Adalah niscaya ketika seorang guru itu menulis apa yang dipikirkan untuk dikerjakan dan mengerjakan apa yang dituliskan. Realitas semacam ini adalah bagian dari filosofi penelitian tindakan kelas yang di sini guru ‘diwajibkan’ menulis apa yang akan dikerjakan dan mengerjakan apa yang dituliskan. Dalam perpektif ini, maka guru sudah selayaknya menjadi pelopor literasi ‘baca-tulis’ di sekolah.
Membincang literasi ini, maka sebenarnya apa yang telah dicanangkan pemerintah tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS) diharapkan mampu diimplementasikan di semua jenjang di sekolah. Di sini, gerakan ini dimaksudkan untuk membangun kemampuan warga sekolah dalam mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas dan komprehensif melalui berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan berbahasa (membaca, menyimak, menulis, dan berbicara).
Nah, dalam konteks ini, sekolah menjadi sentral sebagai basis kegiatan literasi. Kebehasilan gerakan literasi ini akan efektif jika warga sekolah memikul tanggung jawab utama. Kepala sekolah, guru, dan siswa adalah komponen internal yang akan menjadi penentu keberhasilan gerakan literasi ini.
Pada ranah ini, guru sebagai petugas profesi yang ada di garda depan dengan kompetensi pedagogik yang dimilikinya, dituntut untuk memiliki kapasitas memadai dalam mengembangkan diri serta melaksanakan kegiatan literasi ini secara optimal. Dengan kekuatan pedagogik, kepribdian, sosial, dan profesional yang dimilikinya, dia bisa menjadi teladan bagi siswanya dalam hal literasi ini. Guru juga harus bisa memahami karakteristik siswanya sebagai anak didik yang akan bersama-sama dalam penguatan literasi di sekolah. Pada ranah ini, guru harus bisa memposisikan diri dan berperan aktif sebagai inisiator, fasilitator, dan evaluator terhadap para siswanya. Dengan posisi dan peran aktif inilah keteladanan itu akan lahir.
Untuk itu, sekali lagi, keteladanan dan pembacaan terhadap karakteristik siswa akan memudahkan guru dalam menginternalisasi nilai yang akan disampaikan oleh guru. Bahwa bahasa perbuatan dan keteladanan akan lebih efektif dari bahasa verbal, itu sudah tidak terbantahkan. Dengan bahasa keteladanan inilah guru memulai dari dirinya sendiri untuk diikuti anak-anak dan siswanya, bahkan oleh masyarakatnya.
Di satu kesempatan, saya diundang untuk membedah sebuah buku—“Bedah Literasi Kelas”—yang ditulis Saudara Ali Harsojo, M.Pd. Terkait dengan bedah buku ini, ada satu pembacaan yang bisa saya sampaikan bahwa ide penulis ini adalah ide yang implementatif. Artinya, bahwa ide ini adalah ide yang dituliskan untuk dilaksanakan dan melaksanakan apa yang telah dituliskan. Saudara Ali Harsojo, menuliskan pengalaman mengajarnya selama 4 tahun terakhir dalam melakukan penguatan literasi di sekolah.
Pengalaman yang tertuliskan ini adalah bentuk nyata penguatan literasi yang dicontohkan Saudara Ali Harsojo kepada siswa, bahwa berliterasi pada ahirnya akan menghasilkan tulisan. Saya melihat bahwa Saudara Ali Harsojo tidak hanya menulis buku ini sebagai karya pribadinya. Tetapi, sebagaimana yang disampaikan dalam buku ini bahwa lebih dari itu, juga lahir karya-karya anak didiknya yang bisa menjadi bacaan dan inspirasi bagi guru dan siswa lain di Kabupaten Sumenep.
Karya siswa ini juga merupakan hasil dari pembiasan literasi kelas yang telah dibudayakan selama ini oleh Saudara Ali Harsojo, baik yang telah diinternalisasian dalam aktivitas pembelajaran yang sudah dijadwalkan, maupun waktu-waktu selain yang sudah dijadwal oleh sekolah. Apakah itu 15 menit sebelum pelajaran atau waktu lain yang bisa dimanfaatkan untuk penguatan literasi kelas ini.
Inilah sebenarnya yang dibutuhkan dari guru. Pola guru inisiator yang kreatif penting agar gerakan literasi yang dimulai dari kelas bisa diimplementasikan. Dia akan menjadi guru literat yang akan diikuti oleh siswanya, dan pada akhirnya akan melahirkan karya, baik itu dari gurunya, maupun dari siswanya. Semoga!
: Pegiat Literasi