Opini, NOLESA.com — Kapasitas seorang figur pemimpin —salah satunya bisa diukur dari kemampuannya memetakan potensi persoalan dimasa kini dan masa depan. Setiap potensi persoalan akan direspon dengan refleksi-refleksi mendalam. Tak heran jika kemudian lahir ide cemerlang.
Kemunculan banner bergambar Bupati Achmad Fauzi yang belakangan viral menjadi perbincangan publik itu, secara semiotik menjadi petanda keberadaan ide dibaliknya.
Ide Bupati yang ditawarkan kepada publik secara eksplisit dimaksudkan untuk mengatasi potensi terjadinya persoalan transportasi. Bukan hanya Sumenep, tetapi Madura secara keseluruhan.
Jika anda seorang pebisnis dengan usaha perdagangan dan setiap hari mengirim barang ke Surabaya, pasti akan merasakan sarana jalan provinsi yang melintasi 4 (empat) kabupaten di Madura sudah tak memadai.
Bukan hanya ancaman macet akibat perbaikan jembatan, jalan atau pasar tumpah di sepanjang lintasan jalan Sumenep-Surabaya yang nyaris terjadi setiap hari.
Tetapi, peningkatan volume kendaraan pribadi ataupun angkutan umum dari tahun ke tahun membuat jalan makin sesak dan mengancam keselamatan pengendara.
Barangkali masih segar dalam ingatan publik, merebaknya desas-desus pembangunan jalan tol yang telah memunculkan ekspektasi setinggi gunung dari warga Madura.
Tetapi kapan? Siapa yang akan mendanainya? Apakah 4 (empat) kepala daerah di Madura mau bergotong royong bahu membahu membangunnya.
Kalaupun mau, berapa besaran dana sharing dari 4 (empat) kabupaten yang harus dikumpulkan. Harus berapa kali rapat dan pertemuan untuk bersepakat.
Pasti, membutuhkan waktu tak sebentar bagi 4 (empat) kepala daerah untuk mencapai kata mufakat. Alhasil, tak ada kepastian dalam persoalan ini.
Terkecuali, warga madura mau bersabar menunggu kebijakan pemerintah pusat. Sampai mereka punya political wiil untuk menggandeng investor pembangunan jalan tol di madura. Jadi mereka nanti yang mengurus pembebasan lahan, pembangunan hingga pengelolaannya tanpa membebani daerah.
Namun, seperti kita saksikan bersama, kondisi perekonomian pasca pandemi Covid-19 amat sangat tidak memungkinkan.
Pemerintah pusat tak mungkin bertaruh nyali, memaksakan diri membangun jalan Tol Madura ditengah kondisi paceklik.
Oleh karena itu, Bupati Achmad Fauzi, barangkali menyadari persoalan ini. Sehingga gagasan untuk mereaktivasi rel kereta api di Madura dilontarkan ke hadapan publik.
Bupati Fauzi sedang menawarkan ide. Sebuah ide realistis untuk memecahkan persoalan transportasi yang terjadi saat ini dan akan dihadapi masyarakat madura di masa mendatang. Barangkali ia menyadari, kelelebihan Ide ini dapat direalisasikan dalam tempo tak terlalu lama.
Beberapa pakar kebijakan publik menyatakan keberadaan kereta api di madura akan menjadi solusi bagi problem kemacetan jalan yang kini mulai mengganggu mobilitas perekonomian warga yang dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Oleh karena itu kritik atas kemunculan banner reaktivasi kereta api menjadi tak berdasar. Hanya asal kritik berdasar penafsiran dangkal pada level kulit permukaan. Yang diplototi sekedar banner ‘an sich’ sebagai alat propaganda. Tanpa menyelami secara obyektif ide dan pemikiran didalamnya.
Saya kira setiap orang -apalagi aktivis dan kaum cerdik cendikiawan- bertanggungjawab secara moral untuk mengedukasi dan mencerdaskan kehidupan masyarakat.
Tak ada yang melarang kritik. Tapi kritik tak berdasar, sudah barang tentu menyimpang dari nilai-nilai Pembukaan UUD 1945. Bukan mencerdaskan kehidupan bangsa sendiri. Tapi justru melakukan pengkhianatan atas konstitusi.