mana, pada 2023 lalu, kita berhasil mencapai zero terorism attack, sebuah kondisi di mana tak ada aksi-aksi terorisme.
Fakta di atas kemudian semakin diperkuat oleh kejadian tak terduga berupa bubarnya Jamaah Islamiyah/JI (salah satu jaringan terorisme paling kuat di Asia Tenggara) pada akhir Juni lalu. Di mana, pada waktu itu, para tokoh dan petinggi JI sepakat untuk membubarkan JI dan kembali ke pangkuan NKRI yang selama ini dianggap sebagai negara taghut atau kafir.
Namun, anggapan di atas ternyata salah. Faktanya, terorisme tidak berakhir. Bahkan, menuju bangkrut pun tidak. Penangkapan M, HOK, RJ, dan AM beserta tiga terduga teroris lainnya menunjukkan bahwa terorisme belum berakhir, atau setidaknya menuju kebangkrutan. Sebaliknya, meski tak tampak di permukaan, gerakan terorisme justru tetap aktif menyebarkan paham radikal dan merekrut anggota baru untuk memperkuat basis gerakan mereka.
Tetap Waspada
Untuk itu, dalam menyikapi ancaman terorisme ini alangkah tepat bila kita tetap terus waspada. Alih-alih meremehkannya. Sebab, meski aksi-aksi terorisme belakangan ini memang cenderung melandai, hal itu tidak menjamin bahwa negeri ini telah aman dari ancaman terorisme. Terorisme adalah gerakan ideologis yang sangat militan dan terorganisir secara baik dan mapan dari atas hingga ke akar rumput. Yang tak akan mudah berakhir begitu saja.
Bisa jadi, melandainya aksi-aksi terorisme belakangan ini hanya bagian dari strategi kelompok radikal untuk mengelabui negara atau penegak hukum. Untuk kemudian melakukan aksi terornya pada waktu yang tepat. Analisis ini sangat masuk akal. Sebab, pada faktanya, meski tidak sering tampak ke permukaan, kelompok radikal masih terus aktif melakukan propaganda radikal melalui medsos yang menargetkan generasi muda sebagai sasaran.
Bahkan, selain menggunakan medsos belakangan ini juga mulai diketahui bahwa jaringan kelompok radikal juga menggunakan teknologi Kecerdasan Buatan (AI) untuk menyebarkan propagandanya (ICCT, 2024). Jaringan kelompok radikal ini seperti tak mau ketinggalan perkembangan, terus bertransformasi memanfaatkan kemajuan zaman untuk mewujudkan cita-cita politik-kekuasaannya, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Karena itu, dengan hal ini, rasanya tak ada ruang bagi kita untuk meremehkan gerakan radikalisme yang tampaknya ”meredup” namun sesungguhnya ”masih aktif” menyebarkan paham radikal secara online. Yang kita lawan dari gerakan terorisme radikalisme bukan hanya aksi terornya saja, tetapi juga melawan ajaran dan pemikirannya yang mengancam bangsa. Sebab itu, ada atau tidak aksi terorisme, kita harus tetap selalu mewaspadainya.
Penangkapan M di Jawa Tengah dan HOK beserta tiga terduga teroris lainnya di Jawa Timur serta penangkapan RJ dan AM di Jakarta Barat adalah pengingat bagi kita. Bahwa dalam kondisi apa pun, ancaman terorisme senantiasa harus selalu diwaspadai, dicermati, dan di antisipasi semaksimal mungkin.
* ) Pengamat Politik