Oleh Farisi Aris*)
Belakangan ini, protes publik terhadap sejumlah kebijakan publik terus terjadi secara massif.
Beberapa kebijakan publik yang menuai protes publik itu, di antaranya, revisi UU KPK (2019), disahkannya UU Cipta Kerja (2020), dan yang terkini, naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi (2022).
Tiga aksi protes massal tersebut adalah puncak gunung es yang menyedot perhatian nasional dan/atau bahkan internasional dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara aksi-aksi protes yang luput dari perhatian publik dan media, yang terjadi di tingkat lokal atau daerah, tak terhitung jumlahnya.
Di negara demokrasi, adanya protes publik, atau ”aksi massa” – meminjam bahasa Tan Malaka – atau ”tindakan revolusi” – meminjam bahasa Karl Marx – adalah sesuatu yang diperbolehkan. Ia menjadi bagian dari hak kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Menguar makna
Karena itu, adanya protes publik itu adalah hal lumrah. Akan tetapi, adanya protes itu jangan diabaikan begitu saja. Sebab, gerakan protes bukanlah gerakan hampa. Ia tidak lahir dari ruang kosong tanpa makna. Sebagai sebuah gerakan sosial, sebuah protes publik lahir dari situasi yang penuh penindasan.
Protes publik yang terjadi di negara-negara kawasan Timur Tengah – yang kini dikenal dengan Arab Spring “Kebangkitan Arab” – pada 2010 – 2011 lalu adalah contoh yang paling gamblang, bahwa protes publik itu lahir dari adanya ketidakadilan dan penindasan negara terhadap rakyatnya sendiri.
Secara umum, protes itu pecah karena negara berikut kebijakan-kebijakannya dianggap gagal mengelola kehidupan negara: rakyat hidup dalam bayang-bayang kemiskinan dan penderitaan tak bertepi. Sementara negara absen dari segala derita yang dihadapi rakyat secara umum.
Protes itu mula-mula dilakukan oleh Mohammad Bouazizi, seorang pedagang kaki lima di Tunisia. Ia melakukan aksi bunuh diri dengan cara membakar diri. Boazizi merasa putus asa menjalani kehidupannya yang serba sulit. Tak ada harapan politik yang bisa dilihat oleh Boazizi.
Pasalnya, bagi wong cilik seperti Bouazizi, negara berikut kebijakan-kebijakannya sama sekali tidak lagi berpihak kepada pedagang kaki lima seperti dirinya. Sehingga dari situ, bagi Bouazizi, kematian adalah jalan satu-satunya bagi dirinya untuk mengakhiri kesulitan dan penderitaan yang dialaminya.
Tindakan Bouazizi itu memantik protes massal. Kekecewaan massal melanda negeri Tunisia. Publik merasa apa yang dialami Boazizi juga dialami mereka secara umum. Sehingga akhirnya, protes massal pun menjadi tak terhindarkan. Sebuah gerakan revolusioner mengguncang Tunisia.
Bahkan, protes massal yang terjadi di Tunisia itu merembet ke beberapa negeri di kawasan Timur Tengah. Apa yang dilakukan Bouazizi di Tunisia menginspirasi sekaligus menjadi inspirasi atas terjadinya protes massal di Mesir, Aljazair, Yaman, Bahrain, Mesir dan beberapa negeri lainnya.
Kala itu, masyarakat Timur Tengah merasa mengalami nasib yang sama dengan Bouazizi: diperlakukan secara tidak adil. Kebijakan-kebijakan yang ada dinilai tak lagi mencerminkan kepentingan publik. Sehingga, sebagai objek kebijakan, publik merasa dirugikan (F. Fukuyama, 2020).
Kiranya, begitulah makna sebuah protes publik. Karena itu, seperti dikatakan di muka, meskipun adanya protes publik itu adalah hal yang lumrah, keberadaannya jangan abaikan begitu saja. Keberadaannya harus dipahami sebagai ketidakpuasan publik atas sebuah kebijakan yang mesti diakomodasi.
Ketika sebuah kebijakan publik menuai protes publik, itu adalah tanda bahwa sebuah kebijakan mengandung banyak ”kecacatan” dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat secara umum. Sebab, adalah tidak mungkin publik akan memprotes sebuah kebijakan jika kebijakan itu berpihak pada publik.
Karena itu, pembentuk kebijakan harus bisa menangkap makna protes publik itu. Yang artinya, jika sebuah kebijakan mendapat protes publik, itu berarti ada banyak hal yang harus dibenahi dari kebijakan itu sendiri. Mulai dari proses pembentukannya hingga butir-butir kebijakan yang termuat di dalamnya.
Membenahi
Karena itu, adanya protes publik terhadap sejumlah kebijakan publik yang ada itu harus dijadikan dorongan untuk melakukan pembenahan dan perbaikan.
Sejauh ini, para pembentuk kebijakan masih enggan membenahi dan memperbaiki kebijakan-kebijakan yang menuai protes publik itu.
Beberapa kebijakan publik yang mendapat protes publik, oleh para pembentuk kebijakan publik masih terus saja dipertahankan. UU Cipta Kerja, misalnya, nyaris tidak ada pembenahan.
Pun ada, pembenahan yang dilakukan hanya pembenahan prosedural, tidak sampai pada inti dan substansi.
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mengeluarkan putusan No. 9/PPU-XVIII/2020 bahwa UU Cipta Kerja “inskonstitusional bersyarat” karena minim partisipasi publik dalam pembentukannya. Namun, putusan itu hanya seperti angin lalu, tidak memberikan perubahan berarti dan signifikan.
Para pembentuk kebijakan tidak melakukan pembenahan seperti yang diinginkan publik. Sehingga, apa yang menjadi aspirasi dan masukan publik melalui serangkaian aksi protes tetap tidak terakomodasi. Pembenahan yang diharapkan, yang berpihak pada kepentingan publik, jauh dari panggang.
Tentu ini adalah preseden buruk. Sebab, sebagai objek kebijakan, publik tidak diberi ruang untuk menentukan yang terbaik untuk dirinya.
Karena itu, hal ini harus dibenahi. Sebuah kebijakan publik harus dibentuk secara demokratis. Ia tidak bisa dibentuk berdasarkan kemauan pembentuk kebijakan belaka.
Publik memprotes bukan karena kurang kerjaan. Semua itu dilakukan karena kebijakan yang ada dinilai tidak berpihak kepada kepentingan mereka.
Karena itu, jika sebuah kebijakan mendapati protes publik, itu adalah tanda bahwa sebuah kebijakan harus segera dibenahi dan diperbaiki.
Selain itu, beberapa protes publik yang terjadi belakangan ini, terkait protes penolakan kenaikan harga BBM bersubsidi, misalnya, semua itu harus menjadi pelajaran bagi pembentuk kebijakan. Bahwa dalam membentuk kebijakan, nasib rakyat harus menjadi perhatian utama yang harus diperhatikan.
*) Farisi Aris, penulis lepas, mukim di Yogyakarta