Oleh Karisma Nur Fitria
(Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta)
“Hidup Butuh Uang” merupakan sebuah ungkapan yang beredar di masyarakat. Ungkapan ini memiliki pemaknaan yang mendalam mengenai realitas kehidupan manusia untuk bertahan hidup. Manusia kini bergantung dengan sebuah benda mati dalam bentuk kertas atau logam untuk bertahan hidup. Tidak ada lagi kemudahan sistem barter yang hanya dari segenggam beras dapat ditukar dengan seikat sayur kangkung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Manusia membutuhkan uang untuk membayar kebutuhan pokok hidup seperti sandang, pangan, dan papan. Bahkan tidak jarang manusia memiliki kebutuhan lebih sehingga mati-matian untuk mendapatkan uang. Akan ada pendapat bahwa manusia bisa hidup tanpa uang. Pernyataan ini kemudian memicu banyak pertanyaan tidak berkesudahan. Manusia bisa hidup tanpa uang asalkan tetap makan, kemudian bagaimana cara manusia mendapatkan makanan yang layak tanpa uang? Mau tidak mau semua mengakui bahwa hidup sangat bergantung kepada “uang”.
Seno Gumis Ajidarma, seorang sastrawan yang tidak jarang membahas realitas sosial dalam kehidupan masyarakat dalam karyanya. Tidak terkecuali dalam karya yang berjudul Pada Suatu Hari Minggu yang terbit pada 1998 di harian Kompas dan dibukukan pada tahun 1999 dalam kumpulan cerpen berjudul Iblis Tidak Pernah Mati. Cerita satu ini memiliki realitsas kehidupan masyarakat terutama dalam permasalahan uang. Persoalan uang yang intens dengan kehidupan manusia lahir menjadi sebuah karya.
Cerpen ini menggambarkan bagaimana seorang tokoh lelaki yang sebagai suami dan ayah terpaksa menikmati pekerjaannya demi kehidupan yang layak. Ungkapan “Hidup Butuh Uang” nampak jelas melalui bagian-bagian dalam cerpen yang dikemas dalam buah pikiran tokoh lelaki dan tokoh wanita. Keduanya merupakan pasangan suami istri yang menjalani kehidupan membosankan demi menyambung kehidupan.
“Namanya juga hari Minggu, Santai-santailah, tidur-tidurlah, jangan pikirkan apa-apa. Kalau tidak, untuk apa ada hari Minggu?”
“Tapi kalau untuk Harry Roesli mendengarkan musik itu bekerja.”
“Kamu bukan Harry Roesli.”
“Yeah. Aku memang bukan Harry Roesli, aku Cuma seorang pegawai.”
Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam dan menghemburskannya panjang-panjang. Istrinya merasa lelaki itu menyesali sesuatu. Sambil membenahi ini-itu, ia mencoba menghibur.
“Tidak usah menyesal jadi pegawai. Setidak-tidaknyaa kamu tidak usah emikirkan besok pagi makan apa. Coba kalua kamu dulu nekad tetap mau jadi pemain band. Repot. Mesti pindah dari kontrakan satu ke kontrakan lain, itu pun kadang-kadang kosong. Kamu ingat dulu kita mesti menggadaikan sepedamotor, diusir karena belum bayar sewa rumah, lantas mesti pinjam duit Ibu di kampunga? Memalukan!”
Kutipan di atas menampilkan percakapan ringan antara suami dan istri yang menyimpan makna begitu besar. Tokoh lelaki digambarkan memiliki mimpi menjadi pemain band dengan resiko kehidupan yang tidak selayak ketika dia menjadi seorang pegawai. Bagian ini menunjukkan bagaimana realitas kehidupan sosial yang harus mengorbankan mimpi demi kehidupan yang lebih layak. Permasalahan yang ditampilkan pada bagian ini dapat mewakili tidak sedikit orang di kehidupan nyata.
Tokoh lelaki kemudian diceritakan tengah membayangkan dengan tenang mengenai masa depannya karena pesangon seorang pegawai akuntan. Pesangon yang cukup hingga tokoh lelaki lanjut usia menjelaskan betapa “Hidup Butuh Uang” untuk segala usia dan keadaan. Di sisi lain, tokoh wanita merepresentasikan manusia dengan rasa kemanusiaannya tengah berandai-andai akan menjalankan aksi-aksi kemanusiaan dan berbagi. Sayangnya, uang kembali dibutuhkan dalam segala hal.
“Kalau kamu anak pejabat, dapat proyek bermilyar-milyar rupiah, dikerjakan orang lain, pasti untung, dan kamu tetap tidur saja ongkang-ongkangm masa’ kamu tidak mau?”
Wanita itu mencoba mengingtat-ingat, apa jawabannya waktu itu. ia lupa. Tapi sekarang ia berpikir, bagaimana seandainya ia sendiri yang menjadi anak pejabat, mendapat proyek bermilyar-milyar rupiah, dikerjakan orang lain, pasti untung, dan bisa tetap tidur ongkang-ongkang.
“Aku akan menyumbang anak yatim piatu,”batin wanita itu, “mendirikan rumahsakit gratisan, sekolah gratisan, mengurus gelandangan, membangunkan rumah susun untuk orang miskin, semuanya gratis. Orang cacat, pejuang veteran, kuli, pelacur, dan orang sakit kusta, semua diberi dana untuk memperbaiki nasibnya.”
Ia lantas membayangkan, seandainya ia punya pabrik semen, pabrik supermi, dan pabrik gandum. Wah, sudah pasti ia putuskan agar setidaknya 10% dari keuntungan digunakan untuk kerja sosial. Kalua perlu lebih, 40% Kenapa tidak? Ia akan membayar ahli keuangan terdahsyat di dunia untuk membuat semua ini mungkin.
Perosalan uang dan kehidupan menjadi hal yang cukup rumit bagi sebagian manusia. Bagaimana uang itu harus berputar, bagaimana uang itu bisa menghasilkan seusatu yang lebih besar, bagaimana uang itu mampu bertambah, dan masih banyak lagi. Bahkan tidak hanya manusia, negara yang menjadi tempat tinggal sekelompok manusia mengalami perosalan yang lebih rumit jika menghadapi “uang”.
Cerpen “Pada Suatu Hari Minggu” mengemas fenomena tersebut melalui berbagai pandangan dari tokoh. Mulai dari tokoh lelaki yang berpikir uang dapat menjamin masa depan, tokoh wanita yang berpikir memiliki uang lebih dapat membantu siapapun, dan tidak terkecuali dua orang anaknya yang berpikir peroalaan keuangan itu mudah atau rumit. Menghadirkan berbagai sudut pandangan dari berbagai kalangan melalui tokoh membuat cerita ini memiliki keunikan tersendiri. Pembahasan yang cukup kompleks melalui sebuah cerita yang ringan karena memiliki realitas kehidupan sosial yang tinggi menjadikan cerita ini memberikan suasana yang berbeda. Cerita ini dapat mengingatkan manusia apa tujuan dari mencari uang dan alasan-alasannya melalui para tokoh.
Melalui cerita ini, Seno merepresentasikan bagaimana “Hidup Butuh Uang” dengan realitas kehidupan sosial masyrakat. Manusia selalau sibuk mengukur pencapaian hidup dengan standar uang. Memang hal ini tidak salah, melihat kebutuhan hidup manusia dapat terselesaikan dengan uang. Tokoh lelaki dan tokoh wanita merepresentasikan ungkapan “Hidup Butuh Uang” melalui pemikirannya. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik dari cerita ini. Penulis merepresentasikan ungkapan “Hidup Butuh Uang” bukan melalui gaya hidup atau latar belakang tokoh melainkan menggunakan isi pikiran tokoh. Penggambaraan dengan isi pikiran tokoh ini berbeda dengan cerita pada umumnya yang dominan menampilkan kehidupan tokoh.