Pasal 240 dan 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 217 dan 220 tentang penyerangan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden; dan serta Pasal 246 dan 247 tentang penghasutan melawan penguasa yang terdapat dalam Rancangan Kitab Hukum Pidana (RKUHP) kembali menjadi perdebatan publik. Pasalnya, keberadaan beberapa pasal yang terdapat dalam draft RKUHP 2019 itu dinilai akan mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan itu melalui dua model pendekatan yang dalam hermeneutika hukum dikenal dengan pendekatan tekstual (aktivitas memahami melalui teks) dan pendekatan kontekstual (aktivitas memahami melalui/berdasar konteks yang berada di luar teks).
Benarkah eksistensi pasal-pasal penghinaan terhadap pemerintah, Presiden dan Wakil Presiden, dan penghasutan melawan penguasa yang penuh dengan kontroversi itu mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tulisan ini hendak menjawab pertanyaan itu melalui dua model pendekatan yang dalam hermeneutika hukum dikenal dengan pendekatan tekstual (aktivitas memahami melalui teks) dan pendekatan kontekstual (aktivitas memahami melalui/berdasar konteks yang berada di luar teks).
Pendekatan Tekstual
Penulis mencoba membaca ulang pasal-pasal kontroversial itu. Sepintas, hemat penulis mengatakan bahwa tidak ada yang bermasalah dengan pasal-pasal kontroversial itu. Sebab, berdasarkan teks yang bisa kita baca, tak satu pun ada pasal, kalimat, atau bahkan frasa hukum yang membatasi kebebasan berpendapat.
Pasal-pasal yang mendapat penolakan publik itu, semuanya dengan jelas menarasikan tentang ancaman pidana atau konsekuensi hukum bagi pihak yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah ataupun institusi negara sehingga menyebabkan sebuah terjadinya kerusuhan, sama sekali bukan tentang pembatasan kebebasan berpendapat.
Contoh, Pasal 240 RKUHP yang mengatakan bahwa setiap orang di muka umum yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang mengakibatkan kerusuhan ancaman hukumnya adalah 3 tahun penjara. Berdasarkan contoh tersebut, pasal-pasal yang dianggap mengancam demokrasi itu sebenarnya memuat ancaman pada demokrasi.
Sebab, objek pengaturannya adalah tentang penghinaan, penyerangan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dan juga tentang penghasutan. Karena itu, dalih pemerintah yang mengatakan bahwa pasal-pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi –khususnya dengan doktrin kebebasan berpendapat– dapat kita terima.
Namun, cukupkah pendekatan tekstual ini dijadikan dalil untuk menerima dan membenarkan keberadaan pasal-pasal yang dalam asumsi publik dinilai mengancam demokrasi itu? Tentu saja tidak. Secara teoretis, fakta atau kebenaran yang diungkapkan melalui pendekatan tekstual itu masih lemah dan masih perlu penyelidikan lebih lanjut.
Oleh sebab itu, adalah fatal jika kita berhenti pada pendekatan tekstual ini dan menjadikannya sebagai acuan utama dan satu-satunya dalam melihat pasal-pasal kontroversial itu dalam kaitannya dengan kebebasan berpendapat. Dan itu sebabnya, kita membutuhkan pendekatan lain berupa pendekatan kontekstual guna membuka tabir yang menyelimuti kebenaran yang sebenarnya.
Pendekatan Kontekstual
Sebagaimana disitir di bagian awal tulisan ini, pendekatan kontekstual adalah sebuah kegiatan atau aktivitas memahami melalui/berdasar konteks yang berada di luar teks. Misal, seperti peristiwa atau kejadian-kejadian yang terjadi di lapangan yang memiliki kesamaan-kesamaan khusus –pun secara tekstual sama sekali berbeda.
Dalam hal ini, konteks atau peristiwa-peristiwa hukum yang penulis anggap memiliki kesamaan khusus dengan pasal-pasal penghinaan yang terdapat dalam RKUHP itu adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya terkait dengan pasal-pasal penghinaan dan pencemaran nama baik.
Pada mulanya, UU ITE itu dibentuk untuk merespons perkembangan kehidupan di era digital (hukum responsif) agar masyarakat tidak mudah menyebarkan informasi yang memuat kebencian yang dapat merugikan pihak lain. Sebab, di era di mana semua pihak dapat dengan mudah menyebarluaskan informasi, adanya informasi-informasi yang memuat kebencian terhadap individu atau kelompok menjadi tak terhindarkan.
UU ITE lahir dengan semangat itu: merespons perkembangan zaman guna dapat menstabilkan kehidupan digital. Karena itu, berdasarkan rumusan awal ini, jelas dan terang bahwa keberadaannya dibentuk untuk tujuan yang adiluhung: menghindarkan masyarakat dari kekacauan sosial berkelanjutan. Namun, bagaimana dengan kenyataan di lapangan? Jauh dari yang diharapkan dan dicita-citakan: das sein dan das solen-nya bertolak belakang.
Secara tekstual, kedudukan pasal-pasal penghinaan terhadap pemerintah dan pasal-pasal pencemaran nama baik itu sama. Keduanya sama-sama berdiri di atas teks yang berpotensi memunculkan tafsir tak terbatas melampaui makna harfiah yang senyatanya. Bahkan, lebih dari itu, juga berpotensi ditafsirkan sesuai dengan selera politik masing-masing (subjektif).
Pada perkembangannya, pasal-pasal pencemaran nama baik, Pasal 27 ayat (3), misalnya, kerap kali disalahgunakan. Apa hendak dikata, keberadaannya seketika menjadi alat politik untuk membungkam sejumlah aktivis yang getol mengkritik pemerintah kekuasaan. Hingga akhirnya, alih-alih menstabilkan kehidupan demokrasi di era digital, justru kehadirannya menjadi parasit yang membunuh demokrasi dari dalam.
Lalu, bagaimana dengan pasal-pasal penghinaan yang terdapat dalam RKUHP itu? Secara tekstual, kedudukan pasal-pasal penghinaan terhadap pemerintah dan pasal-pasal pencemaran nama baik itu sama. Keduanya sama-sama berdiri di atas teks yang berpotensi memunculkan tafsir tak terbatas melampaui makna harfiah yang senyatanya. Bahkan, lebih dari itu, juga berpotensi ditafsirkan sesuai dengan selera politik masing-masing (subjektif).
Jadi, pun secara tekstual –sebagaimana diuraikan di atas– pasal-pasal kontroversial itu tidak mengancam eksistensi demokrasi, namun praktiknya kemudian sangat berpotensi besar memunculkan paradoks hukum seperti yang terjadi dalam konteks UU ITE: berubah menjadi alat politik untuk melakukan pembungkaman dan persekusi sepihak.
antara teks dan konteks penerapan pasal-pasal penghinaan terhadap pemerintah dan kekuasaan negara itu—layaknya UU ITE dengan pasal pencemaran nama baik di dalamnya—juga berpotensi besar keluar dari jalur yang dicita-citakan.
Antara das sein dan das solen-nya, atau antara teks dan konteks penerapan pasal-pasal penghinaan terhadap pemerintah dan kekuasaan negara itu—layaknya UU ITE dengan pasal pencemaran nama baik di dalamnya—juga berpotensi besar keluar dari jalur yang dicita-citakan. Jadi, masihkah pasal-pasal tersebut harus kita pertahankan? Penulis kira Pemerintah harus mempertimbangkannya kembali.