Pilpres 2024 dan Wacana Palsu “Raja Jadi-Jadian”

Redaksi Nolesa

Senin, 4 Desember 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh AHMAD FARISI*

Dinamika politik jelang Pilpres 2024 benar-benar mengkhawatirkan. Betapa tidak, jika seorang “raja jadi-jadian”, yang tamak akan kekuasaan, dan tak berdaya akan bujuk rayu ”sang ratu”, mengerahkan kekuasaan-kekuasaan negara untuk meloloskan dan memenangkan pasangan capres-cawapres tertentu yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri. Di awal, sang “raja jadi-jadian” menepis segala bentuk tuduhan itu. Hingga akhirnya, secara samar-samar dengan sendirinya ia mengaku dengan mengatasnamakan demi kepentingan bangsa dan negara.

Sejak saat itu, proses politik tampak kian tak sehat. Hukum diperalat untuk menekan lawan di satu sisi dan melindungi kepentingan diri di sisi lain. Bahkan, lembaga intelejen pun digunakan untuk memantau dan memata-matai pergerakan lawan. Lalu, sampailah dititik puncak di mana semuanya benar-benar jelas dan terang. Salah satu putra bungsunya, yang baru dua hari bergabung partai politik, tiba-tiba diusung menjadi ketua umum dengan alasan ini dan itu yang sebenarnya, tak lebih dari sekadar narasi-narasi palsu dan tipu-tipu (pseudo-wacana).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hal yang lebih tragis juga terjadi kemudian. Yakni berupa dikeluarkannya Putusan MK No. 90 yang memberi karpet merah kepada putra sulungnya. Di mana, yang mengeluarkan putusan itu tak lain adalah pamannya sendiri. Kemudian, seolah-olah tidak tahu atas dinamika dan perkembangan yang terjadi, sang raja itu keluar dengan wajah polosnya. Sambil mengatakan bahwa proses pemilu 2024 terlalu banyak drama. Padahal, dirinyalah yang menciptakan semua drama itu.

Baca Juga :  Percintaan Lebih Besar dari Kata “Cinta”

Kita yang awan akan cara berpolitiknya, mungkin akan menilai bahwa sang “raja jadi-jadian” itu sangat bijak. Namun, bagi kita yang mencoba membaca sang presiden itu sepanjang perjalanan politiknya, setidaknya dalam lima tahun terakhir, nsicaya akan paham bagaimana ia menciptakan darama politik dengan wajah polosnya itu. Di panggung depan, ia akan selalu berusaha tampil populis, bersahaja, dan apa adanya. Namun, di panggung belakang, ia adalah sebaliknya dari apa yang kita saksikan dan kagumi di panggung depan: pragmatis dan oportunis.

Semua ini sebenarnya bukanlah hal baru dari dirinya. Dulu, sang raja “jadi-jadian” itu pernah meminta masyarakat untuk aktif mengkritik dirinya. Namun, setelahnya, tak sedikit para aktivis sosial pro-demokrasi yang harus mendekam di penjara karena dianggap melanggar hukum. Dan, terjadilah kriminalisasi berlebihan (overcriminalization). Aktivis-aktivis sosial pro-demokrasi ditangkap, dianggap sebagai penghambat pembangunan negara sehingga harus ditertibkan.

Itulah wacana palsu sang raja. Sebuah wacana-wacana palsu yang sengaja dilontarkan oleh seorang oportunis untuk membodohi publik di satu sisi, dan mengukuhkan kekuasaannya di sisi lain. Pertanyaan kemudian, apakah hal ini merupakan hal baru dalam demokrasi moderen? Jika kita membaca temuan Daniel Ziblatt dan Steven Levistky (2018) dalam Bagaimana Demokrasi Mati, semua ini sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali baru. Melainkan sudah jamak terjadi di banyak negara, di mana pemimpin yang dipilih melalui pemilihan demokratis, merusak jati diri demokrasi itu sendiri. Demokrasi bukan dijadikan sebagai pedoman berpikir, melainkan sebagai alat untuk meneguhkan status quo.

Baca Juga :  Hukum vis a vis Politik

Bangsa ini sebenarnya sudah pernah mengalami hal serupa selama 32 tahun di bawa kepemimpinan rezim Soeharto. Namun, jika pada waktu itu rezim Soeharto menggunakan pendekatan militeristik, tidak dengan rezim hari ini yang lebih mengedepankan pendekatan hukum. Baik dalam bentuk kriminalisasi (pemidanaan) ataupun dalam bentuk hukum ketatanegaraan. Tampaknya, rezim populis yang kemudian membentuk dirinya sebagai oportunis sadar betul bahwa menggunakan pendekatan militeristik sangatlah berisiko. Sehingga ia lebih memilih pendekatan hukum sebagai alat untuk memperkokoh kekuasaannya.

Para pendukungnya kemudian membela sang presiden itu mati-matian seolah tak ada dosa politik yang dilakukannya. Berbagai indikator digunakannya, seperti hasil survei kepuasaan publik yang tinggi dan keinginan publik yang menginginkan program-program politiknya. Sebagai masyarakat ilmiah, kita percaya kegiatan survei merupakan salah satu metode yang absah untuk memotret kondisi politik. Namun, haruskah kita percaya pada survei yang sumber pendanaannya tidak jelas? Sementara itu, di posisi yang berbeda, para pemilik lembaga survei itu adalah bagian dari barisan status quo, partisan?

Baca Juga :  HPN 2024 dan Jurnalisme Masa Kini

Terlalu polos bagi kita untuk mempercayai semua ini begitu saja. Sebab, apa yang kita saksikan ini, tak jauh berbeda dari apa yang kita saksikan dengan peristiwa kongkalikong penguasa dengan intelektual mata duitan (kaum sofis) di masa Yunani Kuno. Di mana keduanya bekerjasama untuk membodohi rakyat. Penguasa, dengan modal sumber daya, membeli keahlian para sofis. Sementara kaum sofis, dengan keahliannya, menciptakan narasi-narasi populis untuk melindungi kepentingan penguasa. Inilah kejahatan pengetahuan vis a vis politik.

Dengan segala kenyataan ini, haruskah ide besar rezim penguasa yang demikian harus dilanjutkan? Atau, sebaliknya, justru kita butuh perubahan fundamental untuk menyelamatkan bangsa ini dari aktor yang hendak membaptis diri dan keluarganya sebagai “raja jadi-jadian” dalam republik ini?


*) Pengamat politik dan Peneliti di Akademi Hukum da Politik (AHP) Yogyakarta

Berita Terkait

Jihad yang Paling Utama Bagi Kaum Wanita
Waspadalah dengan Popularitas
Balasan Bagi Orang yang Sabar Tidak Lagi Ditimbang dan Diukur
Dzulhijjah: Sebuah Pelajaran untuk Tafakur di Bulan Suci
Anak Menjerit, Orang Tua Diam: Ketika Pesantren Jadi Trauma Awal
Terjebak Banjir dan Terjerembab ke Jurang: Catatan Liputan dari Patean
Nilai Pujian Kepada Allah Swt, Dalam Kalimat Alhamdulillah
Menjadi KOPRI yang Apik: Gerakan Perempuan PMII Sumenep di Era Transformasi

Berita Terkait

Jumat, 27 Juni 2025 - 09:16 WIB

Jihad yang Paling Utama Bagi Kaum Wanita

Jumat, 20 Juni 2025 - 13:14 WIB

Waspadalah dengan Popularitas

Jumat, 13 Juni 2025 - 11:38 WIB

Balasan Bagi Orang yang Sabar Tidak Lagi Ditimbang dan Diukur

Jumat, 30 Mei 2025 - 15:00 WIB

Dzulhijjah: Sebuah Pelajaran untuk Tafakur di Bulan Suci

Minggu, 25 Mei 2025 - 20:45 WIB

Anak Menjerit, Orang Tua Diam: Ketika Pesantren Jadi Trauma Awal

Berita Terbaru

(for NOLESA.COM)

Puisi

Puisi-puisi Cahaya Daffa Fuadzen

Sabtu, 5 Jul 2025 - 18:49 WIB