Oleh AHMAD FARISI*
Dalam beberapa hari terakhir kaum akademisi menyuarakan sikap keprihatinannya terhadap krisis demokrasi yang terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
Menurut berbagai pernyataan sikap yang dirilis oleh para insan akademik dari berbagai kampus/PT itu, demokrasi Indonesia berada dalam titik nadir.
Para insan akademik menilai, manuver-manuver politik Presiden Jokowi menjelang Pilpres 2024 telah merusak kesucian demokrasi Indonesia yang dihasilkan melalui perjuangan Reformasi 1998.
Sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan, Presiden Jokowi dinilai tak selayaknya terlibat terlalu dalam pada kontestasi Pilpres 2024.
Tidak Biasa
Kita tahu, dalam beberapa tahun terakhir, tidak sedikit kebijakan Kabinet Indonesia Maju yang dianggap bertentangan dengan kepentingan publik. Namun, sejauh ini, belum pernah rasanya para insan akademik secara terang-terangan menyatakan sikap keprihatinannya secara langsung.
Jika pun ada, sikap keprihatinan yang disuarakan itu sejauh ini tak pernah dinyatakan secara terbuka sebagai sikap para akademisi. Melain dalam bentuk sikap individu (dosen/mahasiswa) yang tercecer dalam bentuk tulisan, meme, moral, selebaran, dan aksi demonstrasi di jalanan.
Karena itu, bisa dikatakan, sikap keprihatinan para insan akademik atas kondisi demokrasi mutakhir yang dinyatakan secara terbuka adalah peristiwa yang ”tidak biasa”.
Sepertinya, para insan akademik telah menyadari bahwa kondisi demokrasi Indonesia benar-benar dalam masalah serius yang tidak boleh diabaikan melainkan harus disikapi secara kritis.
Oleh sebab itu kita mengapresiasi keputusan para insam akademik yang dengan tegas mengambil sikap untuk secara langsung terlibat mengawal demokrasi Indonesia. Ini adalah angin segar bagi demokrasi. Dan, inilah yang selama ini kita tunggu-tunggu dan harapkan. Para insan akademik menjadi bagian dari aksi menyelamatkan demokrasi bangsa.
Dengarkan
Semua sikap keprihatinan yang disuarakan oleh para insan akademik semuanya menyuarakan hal yang sama. Yakni tentang krisis demokrasi di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menyebut bangsa ini mengalami turbulensi kenegarawanan.
Universitas Indonesia (UI), menyebut demokrasi kita seperti tanpa kendali.
Sementara itu, Universitas Gadjah Mada (UGM), melalui Petisi Bulaksumur, menyebut kepemimpinan Presiden Jokowi telah menyimpang dari koridor demokrasi. Dan, begitu juga sikap kampus-kampus yang lain.
Sejak Presiden Jokowi menyatakan diri akan cawe-cawe dalam Pemilu 2024, sebenarnya sejumlah tokoh dan akademisi sudah mengingatkannya melalui kritik.
Presiden Jokowi mesti menyadari bahwa di atas kepentingan keluarga dan kelompok, ada kepentingan bangsa yang lebih besar.
Namun, semua kritik dan peringatan itu seperti tidak pernah sampai kepada Presiden Jokowi. Tak didengarkan.
Presiden Jokowi secara sadar terus melakukan manuver dan cawe-cawe hingga pada taraf yang paling mengkhawatirkan. Hingga akhirnya apa yang dilakukan Presiden Jokowi mengakibatkan cedera serius pada demokrasi Indonesia: pincang dan kehilangan arah ke mana akan menuju.
Karena itu, jika sebelumya Presiden Jokowi seolah-olah tak pernah mendengar peringatan publik. Kali ini Jokowi harus mendengarkan apa yang disuarakan oleh para insan akademik.
Sikap keprihatinan para akademisi itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Jokowi benar-benar telah melampaui batas dan berpotensi merobohkan pilar-pilar demokrasi.
Di atas kepentingan keluarga dan kelompok, ada kepentingan bangsa yang lebih besar. Bahwa kepentingan bangsa harus diutamakan daripada kepentingan keluarga. Presiden Jokowi mesti menyadari semua itu. Bangsa ini tidak mungkin dibangun di atas kemunafikan dan kebohongan politik.
Karena itu, Presiden Jokowi mesti menyudahi cawe-cawe politiknya dalam Pilpres. Bertaubat secara politik dan menapaki jalan kesunyian sebagai Bapak Bangsa seperti pendahulu-pendahulunya.
Gus Dur pernah mengingatkan: tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati-matian.
Atau, seperti nasihat politik Sunan Kalijaga yang dikutip civitas akademik UIN Suka Yogyakarta dalam Seruan Moral-nya (5/1), Jangan terlena dengan jabatan dan hal-hal yang bersifat duniawi (Aja ketungkul marang kalungguhan kadonyan kan kemareman).
Presiden Jokowi mesti menyadari apa yang dilakukannya salah dan tidak etis.
Cawe-cawenya dalam Pemilu 2024, alih-alih akan mengantarkan Indonesia menjadi negara maju, yang ada hanya akan menjadi Indonesia sebagai negara rusak. Kehilangan pijakan etis dan landasan moralnya.
Setia Pada Sumpah dan Janji
Pada saat dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Presiden Jokowi telah mengucapkan sumpahnya untuk tegak lurus pada konstitusi, memegang teguh undang-undang, dan bersedia berbakti kepada bangsa.
Selain itu, pada saat bersamaan ia juga telah berjanji akan menjalankan kewajiban presiden sebaik mungkin, seadil-adilnya (Pasal 9 UUD 1945).
Sumpah itu bukan sembarang sumpah. Melainkan sebentuk penyerahan diri untuk mengabdikan diri kepada Nusa dan Bangsa. Namun, sumpah dan janji itu kini seperti hilang dari diri Jokowi.
Suara keprihatinan yang datang dari para akademisi itu adalah semacam ajakan bagi Presiden Jokowi untuk melakukan pertaubatan politik dan setia pada sumpah-janji kenegaraan yang telah diucapkannya.
Presiden Jokowi seolah-olah lupa, bahwa dirinya pernah berikrar dengan sumpah sakral itu.
Karena itu, adalah saatnya bagi Presiden Jokowi untuk kembali mengingat sumpah-janji kenegaraan itu dan kembali pada jalan konstitusional yang semestinya.
Suara keprihatinan yang datang dari berbagai kampus adalah semacam ajakan untuk itu: melakukan pertaubatan politik dan setia pada sumpah-janji kenegaraan yang telah diucapkannya.
Suara para insan akademik itu bukanlah suara partisan-pesanan yang layak untuk diabaikan, melainkan suara keprihatinan akademik terhadap kondisi bangsanya yang sedang dirongrong oleh ambisi dan kerakusan politik. Jadi, dengarkan peringatan itu secara cermat dan seksama!
*) Pengamat politik