Oleh : Mr. Jo
Mimbar, NOLESA.com – Pelajaran apa yang bisa kita petik dari tubuh ringkih Jenderal Soedirman?
Paru-parunya tinggal satu, melangkah dengan tegap ia tak mampu, tetapi acungan telunjuknya di-ikuti dengan patuh.
Tubuhnya lemah, tetapi kepemimpinannya sangat kuat. Dia tak mampu melakukan orasi yang memukau, tetapi integritas pribadinya menjadi kekuatan yang menggentarkan lawan dan menggetarkan kawan.
Jendral Soedirman adalah sosok pemimpin yang sangat berpengaruh. Suaranya lirih, tetapi dia mampu menggerakkan ribuan manusia. Kata-katanya berpengaruh, ucapannya didengar dan nasehatnya dihormati meski batuknya sering menggigil.
Kematiannya juga mengajarkan kepada kita bahwa tubuh ringkih itu lebih besar pengaruhnya daripada anak-anak muda yang tegap jalannya.
Kisah panglima besar Jenderal Soedirman ini mengajarkan kepada kita betapa keliru dan sesatnya pribahasa yang mengatakan; Men sana in corpore sano – Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat.
Padahal justru sebaliknya, jiwa kitalah yang lebih menentukan. Jika jiwa kita sakit, maka tubuh yang kuat sekali pun tak dapat memberikan manfaat bagi hidup kita.
Pun demikian, tubuh yang kuat tidak dengan sendirinya menyebabkan jiwa kita sehat dan kuat. Bukankah banyak penjahat dan penipu yang badannya tegap, suaranya mantap dan bicaranya memikat? tubuh mereka sehat, tetapi jiwa mereka ringkih dan sakit.
Di balik ringkihnya tubuh Jenderal Soedirman, Allah Ta’ala memberikan kekuatan yang sangat besar dalam menggerakkan manusia.
Dia bukan seorang orator. Bukan. Ia juga bukan murid Zawawi Imron atau WS Rendra yang mahir dalam olah vokal.
Tetapi kata-katanya berpengaruh karena kekuatan jiwa yang menuturkannya. Penyampaiannya lugas, gaya bicaranya datar, isinya padat, dan tidak menggunakan trik-trik komunikasi publik yang memikat. Allah Ta’ala karuniakan kepadanya kekuatan bicara yang berbobot dan menggetarkan.
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kisah Jenderal Soedirman?
Sungguh, kecerdasan saja tidak cukup, meskipun ia bernama kejeniusan. Kesempurnaan fisik saja tidak cukup, meskipun ia memiliki kemampuan melihat yang ketajamannya melebihi orang lain. Keterampilan saja tidak cukup, meskipun ia melakukan pekerjaan yang sangat rumit dalam waktu sekejap secara sempurna.
Betapa banyak orang yang memiliki bakat berlimpah dan kemampuan yang menakjubkan, tetapi mereka gagal mengelola dirinya sehingga memberi manfaat terbaik bagi dirinya, orang lain, dan terutama bagi agama ini.
Sebaliknya, kita telah belajar dari sejarah masa lalu hingga hari ini, betapa banyak orang yang memiliki setumpuk kekurangan dan bahkan hampir-hampir tak ada kelebihannya sama sekali, tetapi mereka mampu mengukir kebaikan di atas lembaran sejarah hidupnya.
Mengapa? Karena jelasnya tujuan hidupnya, kuatnya tekad, dan besarnya daya tahan untuk menghadapi berbagai kesulitan.
Mereka berhasil melakukan hal-hal besar bukan karena memiliki kemampuan yang sangat besar. Bukan. Tetapi karena besarnya penghargaan mereka terhadap hidup sehingga menjaganya dengan hati-hati agar dapat mempertanggung jawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kelak setelah Hari Kiamat tiba.
Mereka menjaga nilai hidupnya dengan melakukan hal-hal yang memberi manfaat dan bersungguh-sungguh dalam menjalaninya.
Ada kaidah sufi yang menegaskan ; Seseorang belum dianggap memiliki pemahaman yang sempurna hingga ia melihat musibah sebagai nikmat.
Wallahu a’lam!
Salam Merdeka!!!