Oleh FARISI ARIS*
Kerja legislasi DPR-Pemerintah tahun 2022 telah berakhir dan tutup buku. Secara keseluruhan, sepanjang 2022 tercatat ada 32 RUU yang berhasil disahkan menjadi undang-undang dari total 45 RUU yang disetujui dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 (lima di antaranya adalah RUU kumulatif terbuka).
Dibanding dengan pencapaian legislasi 2021 dan 2020, pencapaian legislasi 2022 mengalami peningkatan drastis. Di mana, sepanjang 2021 dan 2020, DPR-Pemerintah hanya berhasil mengesahkan 13 undang-undang (dari 33 RUU yang dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2021) dan 13 undang-undang (dari 37 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2020).
Namun, meski secara kuantitatif pencapaian legislasi 2022 cukup menggembirakan di banding dua tahun sebelumnya, tetapi secara kualitatif pencapaian besar itu tidak memiliki makna berarti. Sebab, dari segi proses dan hasil legislasi, beberapa undang-undang yang telah disahkan DPR-Pemerintah sepanjang 2022 memiliki banyak kecacatan hukum.
Bahkan beberapa di antaranya, selain kental dengan kepentingan ekonomi, juga kental dengan kepentingan politik. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya. Pasal demi pasalnya penuh dengan pasal-pasal yang menguntungkan status quo. Bahkan beberapa di antaranya juga ada pasal-pasal yang dinilai melemahkan pemberantasan korupsi.
Beberapa pasal di antaranya adalah Pasal 603 dan Pasal 606. Pasal 603 bahkan secara terang-terangan memberikan keringanan pidana bagi para pelaku korupsi, alih-alih diperberat. Dalam pasal 603 pidana badan bagi koruptor dipangkas menjadi 2 tahun dari yang awalnya 4 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Sementara pidana denda dipangkas menjadi 10 juta dari yang awalnya minimal 200 juta di UU Tipikor.
Hal yang sama juga terdapat dalam Pasal 606 terkait gratifikasi. Di Pasal 11 UU Tipikor, ancaman pidana gratifikasi bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara maksimal 5 tahun penjara. Namun, dalam Pasal 606 KHUP dipangkas dan diperingan menjadi 4 tahun penjara saja.
Selain pasal-pasal tersebut, masih banyak pasal-pasal kontroversial lainnya. Sebut saja Pasal 240 terkait penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara di muka umum, misalnya. Meski termasuk delik aduan, namun keberadaan pasal tersebut telah menciptakan ”teror mental” dan ”kecemasan” yang membuat suasana bernegara tidak demokratis.
Bahkan, dalam praktiknya keberadaan Pasal 240 juga dinilai akan mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Artinya, meski yang disebut tindak pidana dalam Pasal 240 adalah penghinaan, akan tetapi pasal tersebut sangat berpotensi disalahgunakan untuk membungkam kritik publik sebagaimana sering terjadi akhir-akhir ini.
Selain KUHP, ada pula UU 11/2020 tentang Ciptakerja. Secara garis waktu, UU Ciptakerja telah disahkan pada tahun 2020 lalu. Akan tetapi, pada akhir 2021 melalui Putusan Nomor 91/PPU-XVIII/2020 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa UU Ciptakerja ”inkonstitusional bersyarat” karena memiliki banyak kecacatan dan minim partisipasi publik.
Melalui Putusan itu MK meminta DPR-Pemerintah untuk memperbaiki UU Ciptakerja dalam jangka waktu dua tahun sejak putusan itu dibacakan. Jika tidak, UU Ciptakerja akan inkonstitusional secara permanen. Karena itu, UU ini kemudian dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2022 dalam daftar RUU kumulatif terbuka.
Namun, alih-alih diperbaiki sebagaimana diperintahkan MK, DPR-Pemerintah justru mengambil ”jalan lain” dengan melakukan revisi atas UU P3 guna melegitimasi dan membenarkan UU Ciptakerja. Putusan MK yang mengamanatkan DPR-Pemerintah memperbaiki UU Ciptakerja dianggap angin lalu dan diabaikan begitu saja.
Tidak berhenti di situ, kekacauan legislasi itu terus berlanjut. Setelah DPR melakukan revisi UU P3 guna melegitimasi UU Ciptakerja, Presiden baru-baru ini juga mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang UU Ciptakerja. Meski Perppu setara dengan undang-undang, namun langkah Presiden itu tidak tepat.
Perintah putusan MK jelas: ”memperbaiki” UU Ciptakerja, bukan merevisi UU P3 atau mengeluarkan Perppu. Karena itu, jika kita membaca Putusan MK secara cermat, sebenarnya yang membuat MK memutus UU Ciptakerja inkonstitusional bersyarat bukan hanya karena materinya, tetapi juga soal proses legislasinya yang minim partisipasi publik.
Dengan hal itu seharusnya Presiden memahami bahwa yang mesti diperbaiki bukan hanya materi UU Ciptakerja, tetapi juga cara pembentukannya. Memperbaiki materi dan cara pembentukan UU Ciptakerja tidak bisa hanya melalui Perppu. Sebab, untuk melakukan perbaikan dibutuhkan diskusi dua arah, tidak bisa hanya dari arah pemerintah saja.
Selain terjadi pada dua undang-undang di atas, hal yang sama juga terjadi pada beberapa undang-undang lainnya. Seperti empat undang-undang pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua dan termasuk UU IKN baru. Meski banyak pasal-pasal yang bermasalah dan ditolak publik, namun tetap disahkan menjadi undang-undang.
Karena itu, dengan demikian dapat dikatakan bahwa legislasi 2022 masih penuh dengan catatan merah. Karenanya, hal itu harus menjadi pelajaran bagi kerja legislasi 2023. Bahwa selain harus mengejar kuantitas atau target Prolegnas Prioritas, legislasi 2023 juga harus memperhatikan substansi, kualitas, dan tata cara pembentukan undang-undang.
Fungsi ideal sebuah undang-undang (hukum) adalah menjembatani, memfasilitasi dan mengelola kepentingan publik secara berkeadilan. Karena itu, dalam setiap proses legislasi, DPR-Pemerintah harus lebih demokratis dan mampu menangkap perasaan hukum masyarakat. Hukum yang ideal tidak bisa dibentuk dengan pola yang eksklusif dan egois!
*) Peneliti di Academy of Law and Politics (ALP)