Bertanya kepada Burung
Mengintip dari balik jendela, kau lihat hujan deras masih mengguyur wajah kota, lagu-lagu kau mainkan mengiringi basah perasaan orang-orang yang kau coba payungi sedemikian.
Awan gelap menguasai tempat bertingkap sepasang burung yang berteduh–kadang romantis, kadang tragis–sesekali kau mencoba memahami bahasa cinta mereka.
Apakah burung menangis ketika bersedih?
Puisi untuk Fulan
Wahai Fulan, berjalanlah ke timur menjadi anak-anak dan temukan mata air mengalir di jantung laki-laki, minumlah seteguk untuk kemurnian, dua teguk untuk keteguhan, tiga teguk dan seterusnya untuk cinta yang kekal
Ia pandai mengubah wujud—siangnya adalah gunung, malamnya adalah laut—maka pelankan suaramu jika di dekatnya, tanggalkan atributmu lalu segera lakukan pendakian, tangkap simpan lalu tembus denyut ombak pada matanya
Sesampainya kau di hadapannya, akan tumbuh nyala lentera pada hatimu, membara, menebal, membebaskan malam, damai membasuh lalu diam dan ketika bergerak—jatuh seperti petir. Melindungi
Melepaskan Nama
Tidak ada yang dapat lepas dari pandanganku, aku melihat cahaya selalu jatuh pada luka di tebing wajahmu yang kau sembunyikan dengan warna-warna pelangi.
Tidak ada yang dapat lepas dari pendengaranku, aku berkerabat dengan nada-nada pagi, meski kadang ganjil kau munculkan pada tangis nyanyianmu, ketika malam, sepi, hitam, dan menikam. Sesungguhnya, saat-saat itu langit runtuh, menghujaniku.
Tidak ada yang dapat lepas dari keraguanku, untuk membuatmu bersedih aku hanya butuh baju hangatmu untuk memeluk perasaan yang sama, dalam rindu yang berciuman di dalamnya.
Tidak ada yang dapat lepas dari pertanyaanku terhadapmu, misal; jika aku bertamu ke rumahmu, apa yang harus aku bawa, celana atau agama?
Hanya, satu yang lepas dari apa-apa yang aku miliki, seperti yang tergambar pada takdirku; pengingkaranmu akan aku
Kulonprogo di Pangkuanmu
Aku berjalan ke Kulonprogo kemarin lusa, di sepanjang perjalanan aku tidak memikirkan apa-apa kecuali bunyi-bunyian; bahkan yang paling jauh. Jalan menuju Kulonprogo tidak sama seperti biasanya, kemarin ia lebih bijak dan lengang menyemai harapan
Pagi, siang, sore, dan Magrib Kulonprogo bukan persoalan waktu, waktu sudah mati di sana, aku mematahkan jarum jam dan menggantinya dengan sepasang matamu sabagai pengingat tentang doa yang kupanjatkan di rahim Sermo
Lihat, lihatlah jam dinding itu, Sayang.