Coba anda berkunjung ke pulau Madura dan memakai songkok putih kemudian berlalu lalang di pasar tradisional di Madura? Tentu secara tidak langsung masyarakat Madura akan memanggilnya dengan panggilan “Pak Ajji” meski pedagang tersebut tidak mengetahui identitas bahwa yang memakai songkok haji tersebut sudah melaksanakan ibadah haji atau tidak.
Begitulah realitas yang terjadi di pulau Madura, terlebih di daerah Sumenep. Menyandang status sosial sebagai seorang haji menjadi primadona bagi pandangan masyarakat Madura. Antusias masyarakat terhadap orang yang telah melaksanakan ibadah haji menjadi diperhitungkan eksistensinya di kalangan masyarakat, disambut kedatangannya dengan konvoi, selamatan sebelum pemberangkatan dan saat pelaksanaan ibadah haji, banyak masyarakat yang meminta doa, memohon barokah agar sama dimudahkan kebutuhannya menuju baitullah.
Karenanya, masyarakat Madura kerap disebut sebagai homo religius, karena mereka selalu menampilkan nilai-nilai agama dalam kesehariannya. Masyarakat Madura cenderung menampilkan ghirah keagamaan yang tinggi. Mereka kerap berlomba-lomba dalam beribadah, salah satunya adalah ibadah haji.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Karenanya, masyarakat Madura kerap disebut sebagai homo religius, karena mereka selalu menampilkan nilai-nilai agama dalam kesehariannya”
Bagi masyarakat Madura, ibadah haji bukan hanya tuntunan syariat, yang menjadi bagian dari rukun Islam. Konstruk yang tertanam bagi masyarakat Madura, ibadah haji merupakan suatu kewajiban, yang selain mendapat nilai tambah (plus) dalam agama juga dalam sosial. Meskipun secara ekonomi mereka masih menengah ke bawah. Masyarakat Madura cara menampilkan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari tidak cukup melaksanakan ritual agama saja, mereka mengadopsi kebudayaan yang melahirkan tradisi lokal.
Pandangan masyarakat Madura dalam memuliakan ibadah haji memiliki korelasi dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Ghazali. Dalam Buku terjemahan Rahasia Haji dan Umrah Imam Ghazali menjelaskan bahwa haji bukan hanya sebagai ibadah formalitas yang dilakukan oleh masyarakat untuk menunaikan syariat. Ibadah haji bukan hanya dijadikan sebagai penyempurna ibadah terakhir dari rukun Islam yang dijalankan oleh manusia.
Akan tetapi, hendaknya orang yang akan melaksanakan ibadah haji dan umrah harus memenuhi syarat, rukun bahkan tatakramanya sehingga benar-benar bisa menghayati segala bentuk amalan yang dikerjakan saat ibadah haji dan umrah berlangsung. Misalnya bagaimana memuliakan Baitullah, Mekkah dan Madinah yang menjadi pusat dalam pelaksanaan ibadah haji.
Imam Al-Ghazali mendasari gagasannya dari hadits-hadits dan ayat-ayat Al-Quran. Yang menarik disini beberapa penjelasan dan alasan para ulama tentang kemakruhan bagi jamaah haji yang tinggal di Mekkah. Alasan dimakruhkannya ini diantaranya: Pertama, dikhawatirkan muncul kebosanan atau perasaan nyaman dengan baitullah. Perasaan semacam ini akan berdampak pada hilangnya bentuk penghormatan kepada rumah Allah. Maka tidak heran jika Umar sangat mendesak jamaah haji agar segera kembali pulang usai melaksanakan ibadah haji.
Kedua, menyalakan kerinduan dengan pergi meninggalkannya supaya membangkitkan panggilan untuk kembali mengunjunginya. Bahkan, ada sebagian ulama yang berkata bahwa berada di negeri dengan hati dan merindukan kakbah dan terpaut padanya lebih baik dari pada berada dan menetap di Mekkah, namun hatinya merindukan tempat lain.
Ketiga, ditakutkan berbuat kesalahan dan dosa di Mekkah. Hal ini dilarang disebabkan menimbulkan kemurkaan Allah karena teramat mulianya tempat suci tersebut. Imam Ghazali menjelaskan tentang amalan lahiriah haji dan umrah dari awal keberangkatannya hingga kepulangannya. Salah satunya yang harus diperhatikan adalah hak-hak saat keluar rumah hingga melaksanakan ihram. Hal pertama yang harus diperhatikan oleh jamaah haji mengenai persoalan harta kekayaan. Karena jamaah haji akan meninggalkan rumahnya dengan waktu yang cukup lama.
Imam Ghazali menyarankan seorang yang akan melaksanakan ibadah haji hendaknya memulainya dengan bertobat, mengembalikan hak-hak orang lain yang didapat secara dhalim, melunasi hutang, menyiapkan nafkah bagi orang yang wajib dinafkahinya sampai waktu kepulangannya, mengembalikan barang-barang titipan dan membawa bekal harta yang halal dan baik selama kepergiaan dan kepulangan tanpa kikir kepada diri sendiri.
Hal kedua adalah teman selama perjalanan. Fungsi teman seorang jamaah haji dalam perjalananya sangat penting. Sebab, jika jamaah haji lupa, maka teman ini bisa mengingatkannya. Jika ingat, maka temannya akan menolongnya dan segala hal lainnya. Selain itu, jamaah haji dianjurkan untuk meminta doa selamat kepada tetangganya yang ada di rumah. Maka sangat ditekankan jamaah haji mencari teman yang mencintai kebaikan dan bisa memberikan bantuan pertolongan.
Ibadah haji harus dilaksanakan dengan penuh pemahaman bahwa tidak ada jalan menuju Allah Swt selain membersihkan diri dari syahwat-syahwat, menjauhi berbagai macam kenikmatan dunia, kecuali pada hal-hal yang bersifat darurat saja. Karena tidak ada jalan menuju Allah, kecuali dengan memurnikan niat hanya karena Allah dalam seluruh aktivitas baik bergerak maupun diam. Inilah salah satu hal penting sebelum jamaah haji melaksanakan segala aktivitas dalam ibadah hajinya. Sebab, ibadah haji bukan untuk liburan dan rekreasi ataupun hanya ingin mendapatkan status sosial sebagai hamba yang paling sempurna di tengah-tengah masyarakat.