Oleh | Sujono
MIMBAR, NOLESA.COM – Nilai pujian kepada Allah Swt, dalam kalimat Alhamdulillah sepenuh hati, jauh lebih baik dari nikmat itu sendiri.
Nabi Dawud As, pernah berseru kepada Tuhannya; “Tuhanku, anak Adam ini telah Kau beri pada tiap rambut ada nikmat di atas dan dibawahnya, maka bagaimana akan dapat menunaikan syukurnya kepada-Mu?”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Allah Swt, menjawab; “Hai Dawud, Aku memberi sebanyak-banyaknya dan rela menerima yang sedikit. Dan untuk mensyukuri nikmat itu, cukuplah bila engkau mengetahui bahwa nikmat yang ada padamu itu, dari Aku.” (Al-Hikam).
Hal tersebut diceritakan Allah Swt, kepada kita; “Kemudian akan Kami beri mereka (karunia Kami) di depan mereka, di belakang, di kanan, dan di kiri mereka. Dan akan engkau lihat (wahai Muhammad), sebagian besar dari mereka tidak bersyukur.” (QS: Al-A’raf: 17).
Sahabat…
Dalam ayat di atas, Allah Swt, menyatakan dengan sangat jelas bahwa tak banyak manusia yang mau bersyukur atas nikmat-Nya. Maka tak heran jika dalam satu do’anya, Nabi Saw, memohon;
“Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang sedikit, yaitu orang-orang yang senantiasa bersyukur.”
Syukur, berarti sadar bahwa sedari awal penciptaan, diri kita diberi anugerah yang luar biasa banyak oleh Allah Swt.
Bahwa Allah Swt, selalu memperhatikan, mencukupi hajat kehidupan, bahkan di saat kita belum mampu menyadari apa-apa saja yang menjadi hajat kebutuhan kita.
Sementara diri kita pada hakikatnya tidak memiliki andil apa pun atas segala yang kita raih.
Atas segala nikmat dan karunia-Nya yang teramat banyak tersebut, syukur merupakan hal yang sudah seharusnya dilakukan kepada Dzat Pemberi Nikmat.
Bahkan, kehendak Allah yang memberi kita kesempatan untuk bersyukur, juga layak untuk disyukuri. Karena syukur kita kepada Allah, tidak akan bisa mencukupi hak Allah untuk disyukuri. Mengingat, amal kita yang sedikit tidak sebanding dengan anugerah Allah yang melimpah dan tak terhitung.
“Syukur, adalah pembuka hati untuk menyaksikan karunia Tuhan. Hati yang terbuka akan menyadari bahwa dibalik setiap detail kenikmatan yang ada, terdapat kebesaran Allah Swt, dengan segala kelembutan-Nya,” begitu Ibnu Athaillah mengajarkan kepada kita.
Syukur, adalah salah satu wujud penghambaan. Bentuk pengakuan atas lemahnya diri, sementara kebutuhan diri dan nasib ada di tangan-Nya.
Abdul Halim Mahmud, murid Syaikh Al-Azhar, pernah mengatakan; “Nilai pujian kepada Allah dalam kalimat ALHAMDULILLAH sepenuh hati, jauh lebih baik dari nikmat itu sendiri.”
Kata Beliau selanjutnya; “Ketahuilah, tiada Allah memberikan suatu nikmat pada hamba-Nya, kemudian hamba itu mengucap ALHAMDULILLAH, melainkan nilai pujian ALHAMDULILLAH itu jauh lebih besar dari nikmat yang diberikan.” (Al-Hikam).
Salam Jum’at!
*penulis lepas tinggal di Sumenep