Oleh Farisi Aris*)
Pembusukan demi pembusukan yang terjadi di lembaga penegak hukum sudah bukan rahasia umum lagi.
Baru-baru ini, seorang hakim agung pada Mahkamah Agung (MA) telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan suap penanganan perkara di MA. Masih segar pula di ingatan kita, Wakil Ketua KPK Lilie Pintauli, juga melakukan pelanggaran etik hingga akhirnya ia mengundurkan diri dari KPK.
Lili Pintauli mundur bukan karena merasa bersalah sebab telah melakukan pelanggaran etik, tetapi untuk menghindari sidang etik yang akan mengadili dirinya. Jauh-jauh sebelum itu, Ketua KPK Firli Bahuri dikabarkan juga melakukan pelanggaran etik: mewah-mewahan alias hedon.
Pembusukan demi pembusukan di lembaga penegak hukum terus berlangsung. Dan, demikian pula dengan Mahkamah Konstitusi (MK) kita. Bahkan, pembusukan yang terjadi di MK bisa dikatakan malah lebih dulu terjadi daripada di MA dan KPK belakangan ini.
Pada 2 Oktober 2013, Hakim Konstitusi Ali Mochtar ditangkap oleh KPK atas dugaan suap penanganan perkara sengketa Pilkada di MK. Kemudian, pada 25 Januari 2014, Hakim Konstitusi Patrealis Akbar juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK atas dugaan suap uji materi.
Pembusukan demi pembusukan di dalam tubuh MK itu itu sejatinya telah berlangsung lama. Namun, alih-alih diselesaikan, pihak-pihak luar yang secara konstitusional punya tanggung jawab mencegah terjadinya pembusukan MK, justru juga ikut terlibat menyumbang terjadinya pembusukan di MK.
Lembaga atau pihak luar yang kini juga ikut penyumbang pembusukan MK itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk mengangkat atau mengusulkan tiga hakim pada MK, kewenangan itu kini juga digunakan DPR untuk memberhentikan hakim.
Hakim konstitusi yang diberhentikan itu adalah Aswanto (29/9). Ia diberhentikan karena menurut DPR, eksistensinya sudah tidak mewakili suara DPR. Kemudian, pada saat yang sama, secara serampangan, DPR juga mengangkat Sekjen MK Guntur Hamzah menggantikan Aswanto.
Pemberhentian sepihak yang dilakukan DPR terhadap Aswanto itu adalah preseden buruk. MK, sebagai salah satu cabang kekuasaan yudikatif yang merdeka sama sekali tidak dihargai independensinya. Seolah-olah, MK adalah bagian dari DPR yang bebas diarahkan ke mana saja sesuai selera DPR.
Padahal, menurut Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan kehakiman bersifat merdeka dan independen. Dengan hal itu, DPR mestinya paham bahwa keberadaan hakim konstitusi pada MK yang diusulkan DPR itu tidak bisa diintervensi oleh pihak mana pun, termasuk oleh DPR sebagai pengusulnya.
Memberhentikan hakim konstitusi lantaran dinilai tidak mewakili kepentingan lembaga pengusul itu tidak bisa dibenarkan. Sebab, adanya sembilan hakim yang berasal dari tiga cabang kekuasaan itu bukan dimaksudkan untuk mewakili kepentingan lembaga pengusul.
Mekanisme pengangkatan hakim secara konstitusional memang dipasrahkan kepada masing-masing lembaga pengusul. Namun, mengenai pemberhentian hakim, para lembaga pengusul tidak bisa sewenang-wenang. Sebab, sudah ada mekanisme tersendiri yang mengatur pemberhentian itu.
Menurut Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU No. 7/2020: Pertama, seorang hakim bisa diberhentikan secara hormat dari jabatannya apabila pihak terkait meninggal dunia, mengundurkan diri, dan sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama tiga bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan keterangan dokter.
Kedua, hakim bisa diberhentikan secara tidak hormat bila pihak terkait dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, melakukan perbuatan tercela; tidak menghadiri persidangan yang menjadi kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; melanggar sumpah jabatan; menghambat MK memberi putusan; merangkap jabatan; tidak lagi layak; dan melanggar kode etik.
Karena itu, sesungguhnya, tanpa adanya pelanggaran-pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim dan sebab-sebab khususnya lainnya, terlarang bagi lembaga mana pun untuk memberhentikan seorang hakim secara sepihak. Alasan-alasan yang sifatnya politis, seperti alasan DPR yang memberhentikan Aswanto, hal itu tidaklah dapat dibenarkan dalam koridor politik konstitusional.
Peran Presiden
Arogansi DPR yang memberhentikan Aswanto itu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Presiden – sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan – yang baru-baru ini mewacanakan tentang pentingnya ”reformasi hukum” harus mengambil tindakan konkret. Jangan biarkan pembusukan MK oleh DPR itu terjadi. Jika tidak, MK akan tereduksi.
Ada dua hal yang bisa dilakukan Presiden: Pertama, Presiden bisa mengusulkan kepada DPR agar melakukan pemberhentian Aswanto sesuai dengan mekanisme yang ada. Artinya, dalam hal ini DPR diminta membuktikan bahwa ada pelanggaran etik yang dilakukan Aswanto yang membuat ia pantas untuk diberhentikan.
Kedua, menolak mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres). Pasal 23 ayat (4) dan (5) UU. No. 7/2020 menyebutkan bahwa pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keppres atas permintaan Ketua MK, yang mana Keppres itu paling lama ditetapkan dalam jangka waktu 14 (empat belas hari) sejak tanggal Presiden menerima permintaan pemberhentian tersebut.
Karena itu, untuk mencegah agar pembusukan MK oleh DPR itu tidak terjadi, langkah kedua yang bisa dilakukan Presiden adalah menolak mengeluarkan Keppres. Jika Presiden tidak mengeluarkan Keppres, maka dengan sendirinya pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi itu tidak sah. Cara kedua ini bisa ditempuh bila cara pertama tidak diindahkan oleh DPR.
Presiden harus mencegah pembusukan MK oleh DPR itu. Jika kita tidak bisa menyelesaikan pembusukan yang terjadi di internal MK itu sendiri, maka pembusukan yang berasal dari luar MK jangan sampai terjadi. MA dan KPK sudah bobol. Karena itu, jangan sampai kita kebobolan untuk yang kedua kali. Sebagai pengawal konstitusi, MK harus kita jaga.
*) Farisi Aris, penulis lepas, mukim di Yogyakarta