Oleh | Hanifa Dian Kusumaningrum
OPINI, NOLESA.COM – “Guru, pahlawan tanpa tanda jasa,” julukan yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang guru. Dedikasi yang diberikan oleh guru dalam dunia pendidikan mendapatkan julukan tersebut sekitar tahun 1970 bahkan hingga sekarang yang berakibat pada pemberian upah kepada “pahlawan”.
Dalam dunia pendidikan, guru memegang kendali penting dalam meningkatkan karakter dan kecerdasan generasi penerus bangsa. Sayangnya, profesi guru semata-mata hanya dianggap sebagai pahlawan yang tidak perlu dihargai. Tanggung jawab dan beban administrasi menjadi persoalan penting bagi masa depan seorang pencetak generasi penerus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanggung Jawab Guru
Profesi guru masih menghadapi rintangan, baik itu dari gaji, tanggung jawab, dan beban administrasi yang menghantui mereka. Selain bertugas untuk mendidik dan meningkatkan kecerdasan anak, guru diwajibkan untuk melakukan tugas-tugas administrasi yang padat.
Guru ditugaskan untuk menyusun rangkaian pembelajaran, menyusun program kerja, mengelola nilai, menyusun laporan, membuat soal ujian, menyusun proyek, dan masih banyak hal. Belum lagi beban administrasi guru yang diharuskan untuk mengikuti kegiatan sekolah.
Jam kerja yang harus dijalani oleh guru pun juga melebihi jam pelajaran. Kewajiban administrasi tersebut terkadang membebani guru karena guru dituntut untuk menuntaskan segalanya. Guru juga dituntut untuk dapat membuat perangkat pembelajaran yang modern untuk kegiatan belajar mengajar di kelas.
Guru dituntut untuk menjadi suri tauladan yang baik bagi peserta didik. Tanggung jawab ini meliputi peran seorang guru sebagai pendidik dalam menangani permasalahan yang terkadang dialami oleh siswa.
Tanggungjawab yang harus dijalani oleh guru menjadi beban yang cukup kompleks di era saat ini. Guru harus mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi agar dapat menyeimbangkan kemampuan peserta didik.
Pekerjaan seorang guru yang cukup banyak tersebut bukanlah hal yang bermasalah apabila guru diberi upah yang layak. Beban pekerjaan yang banyak tersebut apa bila hanya dibayar rendah tentunya akan menjadi masalah di masa mendatang.
Bagaimana tidak? Upah guru masih terbilang cukup rendah jika dibandingkan dengan upah pekerjaan yang lain. Kebutuhan pokok yang semakin naik tidak sebanding dengan upah yang diterima oleh guru dengan jam kerja, tanggung jawab, dan beban administrasi yang cukup rumit.
Upah Guru
Berdasarkan data yang diperoleh dari Media Indonesia, gaji guru honorer di daerah tergolong cukup rendah dari upah minimum yang ada. Gaji guru di daerah berkisar antara Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan sedangkan upah minimum di Indonesia, yaitu di Jawa Tengah berada di kisaran Rp2.000.000.
Guru honorer dipaksa menerima upah tidak layak dan rendah jika dibandingkan dengan upah minimum yang ada di Indonesia. Jam kerja lebih dari 8 jam sehari yang digunakan tidak hanya untuk mendidik peserta didik, tetapi juga bekerja untuk memenuhi beban administrasi yang ada.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada pasal 15 ayat (3) bahwa gaji guru honorer didasarkan pada perjanjian kerja bersama, selain itu besaran gaji guru honorer seharusnya juga mempertimbangkan besaran upah minimum di suatu daerah.
Akan tetapi, meskipun telah diatur oleh Undang-Undang, guru honorer masih saja tidak memperoleh upah kerja yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Upah minimum di Jawa Tengah dengan angka di kisaran Rp2.000.000 bahkan tergolong sangat kecil. Guru yang diberi label “pahlawan tanpa tanda jasa” harus menerima dengan lapang upah yang hanya di kisaran Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan.
Di Padang, seorang guru honorer bernama Roji yang sudah mengabdi selama dua puluh tahun harus menunggu pengangkatan dirinya menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) untuk memperoleh gaji yang layak.
Roji merupakan salah satu contoh dari banyaknya guru honorer yang bernasib sama. Pekerjaan seorang guru seakan dianggap sebagai amal yang harus dibayar dengan seikhlasnya.
Seorang guru dituntut untuk bertanggung jawab dalam meningkatkan kecerdasan peserta didik dan mendidik karakter anak agar menjadi penerus bangsa yang cerdas dan berakal. Sayangnya, dengan beban moral yang cukup berat tersebut, pemerintah lupa bahwa hal yang penting dalam meningkatkan kualitas guru adalah dengan memberikan upah kerja yang layak.
Tidak sepantasnya guru hanya diberikan beban moral berupa administrasi dan tanggung jawab dalam mendidik anak hanya diberikan upah kecil yang bahkan belum tentu cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Dedikasi Guru
Dilaporkan melalui media Kumparan, seorang guru honorer di Pontianak juga memperoleh diskriminasi pemberian upah yang tidak layak bahkan tidak dibayar. Dedikasi yang diberikan selama lima belas tahun mendidik dan mengajar siswa sekolah seakan tidak ada harganya di mata pemerintah.
Guru honorer seakan diharuskan untuk berusaha menghasilkan uang dengan cara mengajar yang lain, seperti membuka tempat bimbingan belajar. Pemerintah seakan tidak peduli dengan nasib para guru honorer yang sudah berdedikasi terhadap masa depan anak bangsa.
“Pahlawan tanpa tanda jasa” merupakan julukan yang sebenarnya baik dan terdengar mulia. Pengorbanan yang diberikan oleh para guru untuk mendidik dan meningkatkan para generasi penerus bangsa dipertaruhkan.
Akan tetapi, julukan tersebut seakan menjadi bom waktu yang perlahan justru merendahkan profesi guru dengan memberikan upah kerja tidak layak pada mereka, terutama kepada guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun. Beban administrasi dan tanggung jawab harus dijalani untuk memberikan yang terbaik kepada generasi penerus.
Seharusnya Guru memperoleh upah yang layak dengan beban kerja yang berat dan mulia tersebut. Upah kerja yang layak untuk guru menjadi salah satu kunci utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Pemerintah haruslah memperhatikan kesejahteraan guru agar mereka dapat bekerja dengan baik tanpa harus terbebani dengan rendahnya upah yang diterima. Apabila guru memperoleh upah yang layak, maka mereka dapat memberikan kontribusi yang lebih baik terhadap peningkatan kecerdasan dan pembentukan karakter bagi para penerus bangsa.(*)
*Hanifa Dian Kusumaningrum, lahir pada April 2002 di Yogyakarta. Merupakan mahasiswa S1 program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta. Pernah menulis kritik sastra berjudul “Mengungkapkan Kasus Korupsi dan Pengkhianatan melalui Penyelidikan Sang Jurnalis dalam Novel Kertas Hitam Karya Aru Armando” yang terbit dan dipublikasi oleh Ompiompi.com. Memiliki minat dalam mengikuti kegiatan yang berhubungan dengan banyak orang, terutama di bidang kemanusiaan. Pernah menjadi relawan fasilitator (pengajar) di Kagem Jogja, Harapan Fian, dan Rumah Belajar Indonesia Bangkit.