Ada salah satu risalah Rene Descartes yang sangat pendek, tapi sangat bernas, berisi. Judulnya Kesombongan dan Rasa Malu.
Risalah itu saya baca dan saya temukan saat mengedit naskah buku The Passion Of The Soul, risalah Descartes yang diterjemahkan oleh Muhammad Muhibudin.
Dalam mengedit, saya biasanya bekerja lebih. Artinya, pun pekerjaan saya itu juga membaca, tetapi porsi membacanya harus beda. Beda dengan membaca buku pada umumnya.
Jika membaca buku pada umumnya saya fokus pada kegiatan memahami teks, tetapi tidak dalam mengedit. Saya harus lebih dari sekadar memahami teks.
Misalnya, harus memperhatikan struktur kalimatnya, tanda bacanya, diksinya, dan yang lainnya.
Namun, hal yang berbeda saya rasakan saat membaca teks risalah itu. Seketika saya agak terperangah. Terkejut. Dan seketika melupakan hal-hal teknis (dalam mengedit) yang harus selalu saya perhatikan.
Dalam risalahnya itu, Descartes menulis: “ … kebaikan yang ada atau yang telah ada dalam diri kita yang diperhatikan oleh orang lain membangkitkan kesombongan dalam diri kita….”
Kalimatnya sederhana. Namun membangunkan kesadaran kita; menyadarkan kita tentang dari mana asal usul kesombongan itu.
Pernahkah kita berpikir bahwa yang membangunkan kesombongan dalam diri kita itu adalah kebaikan kita sendiri? Saya sendiri tidak pernah.
Saya menyangka, kebaikan, dengan segala efeknya, akan selamanya tetap sebagai sebuah kebaikan. Ternyata tidak. Ada efek yang tidak pernah kita duga, yakni membangunkan kesombongan dalam diri kita.
Saya sepenuhnya sepakat dengan pendapat Descartes itu. Sebab, jika ungkapan itu kita renungkan, maka hal itu benar (meski tidak berlaku dalam semua kasus).
Benar yang saya maksud, sebab memang demikianlah kenyataannya. Orang yang cenderung sombong, biasanya adalah orang yang merasa memiliki kebaikan. Dalam bentuknya yang kecil sekalipun.
Tidak perlu jauh-jauh mengambil dan melihat contoh. Lihatlah diri kita sendiri. Bagaimana sikap kita ketika merasa punya kebaikan.
Lantas, apakah untuk menghindari kesombongan diri itu kita harus berhenti berbuat baik? Tentu tidak. Ini adalah pertanyaan yang salah.
Kebaikan, sebagaimana diungkapkan Descartes itu, pada titik tentu memang memicu bangkitnya kesombongan dalam diri kita.
Namun, dengan begitu, bukan berarti kita harus menghindari dan tidak melakukan kebaikan.
Tetap lakukan kebaikan sebanyak-banyaknya. Namun jangan merasa bahwa kita telah punya kebaikan dan satu-satunya yang memiliki.
Kebaikan memicu bangkitnya kesombongan dalam diri kita memang benar. Tapi, itu tidak akan terjadi jika kita tidak merasa.
Teruslah berbuat baik. Tapi, jangan pernah merasa bahwa kitalah yang paling baik. Sebab, merasa itulah pembangkit kesombongan yang sebenarnya.
Semakin kita banyak berlaku baik. Semakin besar potensi kita untuk sombong.
Akan tetapi, sebesar apa pun potensi kesombongan dari kebaikan yang kita lakukan, hal itu sama sekali tidak akan terjadi jika kita tidak merasa.