Beberapa waktu yang lalu kita kembali dihebohkan dengan aksi bunuh diri. Insiden ini menyita perhatian masyarakat Indonesia.
Kasus bunuh diri ini banyak disebabkan karena terganggunya kesehatan mental dan depresi yang sedang dialami seseorang. Atau bisa juga dikarenakan trauma hebat yang terjadi di dalam kehidupannya.
Mencuatnya kasus bunuh diri ini digemparkan kembali oleh salah satu mahasiswi Universitas Brawijaya yang diduga melakukan bunuh diri karena mengalami depresi yang sangat berat dalam hidupnya. Depresi yang dialami Novia dipicu karena adanya pemerkosaan yang dilakukan pacarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berawal Novia yang diberi sebuah pil kemudian tertidur dan akhirnya diperkosa lalu hamil dan ia juga dipaksa aborsi hingga 2 kali oleh keluarga pacarnya setelah ia meminta pertanggung jawaban.
Kasus Novia Widyasari yang menggemparkan media sosial kali ini hanyalah satu dari jutaan kasus terkait kesehatan mental yang serupa. Mungkin tanpa kita ketahui dan kita sadari bahwa di luar sana banyak yang mengalami hal yang sama dan serupa namun yang lain belum terungkap karena mungkin korban mengalami tekanan dari pelaku atau karena malu menceritakan dan melaporkan kepada pihak yang bersangkutan, seperti Komnas Perempuan, Kepolisian, atau ke Layanan Konseling.
Berbicara mengenai kesehatan mental, kesehatan ini sebenarnya sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Namun, kesehatan mental kurang mendapat perhatian dan pemahaman dari masyarakat, tidak seperti kesehatan fisik yang sudah mampu dipahami oleh masyarakat. Setidaknya inilah yang dikatakan oleh Jorm dalam artikelnya berjudul “Mental Health Literacy: Public Knowledge and Blief About Mental Disorder” yang dimuat di Journal Psychiatry pada 2010.
Menurut Putri (2015), kesehatan mental didefinisikan sebagai sebuah kondisi di mana seseoang dapat menjalankan kehidupannya secara normal. Apabila seseorang tidak dapat menjalankan kehidupannya secara normal, maka dapat dikatakan seseorang tersebut menderita gangguan kesehatan mental.
Kasus-kasus gangguan kesehatan mental umumnya terjadi pada seseorang yang masih muda atau remaja. Dari penelitian Marcus dan Westra dalam tulisannya berjudul “Mental Health Literacy in Canadian Young Adults: Result of a National Survey” dalam jurnal Canadian Journal of Community Mental Health pada 2012 menunjukkan bahwa kelompok usia yang rentan mengalami gangguan kesehatan mental adalah kelompok usia muda.
Sementara di Indonesia, berdasarkan riset yang dilakukan Kementrian Kesehatan pada tahun 2018, menunjukkan angka prevalensi gangguan kesehatan mental yakni mencapai 6,1% pada kelompok usia muda atau sekitar 11 juta orang.
Permasalahan gangguan kesehatan mental di Indonesia, seperti depresi tidak bisa dianggap remeh. Seseorang yang depresi tidak bisa berpikir secara jernih karena psikisnya terganggu. Selain tidak bisa berpikir secara jernih, seseorang yang depresi juga tidak bisa mengendalikan emosi, menganggap dirinya tidak berharga, dan merasa sangat terpuruk.
Akibatnya, depresi yang sudah memasuki fase akut bisa memicu seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bagi seseorang yang depresi, bunuh diri adalah jalan pintas untuk menyelesaikan segala masalah yang dihadapi.
Mengaca pada kasus Novia Widyasari dan kasus-kasus kesehatan mental lainnya, maka sudah saatnya masyarakat Indonesia, khususnya remaja memahami betul tentang pentingnya kesehatan mental dan jangan menganggap remeh atau gampang bahaya gangguan kesehatan mental.
Jika gangguan kesehatan mental ini tidak segera diatasi dan penderita terlalu lama memendam rasa tertekan, dikhawatirkan penderita gangguan kesehatan mental tersebut akan benar-benar mengambil langkah bunuh diri untuk menyudahi tekanan atau tuntutan yang menimpa dirinya.
Dalam menyikapi persoalan gangguan kesehatan mental di Indonesia, maka masyarakat Indonesia diharapkan dapat melakukan penanggulangan gangguan kesehatan mental (mental illness). Meskipun dalam menganggulangi gangguan kesehatan mental, masyarakat di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia secara umum masih banyak mengalami hambatan.
Menurut Agusno (2011), hambatan utama dalam penanggulangan gangguan kesehatan mental adalah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai gangguan kesehatan mental dan adanya stigma negatif yang berkembang di masyarakat mengenai penderita gangguan kesehatan mental yang mana menganggap bahwa penderita gangguan mental adalah orang yang berbahaya dan dapat melukai orang lain.
Maka dari itu, diperlukan sosialisasi dari pemerintah tentang pentingnya memahami gangguan kesehatan mental. Tujuannya agar masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan kesehatan mental atau melihat orang lain dalam kondisi yang demikian, supaya segera menghubungi pihak-pihak yang dapat memberikan pencerahan dan membantu mengatasi persoalan-persoalan yang tengah dihadapi.
Jangan justru menjauhi, menyalahkan ataupun memberikan stigma buruk bagi mereka, sebab yang dibutuhkan oleh seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental adalah support atau dukungan, baik moral mapun psikis.
Bacaan lebih lanjut
Agusno, M. (2011). Global-National Mental Health & Psychosocial Problem & Mental Health Policy. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Jorm, A. F. (2010). Mental Health Literacy. Public Knowledge and Blief About Mental Disorder. Journal Psychiatry, 396-401.
Marcus, M and Westra, H. 2012. Mental Health Literacy in Canadian Young Adults: Result of a National Survey. Canadian Journal of Community Mental Health. 31 (1): 1-15.
Putri, A. W. (2015). Kesehatan mental masyarakat Indonesia (Pengetahuan dan Keterbukaan Masyarakat terhadap Gangguan Kesehatan Mental. Jurnal Riset dan PKM, 147-300.