Kemiskinan dan Matinya Pancasila

Minggu, 27 November 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

”Pancasila itu tidak ada, kalau lambang garuda ada. Andai Pancasila itu ada, untuk minum masyarakat Indonesia tidak perlu membeli air. Lapangan kerja mudah dicari, tidak sesulit dan serumit masa sekarang.”

Pernyataan provokatif itu diungkapkan oleh Presiden Jancukers Sujiwo Tejo dalam sebuah acara diskusi di Indonesia Lawyer Club (ILC). Pernyataan yang seakan-akan menegasikan Pancasila itu harus kita akui memang benar adanya. Sebab, dalam pada faktanya, sampai hari ini, masih banyak masyarakat kita yang belum bisa menikmati kesejahteraan.

Sejalan dengan hal, pekerjaan juga sulit. Bahkan, sarjana pun yang telah mengenyam dunia pendidikan tidak menutup kemungkinan juga banyak yang menjadi pengangguran.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ironisnya lagi, bahkan ada yang sampai rela menjual diri dan akhirnya tewas di tangan pengguna jasanya sebab pelanggannya pun tak punya uang untuk dibayarkan. Ini adalah carut-marut yang mendeskripsikan ketidakstabilan kondisi masyarakat Indonesia.

Fenomena tersebut berbanding terbalik dengan nilai-nilai Pancasila yang secara esensial sangat mencerminkan suatu keutuhan integritas dari kodrat kemanusiaan. Kodrat manusia yang pada dasarnya dirumuskan ke dalam lima poin, pada setiap poinnya yang saling mempunyai relasi dengan lainnya.

Baca Juga :  Blangkon Pak Bupati

Pertama, manusia merupakan produk ciptaan Tuhan, disebut ciptaan sebab memang mempunyai keterbatasan kemampuan. Sehingga perlu bersandar pada Dzat transenden untuk mengetahui dan memahami pedoman-pedoman dalam hidup. Sebagai kristalisasi dari cinta kasih Tuhan, manusia akan menjalani hidup dengan penuh kasih sayang dan kerukunan.

Kedua, manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat hidup sendirian terkucilkan dari manusia lainnya. Sebabnya agar dapat bersosial dengan manusia lainnya diperlukan mengembangkan rasa kemanusiaan dengan menaruh empati dan kasih sayang terhadap lainnya.

Ketiga, dalam kebersamaannya manusia membutuhkan ruang hidup konkrit dan pergaulan hidup dalam tatanan kemajemukan masyarakat, dengan menumbuhkan, menjaga dan merawat keberagaman etnis dan kelompok di dalamnya.

Keempat, untuk mengembangkan kerukunan kehidupan, pengambilan suatu keputusan tidak dapat melalui kemauan individual. Namun harus ditempuh melalui semangat cinta kasih yang termanifestasikan ke dalam perilaku dan sikap saling menghargai. Menganggap manusia lainnya sebagai subyek yang memiliki hak bersuara bukan sekedar objek pasif yang dimanipulasi atau pun dieksploitasi.

Baca Juga :  Taklid Buta Politik dalam Pusaran Pemilu 2024

Kelima, manusia sebagai makhluk jasmani yang secara lahiriyah membutuhkan papan, sandang dan pangan. Pemberian secara adil dan fair merupakan manifestasi dari cara mencintai dan menyayangi manusia lainnya.

Sehingga, lima poin Pancasila dipersatukan oleh cinta kasih, bukan acuh tak acuh atau pun apatis. Ir. H. Soekarno -Presiden Pertama Republik Indonesia menyebut semangat cinta kasih dengan gotong royong. Sebab istilah tersebut dipandang sebagai paham yang dinamis bahkan lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong royong diinterpretasikan sebagai kerja keras bersama, banting tulang bersama, pemerasan keringat bersama dan saling bahu membahu satu dengan lainnya.

Semua poin Pancasila dikehendakinya dengan landasan cinta kasih serta semangat gotong royong. Dasar kesejahteraannya harus dimulai dengan jiwa gotong royong untuk mengembangkan semangat partisipasi dan emansipasi di dalam kehidupan, khususnya ekonomi. Pada akhirnya tidak akan ada yang mengalami kesusahan untuk sekedar memenuhi kebutuhannya. Sebab beban yang ditanggungnya tidak dipikul sendirinya, namun dijinjing bersama-sama.

Baca Juga :  Menyusuri Keping-keping Perbudakan

Kata kemiskinan dan kelaparan yang bahkan sampai mengakibatkan kematian, tidak akan pernah terjadi dan berita ironi demikian tidak akan pernah terdengar. Penerapan Pancasila yang riil akan menegasikan kesejahteraan yang hanya bersifat individual atau pun kelompok, bukan pula kebebasan yang mengekang individu dalam sistem kapitalistik.

Namun kali ini, tinggal kembali kembali kepada masyarakat Indonesia sendiri, hendak menerapkannya atau tidak. Setidaknya gerakan mikro sangat dibutuhkan seperti memulainya dari diri sendiri. Tindakan kecil yang dilakukan secara konstan pun akan mengakibatkan hasil yang besar. Lebih-lebih tindakan pancasilais dilakukan oleh para tokoh yang memiliki otoritas di Indonesia. Pasti dan tentunya akan melahirkan dampak yang sangat luar biasa.

Berita Terkait

Teguran Islam untuk Catcalling: Menjaga Pandangan, Menghormati Perempuan
Mengupas Pola Asuh: Otoriter atau Suportif, Pilihan yang Membentuk Generasi
Israel-Hamas Sepakat Hentikan Perang: Akhir dari Konflik Palestina-Israel?
Membumikan Nilai-nilai Aswaja di Kalangan Gen Z
Melibatkan Tuhan, Catatan Awal Tahun 2025
Ketika Kemajuan Teknologi Malah Mendorong Kemunduran Logika
Demokrasi Sehat, Rakyat Berdaulat: Menuju Sumenep Bermartabat
Menanamkan Nilai

Berita Terkait

Sabtu, 1 Februari 2025 - 09:30 WIB

Teguran Islam untuk Catcalling: Menjaga Pandangan, Menghormati Perempuan

Sabtu, 25 Januari 2025 - 14:18 WIB

Mengupas Pola Asuh: Otoriter atau Suportif, Pilihan yang Membentuk Generasi

Sabtu, 18 Januari 2025 - 15:17 WIB

Israel-Hamas Sepakat Hentikan Perang: Akhir dari Konflik Palestina-Israel?

Jumat, 17 Januari 2025 - 17:54 WIB

Membumikan Nilai-nilai Aswaja di Kalangan Gen Z

Kamis, 2 Januari 2025 - 20:23 WIB

Melibatkan Tuhan, Catatan Awal Tahun 2025

Berita Terbaru

Dendam (Ilustrasi Pixabay)

Cerpen

DENDAM

Sabtu, 15 Feb 2025 - 07:00 WIB