Oleh | Abd. Kadir
OPINI, NOLESA.COM – Bagi saya, adalah sebuah kehormatan, ketika diminta panitia untuk menjadi pemateri seminar dalam rangkaian acara Musyawarah Kerja Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Alumni Santri Mathali’ul Anwar (IKAMA), tanggal 10 Mei 2025. Tema yang diusung adalah “Memperkuat Konsolidasi Organisasi, Mentransformasikan Peran Sosial Pesantren di Era Digital”.
Dalam kontkes ini, ada dua hal yang perlu digarisbawahi: organisasi (IKAMA) dan pesantren. Dari sisi organisasi, IKAMA ini baru saja menetapkan kepengurusan baru. Dalam konteks ini, kehadiran IKAMA bagi pesantren, khususnya Pondok Pesantren Mathai’ul Anwar adalah sebuah keniscayaan. Ia hadir sebagai organisasai sayap yang memberikan kontribusi positif dalam pengembangan Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Semenara itu, membincang tentang pesantren, pada ranah ini dipahami bahwa pesantren adalah lembaga keagamaan yang keberadaannya sama tuanya dengan Islam Indonesia. Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang memiliki kekhasan tersendiri.
Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa eksistensi pesantren memang paralel dengan pendidikan pra-Islam. Namun demikian, sebagai lembaga pendidikan keagamaan, pesantren telah berkiprah besar dalam pengembangan ilmu keislaman tradisional dengan bingkai aswaja yang disandingkan dengan kearifan lokal.
Di sini, sebagai seorang yang pernah hidup dan menikmati dunia pesantren, saya pikir keberadaan pesantren di era digital ini sejatinya memang harus terus berbenah untuk melakukan transformasi peran sosialnya.
Saat ini, dunia pesantren juga tidak akan bisa menghindar dari “hiruk-pikuk” digitalisasi di semua elemen. Mau tidak mau pesantren akan hadir di tengah-tengah digitalisasi ini. Ia akan hidup beriringan bahkan akan “tumpang tindih” dengan segala fenomenanya.
Diakui bahwa eksistensi pesantren selalu menjadi inspirasi bagi model pendidikan di Indonesia saat ini. Model pendidikan dengan pola fullday school, boarding school, atau yang terbaru akan dibagun oleh pemerintah “sekolah rakyat” yang akan mengasramakan peserta didiknya, adalah fenomena yang tak terelakkan, bahwa semua itu bagian tak terpisahkan dari kehidupan pendidikan di pesantren.
Selama ini kita mengenal pesantren menggunakan pola nonstop school dalam melaksanakan proses pendidikannya. Hanya saja, terkadang kita tidak terlalu percaya diri dengan sistem yang kita laksanakan sendiri.
Kita terlalu latah dengan hegemoni pendidikan yang berasal dari luar, apalagi yang berlabel “Barat”. Padahal, model yang dari luar ini adalah bagian dari mozaik pesantren yang terserak, sementara pesantren adalah puzzle yang utuh dengan kekhasannya.
Namun demikian, kita pun tidak perlu terlalu jumawa dengan realitas pesantren yang telah menjadi inspirasi sistem pendidikan yang hadir akhir-akhir ini. Sebagai sebuah lembaga keagamaan yang memiliki ciri khas tersendiri, tantangan pesantren ke depan masih sangat terbuka. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, fenomena kepemimpinan pesantren. Dalam konteks ini, saya tidak akan memperdebatkan eksistensi kiai sebagai tokoh sentral dalam pesantren. Tetapi, setidaknya perlu ada penyiapan secara matang terhadap eksistensi kiai di level kedua. Pesantren perlu mempersiapkan gawagus/putra-putra kiai atau ustad-ustad yang mengurus peesntren di bawah kepemimpinan kiai.
Hal ini penting untuk menjaga kesinambungan kepemimpinan pesantren di masa mendatang. Artinya di sini ada upaya untuk menghindari mata rantai kepemimpinan yang terputus di dalam pesantren, misalnya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atas kiai sebagai pengasuh sentral.
Kedua, pembaharuan metodologi. Terkait metodologi ini, bukan berarti motode yang dikembangkan di pesantren saat ini seperti sorogan dan bandungan sudah tidak efektif. Bahwa metodologi pengajaran di pesantren yang ada sekarang ini seperti sorogan dan bandungan ini adalah ciri khas pesantren, ini tak dapat dielakkan.
Tetapi, selain dua model ini, kiranya perlu pembaharuan degan model-model lain yang memanfaatkan teknologi digital sehingga bisa lebih menarik dan memiliki jangkauan dan daya jelajah yang lebih luas.
Ketiga, disorientasi pesantren. Banyaknya model pesantren yang berkembang akhir-akhir ini dengan segala dinamikanya, kadang-kadang menyuguhkan kegamangan bagi Sebagian pesantren yang audah ada. Kegamanyan ini muncul apakah pesantren yang ada akan terus dikembangkan dengan ciri khas yang selama ini telah dilekatkan dalam stigma pesantren, ataukah akan mengambil haluan lain dengan mengikuti perkembangan pendidikan yang ada.
Di sinilah kadang-kadang kegamangan ini muncul. Ada disorientasi pemikiran untuk mengubah eksistensi pesantren yang sudah dibangun. Padahal, keberadaan model Pendidikan baru, digitalisasi sebenarnya tidak perlu mengubah stigma dan garansi pesantren yang ada selama ini. Melakukan pola fleksibilisasi dan pembaharuan dengan model almuhaafadhotu alqodiimissoolih, wal-akhdu biljadiidilaslah (mempertahankan tradisi lama yang bagus, dan mengambil tradisi baru yang lebih bagus).
Keempat, jaringan antarpesantren. Di sini, perlu ada upaya untuk membangun sinergi dan jejaring yang kuat dengan pesantren-pesantren yang sudah berkembang. Ini semua dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan pengembangan pesantren dengan belajar pada pesantren yang memiliki keunggulan di berbagai bidang. Anggaplah mislanya, Ponpes Sidogiri dengan kekuatan koperasinya, Ponpes Annuqayah Guluk-Guluk dengan kekuatan jurnalistiknya, dan sebagainya.
Keempat hal di atas penting untuk dikaji dalam rangka membangun jati diri pesantren dengan tetap menjaga fleksibilatasnya di era digital ini. Termasuk juga kehadiran organisasi sayap seperti IKAMA ini juga sebuah keniscayaan sehingga kemajuan pesantren bisa terbangun dari sisi internal dan ditopang kekuatan dari sisi eksternal: organisasi sayapnya. Semoga!
*Alumni Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar, Pangarangan, Sumenep