Oleh Hambali Rasidi*
Para pendiri organisasi NU tergolong waliyullah (kekasih Allah). Beliau ikhlas mendirikan organisasi NU semata ingin menegakkan, merawat, dan menyebarkan agama Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah di bumi nusantara ini.
Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari bersama ulama lainnya yang ikut mendirikan organisasi NU pernah menjadi murid Syaikhona Kholil Bangkalan. Para ulama bersepakat dan mengakui bahwa Syaikhona Kholil Bangkalan termasuk seorang waliyullah (arif billah).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak sedikit para murid Syaikhona Kholil Bangkalan juga menjadi seorang waliyullah. Jejak-jejak kewalian itu terpancar dari perilaku hidup dan karomah yang Allah tampakkan di tengah masyarakat.
Yang tampak dalam refleksi satu abad NU adalah merekomendasi fiqh peradaban. Yaitu, NU menawarkan solusi dari berbagai persoalan kontemporer dari sudut pandang syariat Islam. Mulai dari format negara-bangsa, relasi dengan non-Muslim, hingga tata politik global.
Dalam sejumlah kitab tasawuf dijelaskan, para kekasih Allah (waliyullah) itu banyak yang menyembunyikan diri. Meski bergumul dengan masyarakat dalam kesehariannya. Namun keberadaan sebagai kekasih Allah tidak tampak di tengah masyarakat. Karena beliau beribadah semata karena Allah. Tidak perduli dengan penilaian manusia. Bagi beliau, cukup Allah yang mengetahui ibadahnya. Sehingga keberadaan si waliyullah itu sulit diketahui oleh banyak orang.
Akan tetapi, apabila Allah menghendaki keberadaan beliau. Allah tampakkan karomahnya kepada masyarakat. Sehingga masyarakat mengetahui keberadaan sosok si waliyullah. Di balik kehendak Allah itu, bisa jadi menuntun seorang itu agar belajar ilmu kewaliannya. Sehingga juga bisa menjadi kekasih Allah. Atau setidaknya, seseorang itu masuk di dalam golongan waliyullah.
Pada momentum satu abad NU itu, saya tak menemukan bahasan atau apa lah namanya yang bisa mewarisi ilmu kewalian para pendiri NU. Yang tampak dalam refleksi satu abad NU adalah merekomendasi fiqh peradaban. Yaitu, NU menawarkan solusi dari berbagai persoalan kontemporer dari sudut pandang syariat Islam. Mulai dari format negara-bangsa, relasi dengan non-Muslim, hingga tata politik global.
Ketum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf mengatakan, masyarakat dunia masih diliputi sektariaisme yang syarat konflik, termasuk di internal umat Islam sendiri. Sebagai solusi, Kiai Yahya menawarkan wacana syariat Islam harus bermuara dari Piagam PBB. “Karena itulah, hal pertama yang harus disepakati adalah soal kejelasan kedudukan Piagam PBB di mata syariat,” jelas Kiai Yahya.
Format fiqh peradaban yang ditawarkan NU memasuki usia abad yang kedua juga bisa meneruskan nilai-nilai maslahah yang pernah dilakukan para ulama NU dahulu.
Lebih dari itu, sebagai generasi penerus NU, saya hanya rindu kepada sosok para waliyullah NU. Sebagaimana para ulama-ulama NU dahulu yang disegani dan dihormati oleh masyarakat karena ilmunya.
Para ulama NU dahulu, menjadi kiblat masyarakat karena sifat-sifat waliyullah yang melekat pada pribadinya dalam kehidupan sehari-hari. Beliau terlihat kasih sayang kepada semua mahluk Allah. Beliau suka memaafkan orang lain dan membantu orang lain secara ikhlas. Keberadaan ulama NU dahulu benar-benar menjadi solusi di tengah problem masyarakat.
Tantangan hidup masyarakat saat ini lebih kompleks dibanding era para ulama NU dahulu. Problematika masyarakat saat ini dijejali aneka persoalan akhlak dan akidah Islam. Tak sedikit ajaran yang menyusup di tengah umat Islam keluar dari ajaran Rasulullah SAW. Dan ini sebenarnya tugas utama para ulama NU untuk menyelamatkan generasi Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah.
Amaliah jamiyah NU tergolong lentur karena meletakkan dasar-dasar tasawuf sesuai dengan khittah ahlussunnah waljamaah.
Seorang ulama bersepakat, akidah umat Islam akan kokoh apabila dalam kehidupannya berpegang teguh pada nilai-nilai tauhid yang terejawantah dalam semua lini kehidupan.
Memang tak mudah mewujudkan nilai-nilai tauhid dalam semua lini kehidupan saat ini. Menyatir ungkapan anak muda: kata-kata itu mudah diungkapkan, tapi sulit dipraktekkan.
Setidaknya seorang ulama memberikan tips bagaimana nilai-nilai tauhid kokoh dengan ketakwaan yang bersemayam dalam qalbu. Sebab, qalbu itu yang mentransfusi perilaku kehidupan seseorang. Sebagaimana hadits Nabi SAW: Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya aka rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu.” (HR Bukhari dan Muslim)
Untuk menancapkan ketakwaan dalam qalbu. Para ulama setelah sahabat Nabi (tabiin) membuat perguruan tarekat, sebuah metode praktis mendekat kepada Allah. Dalam tarekat itu, seorang mursyid arif billah mengajari si murid cara berdzikir yang haq. Dengan dzikir yang haq itu bisa menuntun si murid dekat dengan Allah. Hingga pada maqam tertentu si murid mencapai makrifatullah karena ajaran si mursyid arif billah. Hati si murid yang semula keras menjadi lunak. Hati yang semula ternoda kebencian, kesombongan dan sifat tercela lainnya berubah jadi baik. Hingga hatinya kosong kecuali dzikrullah.
NU telah lama mengakomodir kelompok tarekat hingga melahirkan Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (Jatman). Tujuan Jatman dibentuk, untuk memberikan sebuah rambu-rambu kepada masyarakat tentang tarekat yang muktabarah. Yaitu, perguruan tarekat yang memiliki sanad keilmuan tersambung hingga ke Rasulullah SAW.
Amaliah jamiyah NU tergolong lentur karena meletakkan dasar-dasar tasawuf sesuai dengan khittah ahlussunnah waljamaah. Menselaraskan tasawuf Imam Al-Ghazali dengan tauhid Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Dalam hukum fikih merujuk salah satu dari empat mazhab sunni.
Akhir kata, semoga-pada usia abad kedua NU-banyak lahir para ulama NU yang tergolong arif billah. Jika selama ini Allah menyembunyikan sang kekasih-Nya. Segera ditampakkan kepada publik agar diketahui dan bisa menjadi penuntun umat untuk lebih dekat dengan Tuhannya, Penguasa Alam Raya, Allah Swt. (bindara sumenep)
*) Hambali Rasidi, jurnalis senior