Adalah hal yang pasti bahwa aktivitas berpikir akan dialami dan dilakoni oleh setiap manusia. Baik mengenai hal remeh-temeh hingga yang cukup pelik. Aktivitas berpikir ini dilakukan dalam harapan besar untuk menemukan jawaban atau solusi sekaligus kesimpulan atas masalah dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang sedang terjadi dan sedang kita alami.
Bagi kita semua hal itu adalah keniscayaan sebagai makhluk-makhluk yang berpikir. Namun, pertanyaannya kemudian adalah sudahkah kita berpikir dengan baik dan benar sehingga tidak sampai pada kesimpulan yang salah?
Ternyata berpikir bukanlah hal yang mudah. Di dalamnya terdapat seperangkat praktis yang harus kita lakukan untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat dan benar agar tidak mendapatkan kesimpulan yang salah. Perangkat berpikir itu adalah bernama logika, dalam diskursus keilmuan Islam disebut dengan mantiq, sebuah diskursus keilmuan tersendiri yang dipakai untuk menjelaskan cara berpikir yang tepat agar menemukan kesimpulan yang tepat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ilmu mantiq, yang kita kenal dalam diskursus keilmuan Islam, dan ilmu logika yang kita kenal sebagai tradisi keilmuan Yunani Kuno (Aristotelean) sebenarnya adalah hal yang sama belaka. Sebab, mantiq tak lain adalah ilmu logika Yunani Kuno yang oleh para pemikir muslim sekaliber Al-Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Rusyd diadaptasikan ke dalam dunia Islam. Di kaji dan dijadikan pisau bedah untuk menyelesaikan persoalan-persolan aqidah dan problem teologis masyarakat muslim kala itu.
Karya Aristoteles (abad 4 SM; disebut dalam bahasa Arab dengan Aristhu) dalam bidang logika (mantiq) ialah Organon, yang berisi enam pembagian pembahasan yang, walau tidak memakai urutan yang sama, tetapi memiliki kandungan isi yang mirip dengan kandungan mantiq yang dipelajari dan disyarahi para filsuf muslim. Enam kandungan Organon dikumpulkan oleh para pengikut Aristoteles, yang disebut dengan kaum Peripetik.
Mantiq atau logika pada umumnya dipakai dalam aktivitas-aktivitas akademik, tidak pada kehidupan pada umumnya. Padahal, mantiq atau logika juga sangatlah penting diimplementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari, pun hanya untuk sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan dan problem-problem kehidupan yang sederhana.
Karena bagi mantiq, yang menjadi perhatian bukan persoalan sederhana atau tidaknya sebuah permasalahan, melainkan pada persoalan aktivitas berpikirnya, dilakukan dengan benar atau tidak sehingga bisa melahirkan kesimpulan yang benar akan sebuah permasalahan. Titik tekan dari berpikir ala mantiq ini adalah cara berpikir yang logis, masuk akal, tidak mengalami cacat logika, silogismenya valid dan premisnya benar.
Karena, fungsi dari mantiq itu sendiri adalah “…untuk menjaga pikiran agar tidak terpeleset ke dalam kesalahan, dan [juga] menyingkap tabir yang menyelimuti rumitnya pemahaman”. Jadi, dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari mantiq itu sendiri adalah untuk mengurai sebuah permasalahan, menemukan jawabannya agar mudah dipahami dan bisa diselesaikan dengan baik. Karena itu, aktivitas berpikir yang dinginkan oleh mantiq bukan hanya “baik” belaka, tetapi juga “benar” secara logika.
Oleh sebab itu, adalah masuk akal bila Aziz Anwar Fachrudin dalam bukunya, Mantiq, menyebut mantiq sebagai tempat ilmu dipijakkan, ditimbang dan dinilai. Menurut Al-Ghazali: “Siapa yang tak menguasai mantiq, ilmunya tidak terpercaya. Apa yang dikatakan Al-Ghazali itu secara tidak langsung telah memberi tahu kita betapa pentingnya ilmu mantiq dalam kehidupan, utamanya dalam aktivitas-aktivitas berpikir, baik dalam dunia akademik ataupun dalam kehidupan sehari. Karena tanpa mantiq, logika dan seperangkatnya, kesimpulan yang kita ambil mengenai sebuah masalah cenderung akan kurang “baik” dan “benar”.
(Tulisan ini disarikan dari buku Mantiq, karya Aziz Anwar Fachrudin).