Oleh AHMAD FARISI*
Dalam beberapa waktu terakhir, kebiasaan melakukan klarifikasi telah semacam menjadi budaya baru di kalangan pejabat pemerintahan. Kesalahan-kesalahan baru yang menimbulkan luka sosial di hati masyarakat terus dilakukan oleh para pejabat dan lalu diklarifikasi kemudian. Seolah-olah semua itu adalah hal yang normal dan wajar belaka.
Ironisnya, hal semacam itu tidak dilakukan oleh pejabat kelas teri, tetapi oleh para pejabat tinggi negara yang ucapan dan hingga langkah kakinya diperhatikan masyarakat. Mulai dari kepala daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, menteri, dan bahkan terkadang juga oleh kepala negara dan kepala pemerintahan sendiri, sosok yang harusnya menjadi contoh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terbaru, kesalahan tidak perlu itu dilakukan oleh Menteri Agama Nazaruddin Umar yang menyebut guru untuk menjadi pedagang saja jika ingin memperoleh penghasilan besar. Seketika, ucapan sang menteri itu menjadi polemik di media sosial. Dan seketika pula, tak menunggu lama, sang menteri tampil di media melakukan klarifikasi, meminta maaf.
Dengan cara melakukan klarifikasi itu, sang menteri berharap kontroversi yang terjadi di masyarakat bisa segera diakhiri dan luka sosial yang timbul bisa segera terobati.
Di satu sisi, kita mengapresiasi keputusan para pejabat yang cukup tanggap melakukan klarifikasi setelah kata-katanya dianggap melukai hati masyarakat. Dengan begitu, pejabat terkait bisa dikatakan masih memiliki kesadaran untuk mempertanggungjawabkan kata yang telah diucapkannya. Bukannya justru sembunyi membiarkan ucapannya menjadi bola liar.
Namun, pertanyaannya kemudian adalah, dapatkah klarifikasi menjadi obat penyembuh atas luka sosial yang telah kadung tercipta? Atau sebaliknya, hanya sebatas mampu menjadi pencegah sementara atas luka sosial agar tidak semakin membesar? Sementara luka sosial yang telah tercipta tetap tidak terobati, terus membekas dalam kehidupan masyarakat?
Tidak Menyembuhkan
Di satu sisi, klarifikasi memang cukup efektif untuk mengendalikan luka sosial agar tidak semakin membesar. Namun demikian, tindakan klarifikasi itu sebenarnya sama sekali tidak efektif untuk menyembuhkan luka sosial yang timbul akibat kecerobohan pejabat.
Dengan kata lain, pun sejurus kemudian kata ‘maaf’ telah diajukan dan diucapkan secara sungguh-sungguh oleh pejabat terkait kepada publik, perkataan pejabat yang telah menimbulkan luka sosial akan tetap tercatat rapi dalam memori kolektif masyarakat.
Bagi masyarakat, memaafkan tentu saja, tapi melupakan adalah hal lain. Ibaratnya, luka sosial yang telah kadung tercipta, bagaimana pun, selamanya akan tetap membekas dalam benak masyarakat. Dengan sendirinya ia akan dicatat, diabadikan dalam ingatan. Lebih-lebih di era media sosial, di mana setiap kesalahan pejabat dapat dengan mudah diarsipkan.
Memang, luka-luka sosial yang tercipta itu tidak akan secara langsung menimbulkan efek politik yang berarti. Akan tetapi, dalam jangka panjang, jika luka-luka kecil itu terus diciptakan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik yang tidak diinginkan. Luka-luka kecil yang secara terus menerus diciptakan bisa saja terakumulasi menjadi kemarahan.
Dalam banyak kasus, atau seperti kerusuhan yang terjadi belakangan, pada awalnya semua itu adalah luka-luka kecil yang tidak cukup berarti. Namun, karena luka-luka kecil itu terus dilakukan tanpa perhatian serius, maka pecahlah kemarahan masyarakat. Luka-luka kecil yang ada terakumulasi, membentuk persepsi, dan mendorong masyarakat untuk menuntut pertanggungjawaban para pejabat yang tak mau belajar dari kesalahan-kesalahan yang ada.
Karena itu, meskipun tindakan klarifikasi membawa pesan yang cukup baik, pengakuan atas kesalahan diri pejabat, namun sebenarnya ia tidak pernah menjadi penyembuh atas luka sosial yang telah tercipta. Gejolak bisa saja teredam, tetapi luka sosialnya akan tetap abadi.
Lebih Baik Mencegah
Oleh sebab itu, dalam menjalankan tugasnya, para pejabat negara sudah saatnya untuk lebih hati-hati dalam berkomunikasi: mengedepankan fakta, data, dan juga empati. Adanya kesempatan untuk melakukan klarifikasi tak boleh membuat para pejabat merasa bebas bicara apa saja tanpa memperhatikan fakta dan kondisi sosial yang sedang dialami masyarakat.
Dari kasus-kasus yang telah terjadi, para pejabat negara harus mulai belajar untuk tidak ”asal bicara” tanpa data dan fakta yang solid. Sebagai pelayanan masyarakat, para pejabat pemerintah senantiasa harus memastikan bahwa ucapan, kalimat dan diksi yang dilontarkan dan bahkan bahasa tubuh ditunjukkannya tidak melukai hati dan perasaan masyarakat.
Prinsipnya, mencegah diri dari melakukan kesalahan dalam berkomunikasi yang dapat melukai hati masyarakat adalah jauh lebih baik daripada harus melakukan klarifikasi.
*) Pengamat Politik