Selamat Jalan Paus Fransiskus; Cahaya Kasih yang Tak Pernah Padam

Redaksi Nolesa

Selasa, 22 April 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Senin, 21 April 2025, Paus Fransiskus berpulang. Dunia berduka, langit tampak sedikit lebih kelabu, dan keheningan menyelimuti Vatikan. Kepergiannya bukan hanya kehilangan bagi umat Katolik, melainkan juga bagi seluruh umat manusia yang menyaksikan sosoknya sebagai simbol belas kasih, kesederhanaan, dan perjuangan untuk perdamaian. Dalam era yang dipenuhi gejolak dan perpecahan, Paus Fransiskus hadir sebagai lentera yang menyala lembut namun terang, membawa harapan kepada banyak orang di tengah kegelapan zaman.

Lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio di Buenos Aires, Argentina, pada 17 Desember 1936, perjalanan hidupnya tidak ditandai dengan kemewahan ataupun kemegahan. Justru dari kerendahan hati dan pengalaman hidup yang dekat dengan rakyat jelata, ia belajar untuk melihat dunia dengan mata kasih. Ketika terpilih sebagai Paus ke-266 pada tahun 2013, ia menjadi Paus pertama yang berasal dari Amerika Latin dan juga yang pertama memilih nama Fransiskus — mengacu pada Santo Fransiskus dari Assisi, simbol cinta dan kedamaian.

Pilihan nama itu bukan sekadar simbolis. Dalam sepuluh tahun masa kepausannya, Paus Fransiskus konsisten menghidupi semangat Fransiskan: hidup sederhana, berpihak pada yang terpinggirkan, dan mencintai ciptaan Tuhan tanpa syarat. Ia menolak tinggal di Istana Apostolik yang mewah, memilih tinggal di rumah tamu Vatikan yang lebih sederhana. Ia kerap terlihat menyapa umat dengan hangat, mencium anak-anak, memeluk orang sakit, bahkan mencuci kaki para narapidana — gestur kecil yang mencerminkan cinta yang tak terbatas.

Paus Fransiskus juga adalah sosok yang berani bersuara mengenai isu-isu global yang genting. Ia menjadi salah satu suara religius paling vokal dalam menyerukan keadilan sosial, kepedulian terhadap lingkungan, dan pentingnya dialog antaragama. Dalam ensikliknya yang terkenal, Laudato Si’, ia menegaskan bahwa bumi adalah “rumah bersama” yang harus dijaga, mengajak seluruh umat manusia untuk bertobat dari gaya hidup konsumtif yang merusak.

Di tengah meningkatnya polarisasi dunia, Paus Fransiskus tidak segan menyampaikan kritik kepada sistem global yang tidak adil. Ia berbicara tentang kemiskinan struktural, ketimpangan ekonomi, pengungsi, dan diskriminasi. Ia kerap mengingatkan bahwa iman tidak boleh tercerabut dari realitas sosial. “Kita tidak bisa menjadi Kristen yang hanya berdoa tanpa mengulurkan tangan kepada yang lapar dan tersingkir,” ucapnya dalam suatu homili.

Baca Juga :  Knowledge by Presence: Menjangkau tentang “Barakah” yang Sesungguhnya

Namun, yang membuat Paus Fransiskus begitu dicintai bukan semata-mata karena posisinya sebagai pemimpin spiritual umat Katolik, melainkan karena hatinya yang begitu terbuka. Ia mencoba meruntuhkan tembok-tembok yang memisahkan umat manusia — tembok antaragama dan antarideologi. Ia mengulurkan tangan persahabatan kepada pemimpin Muslim, Yahudi, Buddha, dan yang lainnya. Dalam pertemuan-pertemuan lintas iman, ia tidak datang sebagai otoritas yang menggurui, melainkan sebagai saudara yang ingin berdialog.

Kesederhanaannya juga tercermin dalam kata-katanya yang membumi. Ia tidak menyampaikan teologi yang rumit, melainkan ajakan hidup yang penuh kasih. Dalam banyak kesempatan, ia menekankan pentingnya menjadi “Gereja yang berjalan bersama umat,” bukan Gereja yang tinggi di menara gading. Ia menegur keras sikap klerikalisme dan hipokrisi dalam lembaga Gereja, bahkan menyatakan bahwa “lebih baik Gereja yang terluka karena keluar ke jalan, daripada Gereja yang sakit karena tertutup dan nyaman di dalam diri sendiri.”

Baca Juga :  Kiai ya Kiai

Kini, ketika dunia melepasnya, warisan Paus Fransiskus tetap hidup. Ia mungkin telah tiada, namun semangat dan teladannya akan terus membimbing banyak umat manusia. Ia adalah pemimpin yang tidak hanya duduk di takhta, tetapi berjalan di antara umatnya.

Selamat jalan, Paus Fransiskus. Terima kasih atas cahaya yang telah Engkau nyalakan — cahaya yang tidak padam, karena telah berpijar di hati jutaan orang. Dunia membutuhkan lebih banyak pemimpin sepertimu: rendah hati namun tegas, penuh kasih namun berani, bijaksana namun tetap manusiawi. Engkau telah menyelesaikan pertandinganmu dengan setia.

Kini, semoga damai abadi menjadi rumahmu, dan semoga surga menyambutmu dengan pelukan kasih yang kau sebarkan sepanjang hidupmu. Dalam benak kami, kau bukan hanya seorang Paus — kau adalah sahabat, ayah, dan wajah belas kasih itu sendiri.

Selamat jalan, cahaya kasih. Engkau tetap hidup dalam doa dan kenangan dunia.

Berita Terkait

Halalbihalal
Ciri-ciri Tua yang Sering Tidak Disadari Oleh Kita
Sejarah dan Perkembangan Hari Otonomi Daerah
Kesalehan Sosial: Sebuah Catatan Akhir Ramadan
Membangun Ruang Sosial Lansia di Era Digital
Membenahi Institusi Kepolisian Kita
Hikmah Ramadan: Sabar dan Takdir
Kepada Siapa Kepala Daerah Tunduk?

Berita Terkait

Senin, 28 April 2025 - 20:03 WIB

Halalbihalal

Jumat, 25 April 2025 - 10:23 WIB

Ciri-ciri Tua yang Sering Tidak Disadari Oleh Kita

Jumat, 25 April 2025 - 07:30 WIB

Sejarah dan Perkembangan Hari Otonomi Daerah

Selasa, 22 April 2025 - 16:51 WIB

Selamat Jalan Paus Fransiskus; Cahaya Kasih yang Tak Pernah Padam

Sabtu, 29 Maret 2025 - 20:12 WIB

Kesalehan Sosial: Sebuah Catatan Akhir Ramadan

Berita Terbaru

Presiden Prabowo ditemani Mentri Amran di sebuah lahan pertanian (foto: ist)

Nasional

Di Era Presiden Prabowo, Serapan Beras Tertinggi dalam 58 Tahun

Selasa, 13 Mei 2025 - 07:32 WIB

for NOLESA.COM

Opini

Pesantren di Era Digital: Sebuah Catatan Sederhana

Minggu, 11 Mei 2025 - 11:04 WIB

Bupati Sumenep, Dr. H. Achmad Fauzi Wongsojudo menerima SK PAW dari Ketua MUI Jatim, KH. Hasan Mutawakil Alallah di Kantor MUI Jatim, Sabtu, 10/5/2025 (foto: ist)

Daerah

Bupati Sumenep Terima SK PAW

Sabtu, 10 Mei 2025 - 19:46 WIB