Nahdlatul Ulama (NU) di bawa kepemimpinan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menampilkan optimisme dan secercah harapan baru; sebuah kondisi ke-NU-an yang memang kita nanti-nantikan. Semangat kepemimpinan Gus Yahya yang terbuka dan punya “keberanian politik” dalam menghadapi persoalan dinilai membawa angin segar bagi NU.
Dengan “keberanian politik” dan prinsip politik inklusif-nya, sejak terpilih sebagai Ketua Umum PBNU 2022 – 2027, Gus Yahya telah menegaskan bahwa NU akan dibuat berjarak sama dengan semua partai, termasuk dengan PKB yang merupakan anak tunggal NU. Konon, langkah itu diambil agar NU menjadi ”rumah bersama” yang nyaman ”bagi semua”.
Secara bertahap, Gus Yahya tampak ingin melakukan reformasi besar-besaran dalam struktur dan tubuh NU. Dengan tagline kepemimpinannya: “Menghidupkan Gus Dur”, Gus Yahya seperti hendak mengatakan bahwa ia akan meneruskan apa yang dulunya dilakukan Gus Dur, membesarkan jam’iyah NU sebagai ormas yang mandiri dan solid.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ini jelas adalah “kabar baik” bagi masa depan NU. Sampai di titik ini, kita patut mengapresiasi langkah politik NU yang dibangun oleh Gus Yahya itu. Menjelang satu abad NU sejak berdiri pada tahun 1926, NU memang sudah waktunya bangun dan bangkit menggapai harapan dan mimpi yang selama ini menjadi hajat NU: menjadi ormas yang terkemuka dan terdepan.
Dan, kepemimpinan NU yang inklusif, tidak eksklusif, dan serta didukung dengan keberanian politik, hal itu sangat memungkinkan bagi NU untuk bisa bangkit menggapai asa. Tanpa kepemimpinan yang terbuka, sebuah jam’iyah besar sekaliber NU pun akan sulit bangkit. Alih-alih bangkit, tanpa keterbukaan, NU justru akan terjerumus pada jurang keterpurukan.
Karena itu, seperti dikemukakan di awal, kepemimpinan NU yang inklusif –yang sedang coba dibangun oleh Gus Yahya dari bawah– patut kita dukung dan kita sambut dengan tangan terbuka, semata untuk kebangkitan NU. Dengan kepemimpinan yang terbuka, pelan tapi pasti, kita yakin NU mampu bangkit dan mencapai puncak keemasannya.
Langkah politik yang tidak tepat
Akan tetapi, sangat disayangkan, meski gagasan Gus Yahya itu adalah kabar baik, tetapi inilah kabar baik yang mengkhawatirkan. Langkah politik yang diambil PBNU untuk menyukseskan gagasan emas di atas sama sekali tidak tepat. Kesalahannya satu: Gus Yahya terlalu banyak melibatkan orang-orang partai/politisi dalam komposisi kepengurusan PBNU.
Celakanya, orang-orang partai/politisi itu tidak hanya sekadar dilibatkan, tetapi eksis memegang kendali, menduduki jabatan-jabatan strategis dalam struktur kepengurusan PBNU. Seperti Saifullah Yusuf (PKB), Sekretaris Jenderal (Sekjen); Mardani H. Maming (PDI-P), Bendahara Umum, Nasyirul Falah Amru (PDI-P), Ketua Tanfidziyah, ini jelas sangat tidak tepat.
Jika NU memang mau menjaga jarak dengan semua partai, agar NU bisa merdeka dan mampu bergerak bebas sebagai jamíyah, jabatan-jabatan strategis itu harusnya tidak diberikan kepada orang-orang partai. Menempatkan orang-orang partai pada posisi-posisi strategis di PBNU, itu sama sekali tidak sejalan dengan semangat NU untuk menjaga jarak dari semua partai.
Sebab, jika kita mau membaca hal itu secara kritis, jelas bahwa seluruh posisi-posisi strategis yang ada di dalam struktural PBNU, yang diberikan kepada orang-orang partai, semuanya memiliki ”nilai kuasa” yang berbeda-beda, yang satu sama lain tidaklah sama, yang setiap “nilai kuasa” itu sangat mempengaruhi terhadap posisi NU dengan partai-partai yang ada.
Karena itu, semangat NU untuk menjaga jarak yang sama dengan semua partai, dengan menempatkan orang-orang partai dalam jabatan-jabatan strategis PBNU, itu sangatlah tidak tepat, bahkan berbahaya. Sebab, pada akhirnya yang menentukan jarak NU dengan semua partai adalah ”nilai kuasa” jabatan strategis yang diberikan NU dan dimiliki oleh orang-orang partai itu.
Sebab itu, bisa dikatakan semangat PBNU untuk menjaga jarak dengan semua partai itu telah gagal sejak awal. Contohnya, salah satunya bisa dilihat dari “kecemburuan politik” yang ditunjukkan (PKB). Diakui atau tidak, itu adalah salah bentuk nyata dari kegagalan PBNU untuk tampil dengan jarak yang sama di tengah keberagaman partai yang ada.
Kacaunya, NU tidak mampu menangkap masalah ini secara utuh. “Kecemburuan politik” yang ditunjukkan PKB dibaca sebagai tindakan menyulut api permusuhan. Seharusnya, lebih tepatnya, ekspresi kecemburuan itu dipahami sebagai kritik bagi PBNU bahwa PBNU gagal menjaga jarak yang sama dengan semua partai, alias tidak mampu tampil secara setara.
Konsekuensi politik
Sudah tidak tepat, langkah PBNU merekrut orang-orang partai sebagai pengurus PBNU itu juga penuh dengan konsekuensi politik. Konsekuensi yang paling nyata adalah soal konflik kepentingan (conflict of interest) yang akan terjadi di dalam tubuh PBNU. Dengan adanya beragam kepentingan yang menghuni NU, konflik kepentingan tidaklah mustahil terjadi.
Pada akhirnya, NU-lah yang rugi dan dirugikan. Selain akan terombang-ambing di antara beragam ombak kepentingan yang tidak pasti, jelas agenda-agenda politik-kebangsaan NU akan terbengkalai. Inilah yang seharusnya sejak awal disadari dan dipikirkan secara matang oleh Gus Yahya sebelum melibatkan unsur partai dalam kepengurusan PBNU.
Dalam sejarah, NU pernah beberapa kali menitipkan dan memasrahkan nasib politiknya kepada partai (Masyumi dan PPP), namun semuanya berakhir tragis di mana NU hanya dimanfaatkan (Dhakiri, 2014: 32). Seharusnya, fakta sejarah itu dijadikan pelajaran berharga oleh PBNU sebelum akhirnya mengambil langkah politik yang bersentuhan langsung dengan partai.
Tetapi, beras telah jadi bubur. Langkah politik yang sama sekali tidak tepat itu telah kadung diambil. Tak ada pilihan lain kecuali menjalankannya. Namun begitu, bukan berarti peluang NU untuk menggapai hajat politiknya menjadi jam’iyah yang unggul dan terkemuka telah tertutup; sama sekali tidak. Peluang NU untuk mencapai puncak keemasannya masih terbuka lebar.
Kuncinya, NU harus tetap solid menghadapi badai politik yang ke depan, akan semakin menguat. Selain itu, NU harus tetap fokus pada agenda-agenda politik-kebangsaan yang telah dicanangkan. Seperti apa pun kondisinya, NU jangan sampai terpecah dan gagal fokus. Dan, itu semua bergantung pada kemampuan Gus Yahya mengatasi ancaman politik yang ada.