Kritik atas ”Menagisasi” Rektor PTKIN

Redaksi Nolesa

Selasa, 22 November 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Farisi Aris*


Kritik Saiful Mujani atas sistem pemilihan rektor yang feodalistik pada PTKIN membuka menarik untuk didiskusikan. Sejak lama, sistem pemilihan rektor di PTKIN di Indonesia memang sangat problematik. Akan tetapi, jarang sekali ada pihak terkait yang angkat suara perihal sistem pemilihan rektor yang tidak demokratis dan transparan itu.

Bahkan, warga kampus (dosen/mahasiswa) yang lantang menyuarakan demokratisasi dan transparansi juga diam seribu bahasa, tak berkutik. Karena itu, Saiful Mujani, yang berhasil mengangkat isu sistem pemilihan rektor yang menempatkan Menag secara sentral, sehingga isu itu menjadi perhatian publik, laik kita sebut sebagai pembuka ”kotak pandora”.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dominan dan offside

Mengapa sistem pemilihan rektor pada PTKIN di Indonesia kita sebut feodalistik dan layak untuk dikritisi? Pertama-tama, karena sistem pemilihan yang ada menempatkan pemerintah (dalam hal ini Menag) secara dominan. Bahkan, bisa dikatakan juga offside sebab dalam hal pemilihan rektor, Menag memposisikan diri sebagai ujung tombak.

Pada lingkup PTKIN, menurut PMA/68/2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor, pemilihan rektor dilakukan dengan empat tahap: Pertama, tahap penjaringan bakal calon. Penjaringan bakal calon ini dilakukan oleh Panitia yang dibentuk oleh rektor aktif. Tugas dari Panitia ini adalah menjaring calon rektor yang memenuhi syarat.

Kedua, tahap pertimbangan. Tahap pertimbangan ini dilakukan oleh Senat dalam sebuah rapat tertutup untuk menindaklanjuti hasil penjaringan bakal calon rektor yang dilakukan oleh Panitia. Forum Senat ini berwenang memberi pertimbangan kualitatif berupa moralitas, kepemimpinan, manajerial, kompetensi akademik, dan jaringan kerja sama.

Ketiga, tahap seleksi. Tahap ketiga ini dilakukan oleh Komisi Seleksi yang dibentuk oleh Menag. Komisi Seleksi berjumlah ganjil. Paling sedikit 7 orang. Komisi Seleksi itu bertugas melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon rektor yang sebelumnya telah melalui penjaringan Panitia dan pemberian pertimbangan Senat.

Baca Juga :  Tuhan, Alam, dan Manusia: Potret Pendidikan Anak Kampung

Kemudian, dari proses itu Komisi Seleksi ini menetapkan para calon rektor, paling banyak tiga calon orang rektor. Kemudian, ketetapan hasil uji kepatutan dan kelayakan calon rektor yang dilakukan Komisi Seleksi itu diserahkan kepada Menag.

Keempat, tahap penetapan. Tahap ini dilakukan oleh Menag. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 PMA/68/2015, Menag menetapkan salah satu calon sebagai rektor dari beberapa calon yang telah melalui tahap seleksi Komisi Seleksi itu. Hasil pilihan itulah yang akan menjadi rektor kampus, yang dipilih secara tertutup oleh Menag.

Sistem pemilihan yang menjadikan Menag sebagai ”juri penentu” itu jelas aneh. Sebab, pun Menag itu adalah lembaga yang menaungi kampus, akan tetapi Menag bukanlah bagian “inheren” dari struktural kampus. Dengan kata lain, Menag tak lebih dari sekadar patner pengelolaan dan pengembangan kampus dari unsur pemerintah.

Jadi, bisa dikatakan, Menag itu adalah pihak eksternal kampus yang tidak bisa banyak ikut campur dalam urusan internal kampus kecuali dalam hal pengembangan dan pengelolaan kampus. Lalu, mengapa dalam hal pemilihan rektor itu Menag menjadi lembaga “super body” yang memegang otoritas yang menentukan keterpilihan rektor?

Padahal, sekali lagi, jelas-jelas Menag itu bukanlah bagian “inheren” kampus. Dalam sistem pemilihan kepala daerah saja (gubernur, bupati dan wali kota), pemerintah pusat tak sedikit pun ikut campur dalam hal pemilihan calon kepala daerah. Pemerintah pusat—melalui Komisi Pemilihan Umum—hanya sekadar menjadi fasilitator pemilihan.

Baca Juga :  Mendengarkan Suara Keprihatinan Kampus

Padahal, secara konstitusional sangat jelas bahwa kekuasaan otonom yang dimiliki kepala daerah adalah bagian “inheren” dari kekuasaan pemerintahan pusat.

Lalu, mengapa pemerintah pusat tidak memposisikan diri sebagai penentu keterpilihan kepala daerah? Mengapa pemerintahan pusat hanya sekadar menjadi fasilitator pelaksanaan pemilihan?

Jawabannya adalah karena prinsip-prinsip demokrasi tidak menghendaki pemerintah pusat ikut campur atas keterpilihan kepala daerah. Dalam negara demokrasi, suara rakyat (mayoritas) adalah (representasi) suara Tuhan. Semuanya dikembalikan kepada pilihan rakyat. Seharusnya, pemilihan rektor dalam PTKIN juga dilakukan dengan semangat itu.

Dalam PMA/68/2015 pihak kampus memang telah dilibatkan sejak awal, berupa melakukan penjaringan bakal calon yang dilakukan Panitia bentukan rektor dan pemberian pertimbangan yang dilakukan oleh pihak Senat. Akan tetapi, meski demikian, tetap saja sistem pemilihan rektor ala Menag ini tidaklah transparan dan demokratis.

Sebab, yang menjadi problem pokok dalam hal ini bukan pada dua tahap itu, melainkan pada hasil akhir yang diputuskan oleh Menag. Sangat “mungkin”, keputusan akhir daripada Menag itu ialah keputusan yang subjektif. Bahkan, bisa jadi, rektor terpilih adalah ”rektor hasil endorse” (by desain) dari Menag ataupun dari pihak luar Menag.

Inilah “menagisasi”, di mana rektor yang dipilih tak lain adalah “orang yang memiliki kedekatan dan hubungan khusus dengan Menag.” Alih-alih dipilih berdasarkan standar-standar khusus yang rasionalistik. Hal ini mirip dengan “gerakan golkarisasi” di masa kejayaannya Orde Baru, di mana semua kepala daerah diisi oleh simpatisan Golkar.

Selain itu, tak diragukan lagi Menag itu memiliki kedekatan khusus dengan berbagai partai (khususnya dengan partai penguasa). Jadi, dengan hal ini, adanya hipotesis “menagisasi”, bahwa bisa jadi rektor terpilih dari setiap PTKIN adalah rektor hasil endorse dari pihak-pihak berkepentingan rasanya sangat sulit untuk ditepis dan dipungkiri.

Baca Juga :  Demi Prabowo: Mengapa Budiman Rela Dipecat PDI-P?

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak PTKIN yang “obral gelar” Honoris Causa (HC). Penerimanya adalah para politisi yang, jangankan punya sumbangsih akademik yang “luar biasa” yang laik dihargai, prestasi politik saja minim. Mengapa hal itu bisa terjadi? Inilah akibat dari sistem pemilihan rektor yang feodalistik yang tidak memerdekakan.

Dengan sistem pemilihan yang menjadikan Menag sebagai ujung tombak, hal itu telah membuat banyak PTKIN kehilangan kemerdekaan dan jati dirinya. Pada akhirnya, keberadaannya, yang sering kita bangga-banggakan sebagai pemegang otoritas “kebenaran rasionalistik” tak lebih dari sekadar kepanjangan tangan kekuasaan politik.

Dalam hemat penulis, diakui atau tidak, sistem pemilihan rektor yang semacam itu telah menjadikan kampus sebagai legitimasi politik elektoral semata. Karena itu, wajarlah bila kini, di tengah krisis politik yang semakin serba dengan ketidakpastian, kampus bak “macan ompong”. Kampus absen dari segala derita dan keluh kesah rakyat.

Karena itu, sistem pemilihan rektor pada PTKIN yang feodalistik itu penting untuk dilakukan reformasi total. Untuk keberlangsungan otonomi kampus, penulis mengusulkan penting kiranya bagi Menag untuk tidak terlalu ikut campur dalam hal pemilihan rektor. Artinya, pemilihan rektor pada PTKIN cukup dilakukan oleh warga kampus saja.

Biarkan kampus melakukan suksesi kepemimpinannya secara mandiri tanpa ada intervensi dari pihak pemerintah. Sebagai lembaga yang menaunginya, penulis kira Menag cukup ikut terlibat dalam pengaturan mekanisme pemilihannya saja, tidak sampai menjadi pemegang otoritas yang menentukan keterpilihan seorang rektor. Itu offside.


*) Wartawan nolesa.com

Berita Terkait

Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?
Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi
Holupis Kuntul Baris: Merayakan Hari Kemerdekaan dengan Semangat Gotong-Royong
Roebling, Tak Sempurna; Namun Mampu Mewujudkan Cita-citanya
Menyikapi Ancaman Terorisme
Calon Tunggal, Kegagalan, dan Pragmatisme Partai Politik
Kiai Fikri Tidak Gagal dan Juga Tidak Pernah Membelot!
Menyoal Fenomena Calon Tunggal dalam Pilkada

Berita Terkait

Sabtu, 24 Agustus 2024 - 10:46 WIB

Antara Putusan MK dan UU Pilkada, Ke Mana KPU Harus Merujuk?

Jumat, 23 Agustus 2024 - 08:30 WIB

Sakaratul Maut; Andaikata Lebih Jauh Lagi

Sabtu, 17 Agustus 2024 - 13:55 WIB

Holupis Kuntul Baris: Merayakan Hari Kemerdekaan dengan Semangat Gotong-Royong

Jumat, 16 Agustus 2024 - 10:00 WIB

Roebling, Tak Sempurna; Namun Mampu Mewujudkan Cita-citanya

Minggu, 11 Agustus 2024 - 05:45 WIB

Menyikapi Ancaman Terorisme

Berita Terbaru