Masih ingat dengan tagar #PercumaLaporPolisi atau #ReformasiDikorupsi? Tagar-tagar tersebut ramai menjadi perbincangan publik sejak maraknya krisis demokrasi di negeri tercinta. Masyarakat mulai mempertanyakan banyak hal terkait keberpihakan pemerintah terhadap rakyat akibat dari banyaknya konflik yang terjadi. Protes dan kritik pun berangsur datang seiring dengan kesengsaraan yang makin dirasakan. Apakah aturan yang dibuat benar-benar mempertimbangkan kesejahteraan, atau hanya untuk mempermudah pihak-pihak yang berada di lingkaran kekuasaan? Pun mengapa aparat negara yang seharusnya berada di garda terdepan untuk melindung rakyat, justru berbalik menodongkan pistol dan bogem mentah dengan dalih menjalankan perintah?
Saya menonton film ini tanggal 28 Januari 2022, sehari setelah ia tayang perdana di bioskop Indonesia. Dari banyaknya film Indonesia, “Ben & Jody” adalah salah satu film yang paling menarik yang pernah saya tonton. Film ini banyak mengulas tentang beragam konflik yang terjadi, khususnya terkait persoalan agraria dan hak-hak masyarakat adat. Pesan dan masalah yang diangkat mampu dibungkus apik dengan alur cerita yang menegangkan, namun tak lepas dari humor dan komedi. Sebagai sekuel dari film “Filosofi Kopi” yang lebih dulu tayang dan booming pada tahun 2015, “Ben & Jody” tampil dengan wajah baru yang sarat akan kritik namun tidak meninggalkan karakter aslinya sebagai cerita dua orang barista di kedai kopi. Chicco Jericho bersama dengan Rio Dewantoro telah berhasil menyatu dengan sosok Ben dan Jody, didukung oleh tokoh-tokoh lain yang mempunyai kemampuan bela diri yang matang. Hal ini membuat adegan aksi yang dibawakan terasa begitu nyata dan mampu memicu keringat penonton.
Dari pengalaman menonton tersebut, saya berani merekomendasikan film ini menjadi tontonan wajibmu bulan ini sebab alur cerita dan pesan yang disampaikan begitu menarik. Saking menariknya, kocek yang kamu keluarkan untuk menyewa sebuah kursi di bioskop Premiere pun tak akan kamu sesali sebab sebanding dengan apa yang kamu dapatkan. Berikut saya akan mengulas sedikit tentang beberapa hal yang seru dari film ini :
Mengangkat Isu Agraria dan Masyarakat Adat
Sudah sejak lama konflik agraria menjadi sengketa tak berkesudahan antara rakyat versus negara. Bagaimana tidak? Perampasan demi perampasan dengan dalih pemerataan pembangunan telah merebut hak hidup, sumber kehidupan serta menyebabkan pemiskinan rakyat. Tak tanggung-tanggung, masyarakat yang berani menentang pun dikriminalisasi dengan berbagai tuntutan tak masuk akal, seperti pencemaran nama baik, pembalakan liar dan lain sebagainya. Film ini menceritakan tentang penolakan kelompok tani terhadap perampasan lahan oleh perusahaan. Mereka kemudian melakukan sebuah aksi solidaritas dan demonstrasi untuk menyuarakan penolakan. Chicco Jerikho sebagai Ben berperan sebagai seorang barista yang memilih pulang ke kampung untuk ikut berjuang bersama masyarakat. Namun di tengah perjuangan, represifitas aparat serta pembungkaman oknum yang terlibat demonstrasi tak dapat dihindari. Hal ini sesuai dengan realita yang terjadi di masyarakat, dimana warga yang berjuang justru diancam, disebut pemberontak atau bahkan tidak pro negara.
Mengulas Refresifitas Aparat
Dalam trailer film yang ditampilkan, terlihat Ben bersama dengan masyarakat tengah melakukan aksi damai, namun beberapa saat kemudian menjadi ricuh saat aparat bersenjata lengkap datang. Banyak masyarakat yang terluka dalam kejadian tersebut, tak terkecuali Ben. Dalam dunia nyata, kita dapat melihat kericuhan yang terjadi antara masyarakat Desa Wadas dengan aparat pada bulan April 2021. Saat itu masyarakat yang sedang bermunajat sebagai bentuk penolakan atas perampasan paksa tanah Wadas, harus berhadapan dengan aparat yang bersenjata lengkap dan melemparkan gas air mata. Film ini ingin menyampaikan kepada khalayak, bahwa ketertindasan rakyat akibat konflik agraria nyata adanya.
Menggambarkan Pembungkaman dan Penculikan Aktivis Pembela HAM
Pasca kericuhan, Ben kemudian menghilang entah kemana. Lenyapnya kabar dari Ben membuat Jody, sahabatnya yang seorang pemilik kedai kopi di Ibu Kota datang mencarinya ke kampung. Namun nihil, sesampainya di sana Jody tak bisa menemukan Ben. Pencarian inilah yang kemudian menjadi awal mula cerita seru petualangan Ben dan Jody hingga bertemu tokoh Aa’ Tubir, Rinjani, Tambora dan juga tokoh lainnya. Pertemuan tersebut juga menjadi awal mula adegan jotos menjotos dan perkelahian yang menegangkan dalam film ini. Dari sini, dapat kita tangkap bahwa film ini mencoba menggambarkan pembungkaman aktivis yang nyata-nyata terjadi di sekitar kita. Kita tahu sosok Marsinah, buruh perempuan yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Ia kemudian menghilang dan ditemukan tewas setelah 3 hari dengan bekas penganiayaan di sekujur tubuhnya. Wiji Thukul juga adalah nama yang tidak asing kita dengar, karena keberadaannya yang tidak diketahui sejak 1998-sekarang. Ia adalah seorang penyair dan aktivis yang gencar melawan penindasan Rezim Orde Baru.
Kisah Bromance yang Mengharukan
Kalau kita biasa mendengar kata Romance, maka mari mulai familiar juga dengan istilah Bromance. Istilah ini muncul sebagai ungkapan dari sebuah kisah persahabatan antara sesama lelaki heteroseksual yang terjalin erat serta mengharukan. Jika menonton film ini, kita akan menangis tersedu sebab terbawa oleh kisah persahabatan yang terjalin antara Ben & Jody. Bermula dari kedai kopi, ikatan persahabatan tersebut membuat mereka rela mengorbankan nyawa satu sama lain. Kesan ini diperkuat dengan tagar #SahabatSejati #SahabatSampaiMati yang dimunculkan baik dalam iklan promosi maupun trailer film tersebut.
Adegan Perkelahian Terasa Nyata
Saat menonton trailer, kita akan melihat banyaknya cuplikan perkelahian yang berdarah-darah dan menegangkan. Tak hanya sampai di situ, keseriusan Angga Dwimas Sasongko sebagai sutradara dibuktikan dengan pemilihan aktor yang memiliki kemampuan bela diri dan silat yang mahir. Sebut saja Yayan Ruhian, pemeran tokoh Aa’ Tubir yang sudah berpengalaman dalam perfilman aksi Indonesia. Aktor dan pesilat asal Tasikmalaya ini telah menekuni Pencak Silat Tenaga Dasar (PSTD) Indonesia sejak berumur 13 tahun. Aghnini Haque, sosok pemeran tokoh Rinjani juga adalah seorang atlet taekwondo dengan ranking 6 besar di dunia. Melihat kehadiran tokoh-tokoh bela diri tersebut, seharusnya dapat tergambarkan betapa serunya film aksi buatan Visinema Pictures ini. Bukankah begitu?
Selama menonton, saya dapat mendengar dengan jelas teriakan panik penonton tiap melihat adegan perkelahian dan tembak-menembak. Usut punya usut, properti senjata yang digunakan dalam adegan tembak-menembak di film ini juga asli loh. Angga Dwimas Sasongko mengatakan bahwa sebisa mungkin ia tidak ingin mengurangi efek visual dalam film Ben & Jody. Ia berharap penonton dan para pemain dapat merasakan ceritanya secara nyata. Maka dari itu, senjata yang digunakan saat ada adegan tembak-tembakan merupakan senjata yang asli. Tak sia-sia, usaha tersebut terbayarkan dengan keseruan dan antusiasme yang didapat selama 2 jam menonton film Ben & Jody.
Plot Twist dan Tidak Bisa Ditebak
Selama menonton, selain teriakan dan keringat yang mengucur deras, saya juga dibuat terkaget-kaget dan gemas sebab alur ceritanya plot twist dan tidak bisa ditebak. Bagaimana tidak? Di tengah ketegangan dan ketakutan, tiba-tiba ada kejadian tak terduga yang muncul memecahkan bayangan penonton. Jangan pernah berharap jadi cenayang saat menonton film ini, sebab setiap rincian kisahnya selalu jadi misteri. Bagian inilah yang membuat film ini berkali lipat jadi lebih menarik, sebab alur kisahnya hampir sama persis dengan latar tempat yang diambil. Seperti rimba, penuh jalan berkelok dan jurang yang curam. Salah tebak sedikit, penonton akan kecewa dan gemas sebab ternyata ceritanya jauh dari ekspektasi. Bagi saya, cerita yang plot twist adalah nilai plus bagi sebuah film sebab penonton tak akan khawatir akan dilanda kebosanan. Kalau biasanya kamu suka main hp di bioskop, saat menonton “Ben & Jody” kamu akan fokus menonton karena takut kehilangan momen. Menarik bukan? Tapi catatannya, ini mungkin tidak berlaku bagi yang tidak suka film bergenre thriler dan action.
Beberapa Kritik dan Saran
Selayaknya sebuah karya buatan manusia, tak mungkin sebuah film luput dari kekurangan. Secara garis besar, banyak hal yang menarik dan patut diacungi jempol dari film ini. Saya memberinya nilai 9/10 karena telah berani menyuarakan isi hati rakyat kecil yang sulit sekali untuk sampai ke hati masyarakat. Terkadang kita tak sadar dan cenderung abai terhadap penindasan yang dialami mereka oleh karena kita cenderung merasa aman sebab tak turut mengalami hal yang serupa. Tanah kita tak direbut, bahkan kita tak mau tahu apa dampak yang terjadi jika hutan terus dibabat. Ini bukan hanya persoalan perampasan ruang hidup mereka, namun juga kita semua, sebab bumi adalah juga milik kita. Semoga film “Ben & Jody” dapat menjadi pesan yang sampai ke hati seluruh rakyat Indonesia.
Adapun mengenai kekurangan dalam film ini, menurut saya ada pada bagian penyesuaian kisah Ben & Jody sebagai barista yang masuk ke dalam sebuah konflik besar agraria. Pendekatan yang dilakukan Ben terhadap Aa’ Tubir melalui kopi cenderung kurang masuk akal dan dipaksakan. Dikisahkan dalam film tersebut bahwa Ben dapat menarik hati Aa’ Tubir dengan menawarkan diri untuk membuatkannya kopi lezat. Bagian tersebut cenderung berbau iklan terselubung filosofi kopi, meski scene tersebut memang tidak banyak ditampilkan dalam cerita. Namun, sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya, keseluruhan dari film karya Dwimas Dwi Sasongko ini sangat luar biasa dan tidak boleh kamu lewatkan! Selamat menonton!