Opini
Taklid Buta Politik dalam Pusaran Pemilu 2024

Oleh Achmad Syauqi Maky, S.H
Beberapa waktu lalu, Calon Presiden (capres) Anies Baswedan dalam pidato politiknya kembali memaknai demokrasi elektoral dalam gelaran Pemilu (Kompas, 11/6/2023). Pidato yang disampaikan beberapa bulan itu setidaknya memaknai demokrasi elektoral dalam dua hal; sirkulasi kekuasaan dan evaluasi pemerintahan.
Bagi Anies, Pemilu adalah sirkulasi kekuasaan antar-pemimpin, antar-parpol, dan antar-koalisi. Pandangan ini membantah fenomena ‘cawe-cawe’ dalam lingkaran kekuasaan yang mensimplifikasi politik dalam dua kubu, antara pro-Jokowi atau antitesa-Jokowi, hingga adanya endorsement sejumlah figur yang ditakar atau dipersepsikan ke dalam masing-masing dua kubu tersebut.
Yang tidak kalah penting juga ihwal evaluasi pemerintahan. Pemilu adalah jeda kepemimpinan untuk melihat kembali pemerintahan yang telah berjalan sebelumnya. Yang namanya evaluasi tentu melanjutkan/mempertahankan yang baik sekaligus membenahi yang kurang. Hal ini sekaligus menegasikan kampanye keberlanjutan program untuk presiden yang terpilih nanti.
Alhasil, terminologi politik perubahan dipersepsikan sebagai hal yang tidak baik dalam pembangunan lima tahun ke depan. Lihat saja sejumlah ungkapan elite politik yang gencar menyatakan Indonesia tidak membutuhkan perubahan, melainkan keberlanjutan. Hal ini jelas mempersempit makna evaluasi itu sendiri dalam Pemilu.
Tafsir politik yang muncul kemudian, bahwa pidato Anies sebenarnya menjadi antitesa dari simplifikasi demokrasi elektoral yang dipersempit maknanya dalam persepsi publik. Pertama adalah simplifikasi figur pemimpin yang ditakar sosoknya; pro-Jokowi atau antitesa-Jokowi. Kedua menolak simplifikasi terminologi politik aliran; perubahan atau keberlanjutan.
Taklid Buta
Makna politik Anies sebenarnya adalah wacana formal demokrasi. Untuk menjadi wacana substansial, ada pelbagai tantangan di sini, terlebih dalam melembagakan kampanye pendidikan politik (political socialization) sebagai platform perjuangan. Terkadang kehendak politik (political will) tidak selalu linear berjalan dengan kekuasaan politik (political power). Keduanya perlu saling melengkapi. Kehendak politik tanpa kekuasaan akan hampa, sedangkan kekuasaan politik tanpa kehendak hanya menjadi otoritas buta tanpa arah.
Fenomena yang kita lihat saat ini adalah taklid buta publik terhadap patronase politik para elite. Survei Litbang Kompas pada Juni 2022 mengungkap bahwa prefrensi politik publik masih banyak didasarkan pada pertimbangan elektabilitas atau popularitas calon (27,6 persen), sedangkan yang menjatuhkan pilihan berbasis program dan misi pembangunan hanya berkisar di 13 hingga 13,5 persen.
Keberadaan taklid buta berpolitik sangat mengancam keberlangsungan demokrasi. Taklid buta adalah kondisi ketidaksiapan masyarakat dalam menerima informasi dan merespons dinamika politik elite. Alhasil, pilihan dalam bilik-bilik demokrasi bukan didasarkan pada independensi personal pemilih, melainkan berdasarkan pada pengaruh kuasa di luarnya, seperti politik kesukuan, money politics, atau persamaan identitas.
Pada taraf yang lebih ektrem, taklid buta akan melahirkan fanatisme atau ekstremisme berpolitik. Hal ini terjadi ketika perangkat yang melingkupi kehidupan masyarakat dijadikan bagian dari alat perjuangan politik elite, meliputi agama, ras, dan suku. Masyarakat yang sedari awal sudah tidak mampu membangun kemampuan filterasi akan dengan mudah terperangkap menjadi pion permainan politik.
Pendidikan Politik
Taklid buta berpolitik hanya dapat diatasi melalui pemberian pendidikan politik yang konsisten dan kontinuitas. Literasi politik sekuler hingga siyasah dalam Islam sama-sama menghendaki adanya pendidikan politik dalam sistem demokrasi. Rasulullah Saw., misalnya, sebagai figur pemimpin sepanjang masa dalam suatu kondisi melarang kita bermusyawarah dengan orang yang bodoh (bakhil), kikir, dan ambisius. Hal yang sama juga dilihat dari Plato yang dalam perjalanannya menghendaki seorang aristokrat sebagai pemimpin, yang kemudian diharapkan lahir turunan keagungan dan kebajikan sang pemimpin kepada rakyatnya.
Hal tersebut sebagai bentuk akumulasi politik bahwa demokrasi mestinya dijalankan atas dasar kesadaran dan pengetahuan. Demokrasi adalah pemberian hak suara berdaulat kepada masing-masing individu untuk menentukan kebijakan dan keputusan. Dalam sistem one man one vote, kedudukan yang satu dengan yang lain adalah sama tanpa dipengaruhi oleh latar identitas dan kepangkatan orang bersangkutan. Hal yang membedakan adalah atas dasar apa pilihan tersebut dijatuhkan?
Kenneth D Wollack (1997) memaknai pendidikan politik sebagai ikhtiar menciptakan warga negara yang paham tentang arti penting pemberian suara. Menurut Nicolas Haines dalam Person to Person, gejala taklid buta tidak hanya dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan yang rendah, melainkan juga sikap apatis terhadap dinamika yang berlangsung. Hal itu bisa dipengaruhi karena salah kaprah dalam memaknai politik, atau karena memiliki preseden buruk dengan politik sebelumnya.
Pendidikan Informal
Dalam tatanan kelembagaan, partai politik (parpol) dalam UU 02/2008 diwajibkan untuk memberikan pendidikan formal politik dalam rangka membangun etika dan pengetahuan politik yang berkemajuan. Akan tetapi, pendidikan formal patut dievaluasi. Selain karena lingkupnya yang terbatas pada kader internal, postulat kepentingan partai juga akan mempengaruhi integritas dari pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya pendidikan informal dengan menggunakan perangkat kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang integritas dan independensinya dapat dipertanggungjawabkan (Retno M, 2020).
Pertama, hal yang perlu dibangun adalah mempersepsikan pendidikan politik dalam rangka memperkuat politik warga negara dan kualitas demokrasi yang baik. Pasalnya, terdapat kesimpangsiuran dalam hal ini. Secara legal, misalnya, selama ini peraturan KPU tidak menyebutkan agenda pendidikan kepada pemilih juga merupakan pendidikan politik. Hal ini seolah membangun pemahaman bahwa pendidikan pemilih adalah ranah KPU sebagai penyelenggara Pemilu, sedangkan pendidikan politik merupakan tanggung jawab parpol.
Kedua, adanya agenda kontinuitas yang terjadwal dalam kegiatan KPU dalam mensosialisasikan edukasi Pemilu bersih dan sehat kepada publik. Hal itu sebagai bentuk edukasi politik dengan memberikan langkah penanggulangan kecurangan, terlebih membangun kesadaran dan pengetahuan dalam menjatuhkan pilihan publik. Hal tersebut juga bisa dilakukan dengan melakukan sinergitas dengan lembaga relawan peduli Pemilu, baik yang independen maupun di bawah naungan universitas.
KPU sebagai lembaga formal sudah saatnya menjalankan pendidikan politik melalui perangkat informal. Hal ini tentu sebagai bentuk perlawanan terhadap fenomena taklid buta, fanatisme berpolitik, dan simplifikasi demokrasi.
*) Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Pamulang

-
Cerpen6 hari ago
Suara Kematian (Cerpen Ramli Lahaping)
-
Mimbar6 hari ago
Melek Agama dan Politik Melalui Antologi Puisi Negeri Daging Karya Ahmad Mustofa Bisri
-
Puisi6 hari ago
Pulang- Puisi Muhammad Dzunnurain
-
Opini6 hari ago
Mengingat Kembali Sejarah Hari Guru Nasional
-
Peristiwa3 hari ago
Puskesmas Batang-Batang Diluruk Warga
-
Suara Perempuan3 hari ago
Cinta dan Ingatan Mutia Sukma: Wanita dengan Segala Bentuk Cintanya
-
Opini4 hari ago
Akikah
-
Opini6 hari ago
Membangun Karakter Entrepreneur Mahasiswa Melalui Digital Marketing