25 Tahun Reformasi

Redaksi Nolesa

Rabu, 24 Mei 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh AHMAD FARISI*


Dua puluh lima tahun lalu tepat, pada 21 Mei, tatkala jalanan dipenuhi oleh harapan besar akan perubahan, Presiden Soeharto menyatakan diri mundur dari jabatannya.

Dalam banyak literatur, kejatuhan Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa itu dicatat sebagai sebuah kemenangan bagi rakyat sipil. Soeharto, yang merupakan otak utama dari rezim Orde Baru dengan ”politik otoritarian”-nya dianggap telah terkalahkan. Namun, akhir-akhir ini kita mulai ragu: Benarkah rakyat sipil benar-benar telah menang dalam serangkaian gerakan perubahan itu? Khususnya setelah 25 tahun reformasi 1998 bergulir, masihkah kita menganggap bahwa itu adalah kemenangan bagi rakyat sipil?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mari kita baca ulang Reformasi 1998 secara lebih cerdas dan cermat. Jika dilihat dari perspektif kemunduran Presiden Soeharto, apa yang terjadi pada 1998 memang tampak sebagai sebuah kemenangan bagi gerakan demokrasi yang dimotori rakyat sipil. Akan tetapi, jika kita melihat peristiwa itu dengan kacamata yang lebih luas, maka bisa dikatakan bahwa kejatuhan Presiden Soeharto itu sama sekali bukanlah kemenangan bagi rakyat sipil, melainkan baru merupakan babak awal dari perjuangan panjang yang lebih pelik dan rumit.

Sebab, jatuhnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan kala itu bukanlah akhir dari segalanya. Karena itu, jika dengan keberhasilan menjatuhkan Presiden Soeharto perjuangan reformasi itu telah dianggap selesai, bagi penulis justru sebaliknya: reformasi 1998 adalah perjuangan panjang yang jauh dari kata selesai. Sebab, hal yang seharusnya diakhiri kala itu sebenarnya bukan hanya Presiden  Soeharto. Tetapi Orde Baru secara keseluruhan.

Baca Juga :  Saling Mengingatkan, Berikut Penyebab Batalnya Pahala Puasa Ramadan

Orde Baru bukan hanya Soeharto. Tetapi juga meliputi parlemen dan serta BJ. Habibie yang kemudian kita beri kesempatan untuk berkuasa, menggantikan Soeharto. Dengan tetap membiarkan BJ. Habibie dan Parlemen era Soeharto tetap eksis berkuasa, itu artinya perjuangan reformasi 1998 baru berhasil menumbangkan Soeharto, pucuk dari imperium besar Orde Baru. Sementara imperium Orde Baru, yang meliputi ranting, batang, dan serta akar tetap kita biarkan berdiri tegak di antara proses-proses politik yang terjadi.

Di masa kepemimpinan Presiden  BJ. Habibie beserta parlemen sisa Orde Baru harus kita akui memang ada banyak perubahan politik yang dihasilkan. Akan tetapi, bagi penulis, adanya banyak perubahan terjadi di masa itu tidak serta merta bisa dijadikan bukti untuk menjustifikasi bahwa semuanya telah berakhir. Sebab, dengan hanya menjatuhkan Soeharto, tetapi membiarkan kaki-tangan Orde Baru bercokol di eksekutif dan legislatif itu sama saja dengan membiarkan Orde Baru tetap eksis dalam detak-nadi politik kita dan serta ikut mencampuri proses reformasi yang kita bangun sebagai antitesis daripada Orde Baru.

Di tahun-tahun awal, kegagalan (kelengahan/keteledoran lebih tepatnya) kita dalam melenyapkan imperium Orde Baru bersamaan dengan kejatuhan Soeharto mungkin tidak terlalu tampak dan terasa. Atau, memang kita yang tidak menyadarinya. Namun kini, setelah memasuki dua puluh lima tahun reformasi, efek dari kegagalan kita meruntuhkan imperium Orde Baru itu sudah mulai kita rasakan. Kesewenang-wenangan, pembungkaman, penangkapan, perselisihan dan pemidanaan terhadap lawan politik dan masyarakat sipil itu sendiri, yang merupakan tradisi politik khas Orde Baru, kembali muncul ke permukaan.

Baca Juga :  Semua Agama Saling Menyayangi

Hukum dijadikan instrumen politik untuk menghajar oposisi, lawan politik, dan pihak-pihak yang dianggap bersebrangan dengan kekuasaan. Walhasil, demokratisasi itu sendiri hanya hanya tinggal nama. Tidak pernah mewujud nyata dalam kehidupan politik kita.

Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk mempertahankan status quo: mulai dari gerakan penundaan pemilu dan hingga yang terbaru, memenangkan pemilu dengan cara mendominasi dan mengendalikan sistem dan perangkat negara, juga sudah mulai bisa kita saksikan akhir-akhir ini. Persis seperti yang kita saksikan di zaman Orde Baru.

Kekuasaan besar negara yang dalam genggaman, alih-alih diarahkan untuk mendorong terjadinya keadilan politik elektoral, yang terjadi justru sebaliknya. Kekuasaan negara didominasi dan dikendalikan untuk mempertahankan keberlangsungan dinasti politik.

Di sisi yang lain, korupsi politik, korupsi yudisial dan yang lainnya juga masih terus berkembang subur. Laporan terbaru Transparency Internasional menemukan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia mengalami penurunan drastis: dari 38 (2021) anjlok ke angka 34. Laporan TII ini adalah fakta, bahwa selama lebih dari dua dekade reformasi, pencegahan dan pemberantasan korupsi kita masih buruk: jalan di tempat atau bahkan mundur.

Baca Juga :  Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi

Karena itu, sekali lagi, reformasi 1998 bukankah kemenangan bagi siapa pun. Ia baru merupakan langkah awal menuju perubahan fundamental yang jauh dari kata selesai. Sederhananya, reformasi 1998 mirip proyek bangunan yang tak selesai. Yang menyimpan banyak kekurangan, yang setiap bagian darinya masih perlu proses penyempurnaan. Menganggap bahwa perjuangan reformasi 1998 telah sampai di puncak dan karena itu tak ada lagi yang perlu kita lakukan, itu sama saja dengan membiarkan imperium Orde Baru membangun kembali tahta dan kerajaannya di dalam kehidupan politik kita hari ini.

Pada 1998 dan setelahnya kita gagal melenyapkan Orde Baru dari gelanggang politik. Sehingga kita pun gagal menghasilkan sistem politik yang mengendalikan praktik politik yang inkonstitusional. Sehingga, seperti di zaman Orde Baru, ’politiklah’ yang sampai kini mengendalikan sistem dari panggung belakang. Dan, menurut penulis, inilah agenda reformasi kita selanjutnya: reformasi sistem. Kejayaan Soeharto memang telah tinggal cerita. Namun, politik ala Orde Baru, masih membelenggu kita dalam bentuk sistem politik yang korup.


*) Pengamat Politik

Berita Terkait

Membangun Ruang Sosial Lansia di Era Digital
Membenahi Institusi Kepolisian Kita
Hikmah Ramadan: Sabar dan Takdir
Kepada Siapa Kepala Daerah Tunduk?
Hidup pada Bulan Ramadan Tetapi Tidak Terampuni Dosanya?
Menanti Kenegarawanan Presiden
Isra Mikraj Sebuah Perjalanan Spiritual yang Hanya Bisa Dipercaya oleh Orang yang Beriman
Akhir dari Presidensial Threshold

Berita Terkait

Selasa, 11 Maret 2025 - 05:00 WIB

Membangun Ruang Sosial Lansia di Era Digital

Sabtu, 8 Maret 2025 - 19:28 WIB

Membenahi Institusi Kepolisian Kita

Senin, 3 Maret 2025 - 04:13 WIB

Hikmah Ramadan: Sabar dan Takdir

Sabtu, 1 Maret 2025 - 05:08 WIB

Kepada Siapa Kepala Daerah Tunduk?

Jumat, 28 Februari 2025 - 15:07 WIB

Hidup pada Bulan Ramadan Tetapi Tidak Terampuni Dosanya?

Berita Terbaru

Puskesmas Manding Sumenep maksimalkan program cek kesehatan gratis (Foto: ist/nolesa.com)

Daerah

Puskesmas Manding Maksimalkan Program Cek Kesehatan Gratis

Sabtu, 22 Mar 2025 - 11:07 WIB

Pojok SPP Puskesmas Ganding (Foto: ist/nolesa.com)

Daerah

Pojok SPP, Inovasi Puskesmas Ganding Turunkan Angka PTM

Jumat, 21 Mar 2025 - 10:51 WIB