Oleh H. Achmad Fauzi Wongsojudo
(Bupati Sumenep)
Idul Adha, yang juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban, bukan hanya sekadar perayaan ibadah umat Islam, melainkan juga sebuah momen reflektif yang mengandung pesan mendalam tentang kepemimpinan dan kebijaksanaan dalam kehidupan politik modern.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu kisah paling terkenal yang terkait dengan Idul Adha adalah perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail. Namun, dalam menjalankan perintah ini, Nabi Ibrahim menunjukkan kebijaksanaan luar biasa sebagai seorang pemimpin keluarga dengan melibatkan Nabi Ismail dan ibunya, Siti Hajar, dalam sebuah musyawarah.
Kisah ini bukan hanya mencerminkan kepatuhan yang tulus kepada perintah Allah, tetapi juga mengajarkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang relevan dan dapat diaplikasikan dalam konteks kepemimpinan politik modern.
Kisahnya dimulai ketika Nabi Ibrahim menerima wahyu dari Allah yang memintanya untuk menyembelih putra tercintanya, Nabi Ismail. Bagi seorang ayah, permintaan ini sangatlah berat dan penuh dengan ujian iman.
Namun, yang menarik adalah cara Nabi Ibrahim menyikapi perintah tersebut. Dia tidak serta merta menjalankan perintah itu, tetapi terlebih dahulu berdiskusi dengan putranya. Nabi Ibrahim dengan bijaksana mendatangi Ismail dan mengutarakan perintah Allah yang datang melalui mimpi.
Dalam Al-Qur’an, dialog ini direkam dalam surah Ash-Shaffat ayat 102: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ismail menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'”
Tindakan Nabi Ibrahim untuk berdiskusi dengan Ismail menunjukkan penghormatan terhadap putranya serta mengajarkan pentingnya komunikasi dan musyawarah dalam mengambil keputusan penting. Ismail, yang juga menunjukkan kedewasaannya, menerima perintah tersebut dengan sabar dan taat, menegaskan nilai-nilai keikhlasan dan kepatuhan kepada Allah.
Setelah mendapat persetujuan dari Ismail, Nabi Ibrahim juga berdiskusi dengan Siti Hajar, ibunda Ismail. Keputusan untuk melibatkan Siti Hajar dalam musyawarah ini mencerminkan pengakuan atas perannya sebagai ibu dan anggota keluarga yang penting.
Musyawarah dalam keluarga Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa kepemimpinan yang baik bukanlah otoriter, melainkan inklusif dan menghargai pendapat semua anggota keluarga/pihak terkait dalam konteks kehidupan politik modern hari ini.
Dalam konteks kepemimpinan politik modern, banyak hal yang bisa dipelajari dari kebijaksanaan Nabi Ibrahim. Seorang pemimpin yang baik harus mampu mendengarkan dan mempertimbangkan pandangan dari orang-orang yang dipimpinnya.
Hal itu penting untuk menciptakan keputusan yang tidak hanya efektif tetapi juga adil dan dapat diterima oleh semua pihak. Seorang pemimpin yang bijaksana tidak bertindak sepihak, melainkan selalu berusaha untuk melibatkan orang lain dalam proses pengambilan keputusan, yang pada akhirnya akan memperkuat legitimasi kepemimpinan tersebut.
Musyawarah, atau konsultasi, adalah salah satu prinsip penting dalam Islam yang juga sangat relevan dalam demokrasi modern. Dalam sistem politik, musyawarah dikenal dengan berbagai istilah seperti dialog, konsultasi publik, atau partisipasi warga. Semua ini merujuk pada satu konsep dasar yang sama: bahwa keputusan terbaik adalah keputusan yang dibuat dengan melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan.
Dengan cara itu, kebijakan yang dihasilkan akan lebih mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta lebih mudah diterima dan dijalankan dalam implementasinya.
Di era globalisasi dan digitalisasi saat ini, keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan menjadi semakin penting. Teknologi informasi telah membuka peluang baru bagi partisipasi warga dalam politik; media sosial, platform diskusi online, dan berbagai aplikasi e-governance memungkinkan warga untuk menyampaikan pendapat dan usulan mereka secara langsung.
Dan, inilah yang selama tengah kami perjuangkan di Kabupaten Sumenep. Menghidupkan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan melalui kepemimpinan inklusif.
Pemimpin yang bijaksana harus mampu memanfaatkan teknologi ini untuk memperkuat musyawarah dan partisipasi publik.