Ibnu Khaldun; Runtuhnya Suatu Imperium Biasanya Diawali dengan Kezaliman

Redaksi Nolesa

Jumat, 22 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

(for NOLESA.COM)

(for NOLESA.COM)

Oleh | Sujono

MIMBAR, NOLESA.COM – Ibnu Khaldun; runtuhnya suatu imperium biasanya diawali dengan kezaliman pemerintah yang tidak lagi memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.

Ibnu Khaldun, adalah sejarawan agung dan pemikir ulung yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai “Bapak Sosiologi.” Dialah yang memiliki nama lengkap Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ibnu Khaldun hidup pada saat Imperium Islam bagian barat (termasuk Afrika Utara) di ambang kehancuran. Andalusia terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kaum Murabithun (Almoravid) dan Muwahhidun (Almohad) saling rebut wilayah dan pengaruh.

Pada saat yang sama, kaum Kristen Spanyol tengah mengkonsolidasi kekuatan dan menyusun strategi untuk melancarkan serangan besar-besaran demi merebut kembali semua daerah yang diduduki kaum Muslimin–peristiwa kelam yang dinamakan Reconquista. Bermula dengan Toledo (1085), Cordoba (1236), Seville (1248), dan terakhir Granada (1492). Satu persatu wilayah Islam jatuh ke tangan orang-orang Kristen.

Baca Juga :  Menggali Kekuatan Jiwa

Pemikiran Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun memandang proses sejarah dalam kerangka siklus (ketimbang proses linear ataupun dialektika), bahwa runtuhnya suatu Imperium biasanya diawali dengan kezaliman pemerintah yang tidak lagi memperhatikan hak dan kesejahteraan rakyatnya, serta sikap sewenang-wenang terhadap rakyat.

Akibatnya timbul rasa ketidakpuasan, kebencian dan ketidakpedulian rakyat terhadap hukum dan aturan yang ada. Situasi ini akan semakin parah bila kemudian terjadi perpecahan di kalangan elite penguasa yang kerap berbuntut disintegrasi dan munculnya petty leaders (pemimpin yang picik).

Baca Juga :  Al-Qur’an dan Arti Membaca

Dalam observasi Ibnu Khaldun, ketika negara sudah mencapai puncak kejayaan, kemakmuran, dan kedamaian, maka pemerintah maupun rakyatnya cenderung menjadi tamak dan melampaui batas dalam menikmati apa yang mereka miliki dan kuasai. Itulah pertanda kejatuhan mereka sudah dekat.

Namun, kejatuhan suatu bangsa hampir selalu didahului atau diikuti oleh kenaikan bangsa lain yang mewarisi dan meneruskan tradisi maupun peradaban sebelumnya. Bangsa yang baru muncul ini cenderung meniru bangsa yang pernah menjajahnya hampir dalam segala hal; dari cara berpikir dan bertutur hingga ke tingkah laku dan busana. Proses ini bisa berlangsung tiga sampai empat generasi.

Jika kejayaan suatu bangsa hanya bertahan empat atau lima generasi, hal itu dikarenakan generasi pertama adalah pelopor, generasi kedua adalah pengikut, generasi ketiga adalah tradition keepers (penjaga tradisi), sedangkan generasi keempat adalah tradition losers (berpaling dari tradisi).

Baca Juga :  Mendengarkan Suara Keprihatinan Kampus

Berbeda dengan para penulis sejarah sebelumnya, Ibnu Khaldun dalam analisisnya berusaha objektif. Pendekatan yang dipakainya tidak normatif, akan tetapi empiris-positivistik. Uraiannya berpijak pada das sein dan bukan pada das sollen, pada apa yang sesungguhnya terjadi, bukan apa yang seharusnya terjadi.

Hematnya, kejayaan suatu bangsa lebih ditentukan oleh apakah dan sejauh mana mereka secara kolektif berhasil memenej potensi-potensi yang ada padanya semaksimal dan seoptimal mungkin. Yang demikian adalah ketetapan Tuhan (Sunnatullah) yang berlaku universal. Wallahu a’lam…

*penulis lepas tinggal di Perum Satelit, Sumenep

Berita Terkait

Menggali Kekuatan Jiwa
Muhasabah: Belajar Menggali Kekuatan Jiwa
Abu Ustman Al-Hiri: Menjaga Getar Perasaan Wanita
Krisis Nepal: Pelajaran untuk Indonesia
Klarifikasi dan Luka Sosial
Saatnya Negara Berbenah
Protes Publik dan Pemerintah yang Gagal Paham
Seleksi Calon Hakim Konstitusi dan “Tafsir Sesat” DPR

Berita Terkait

Jumat, 24 Oktober 2025 - 12:52 WIB

Menggali Kekuatan Jiwa

Jumat, 26 September 2025 - 13:55 WIB

Muhasabah: Belajar Menggali Kekuatan Jiwa

Jumat, 19 September 2025 - 07:54 WIB

Abu Ustman Al-Hiri: Menjaga Getar Perasaan Wanita

Kamis, 11 September 2025 - 06:14 WIB

Krisis Nepal: Pelajaran untuk Indonesia

Senin, 8 September 2025 - 20:16 WIB

Klarifikasi dan Luka Sosial

Berita Terbaru