Oleh | Amrullah
RESENSI BUKU, NOLESA.COM – Masih mungkinkah kita menelusuri jejak Sang Kekasih ketika beliau telah tiada? Bisakah kita merasakan kembali keharuman langkahnya, menghidupkan kembali kenangan akan senyumnya, tawanya, dan sikap lembut penuh kasih yang pernah ia hadirkan? Apakah mungkin kita menemukan keindahan abadi yang berasal dari lebih dari empat belas abad yang lalu?
Meskipun Nabi Muhammad saw. telah wafat, untaian riwayat dan hadis yang sampai kepada kita menjadi pintu untuk merasakan kembali kehangatan jiwanya, keelokan akhlaknya, dan ketulusan sentuhannya yang mulia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Riwayat-riwayat itu bukan sekadar dokumentasi tentang ucapan dan tindakan beliau. Lebih dari itu, ia adalah warisan spiritual yang mengajak kita untuk menyerap maknanya, menanamkannya dalam hati, dan membiarkannya membentuk kesadaran serta perilaku kita.
Ketika kita membaca kisah tentang Nabi dan para sahabat, kita dihadapkan pada pertanyaan reflektif yang mendalam: “Apa yang akan dilakukan Nabi dalam situasi seperti ini?”
Sunnah Nabi bukan sekadar peta hukum atau kumpulan aturan lahiriah. Ia adalah spirit hidup yang seharusnya menyatu dalam jiwa, membentuk cara berpikir, meresap dalam perasaan, dan menggerakkan tindakan.
Dalam setiap keadaan—baik saat kehilangan, menghadapi risiko, menjalani penderitaan, menikmati kebahagiaan, atau merayakan keberhasilan—kita diajak untuk senantiasa merasakan kehadiran Nabi melalui nilai-nilai dan teladan hidupnya. Kita merenung dan bertanya: “Bagaimana Rasulullah akan bersikap jika berada di posisi ini?”
Maka, mengikuti sunnah bukan hanya soal meniru secara fisik, tetapi sebuah usaha menghidupkan kembali ruh kenabian dalam kehidupan kita. Layaknya menghirup keharuman untuk kemudian menyebarkannya kembali, kita menjadikan sunnah sebagai aroma kebajikan yang memancar dari dalam diri menuju lingkungan sekitar.
Kisah yang menginsprirasi adalah tentang menyembunyikan amal shaleh. Rasulullah ﷺ pernah menyampaikan kepada para sahabatnya sebuah pesan mendalam:
“Barang siapa di antara kalian mampu menyimpan rahasia amal salehnya, maka lakukanlah.”
Suatu ketika, pasukan Muslim berhadapan dengan tentara Romawi dalam sebuah pertempuran. Seorang kesatria Romawi maju ke medan laga menantang duel terbuka. Lalu, dari barisan kaum Muslim, muncullah seorang pejuang bertopeng. Ia maju dan berhasil mengalahkan lawannya.
Kemudian, kesatria Romawi kedua tampil, dan pejuang bertopeng itu kembali maju. Ia menaklukkan lawan untuk kedua kalinya. Demikian pula ketika kesatria ketiga datang—lagi-lagi sang pejuang bertopeng menang.
Aksi heroiknya membuat para sahabat penasaran: siapakah dia? Mereka mengerubunginya, ingin mengenali wajah di balik topeng. Namun, sang pejuang bersikeras menutupi identitasnya.
Hingga akhirnya, seorang laki-laki bernama Abu Umar nekat membuka topeng tersebut. Ternyata, ia adalah Abdullah bin al-Mubarak, seorang ulama besar yang juga dikenal sebagai mujahid.
Abdullah bin al-Mubarak menanggapi dengan nada kecewa,
“Aku tidak menyangka kamu termasuk orang yang mencela aku, wahai Abu Umar!”
Baginya, terbukanya identitas itu adalah bentuk cela, karena ia ingin jihadnya menjadi amal yang hanya diketahui oleh Allah semata. Ia memilih menyembunyikan wajahnya di medan perang, tempat yang justru menjadi panggung pujian banyak orang. Ini adalah bentuk keikhlasan sejati—tidak ingin dikenali, tidak ingin dipuji, hanya ingin dikenal oleh Allah Swt.(*)